Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa,
serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan
sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau
memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri.
Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari
tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah
akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang
kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu
ditentukan oleh pelbagai macam faktor: ekonomi, sosial, politik, dan
psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah
kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang
antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah semakin besarlah
hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan
memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan
dengan "kekerasan".
Di atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru
yang menang. Demikianlah, masyarakat feodal didorong oleh masyarakat
kapitalistis dan yang disebut lebih akhir ini sekarang berjuang mati-matian
dengan masyarakat buruh yang bertujuan mencapai "satu masyarakat komunis
yang tidak mempunyai kelas", lain halnya jika semua manusia yang ada
sekarang musnah sama sekali tentulah terjadi proses : werden undvergehen, yakni
perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai pergaulan hidup yang tidak
mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).
Di zaman purba waktu ilmu (wetenschap) masih muda, semua
perjuangan dalam kegelapan (kelas-kelas) diterangi (dibereskan) oleh agama yang
bermacam-macam; perjuangan golongan menyerupai keagamaan, umpamanya
pertentangan Brahmanisme dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang
dengan gelap), Mosaisme dengan Israilisme, kemudian Katholisme dengan
Protestanisme. Akan tetapi, pada hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan
kelas untuk kekuasaan ekonomi dan politik.
Kemudian sesudah ilmu dan percobaan menjadi lebih sempurna,
sesudah manusia melemparkan sebagian atau semua "kepicikan otak"
(dogma), setelah manusia menjadi cerdas dan dapat memikirkan soal pergaulan
hidup, pertentangan kelas disendikan kepada pengetahuan yang nyata. Dalam
perjuangan untuk keadilan dan politik, manusia tidak membutuhkan atau
mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab agama, tetapi langsung menuju
sebab musabab nyata yang merusakkan atau memperbaiki kehidupannya. Di seputar
ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia dinamakan cita-cita pemerintahan
negeri. Kepada masalah itulah segenap keaktifan politik ditujukan.
Tatkala kehidupan masih sangat sederhana dan terutama
tergantung kepada pekerjaan tangan dan pertanian, pendeknya di zaman feodal,
seorang yang mempunyai darah raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau,
"boleh menaiki singgasana dengan pertolongan pendeta dan bangsawan",
menguasai nasib berjuta-juta manusia.
Cara pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit tatkala
teknik lebih maju dan feodalisme yang sudah bobrok itu pun merintangi kemajuan
industri. Kelas baru, yaitu "borjuasi" yang menguasai cara
penghasilan model baru (kapitalisme), merasa tak senang sebab ketiadaan hak-hak
politik. Mereka meminta supaya pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih
cakap dan pemerintah boleh "diangkat" atau "diturunkan"
oleh rakyat. Cita-cita politik borjuasi adalah demokrasi dan parlementarisme. Ia
menuntut penghapusan sekalian hak-hak feodal dan juga menuntut penetapan sistem
penghasilan dan pembagian (distribusi yang kapitalistis).
Tatkala raja dan para pendetanya tetap mempertahankan
hak-haknya hancurlah mereka dalam nyala revolusi. "Revolusi borjuasi"
tahun 1789 sebagai buah pertentangan yang tak mengenal lelah antara feodalisme
dengan kapitalisme menjadikan negeri Prancis sebagai pelopor sekian banyak
revolusi yang kemudian berturut-turut pecah di seluruh Eropa.
Nasib raja Prancis (yang digulingkan) diderita juga oleh
raja Rusia yang mencoba-coba mengungkung borjuasi dan buruh dengan perantaraan
kesaktian takhayul dan kekerasan di dalam sekapan feodalisme yang lapuk itu.
Cita-cita revolusioner berjalan terus tanpa mengindahkan
adanya pukulan, peluru dan siksaan yang tak terlukiskan walaupun dengan pena
pujangga Dostoyevsky. Di dalam gua-gua yang gelap, di dalam tambang-tambang di
Siberia, di dalam penjara yang mesum, dingin dan sempit itu, angan-angan dan
kemauan revolusioner memperoleh pelajaran yang tak ternilai. Kerajaan, gereja
dan Duma (parlemen di Rusia) dalam waktu yang singkat habis disapu oleh
gelombang revolusioner yang tak terbendung. Dalam revolusi buruh bulan November
1917 kelihatan bahwa kelas buruh mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi
borjuasi.
Raja Inggris, George III, yang tak mengindahkan riwayat
negerinya sendiri menyangka bahwa armada yang kuat dan kebesaran kekayaannya
dapat merintangi tumbuhnya kesosialan. Bangsa Amerika Utara dengan tak
mengindahkan jumlahnya yang kecil, kurangnya pengalaman dalam soal penerangan,
uang dan lain-lain alat material, dapat mencapai kemerdekaannya sesudah
mengadakan perlawanan habis-habisan yang tak kenal lelah itu.
Baru setelah kungkungan ekonomi dan politik berhasil
diputuskan dari imperialisme Inggris, dapatlah Amerika Utara melangkah menuju
kekayaan kekuasaan dan kebudayaan yang sungguh tiada dua dalam riwayatnya.
Seandainya ia belum dua kali menceburkan diri kedalam
revolusi (pada tahun 1860), Amerika Utara tak akan dikenal dunia selain sebagai
Australia dan Kanada.
Revolusi sosial bukanlah semata-mata terbatas di Eropa saja,
tetapi merupakan kejadian umum yang tidak bergantung kepada negeri dan bangsa.
Tidakkah Jepang 60 tahun yang lalu (1868) menghancurkan sekalian hak-hak feodal
dengan perantaraan revolusi? Sesudah kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari
Terbit.
Pendeknya dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan
nasionallah (yang dapat dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian
negeri besar dan modern tanpa kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas
dan penjajahan.
Revolusi bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas,
menentang kecurangan dan kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari
kecelaan.
Di dalam masa revolusilah tercapai puncak kekuatan moral,
terlahir kecerdasan pikiran dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan
masyarakat baru.
Satu kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan
peraturan-peraturan kolot serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah
atau terkutuk menjadi budak abadi.
Revolusi adalah mencipta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar