Kecurangan tukang waning Belanda yang sudah tiga ratus tahun
dalam dunia imperialistis yang disebut kolonisator menciptakan pertentangan
sosial dan kebangsaan yang satu-satunya di seluruh Asia. Di satu pihak tampak
kapital yang beranak pinak dalam pertanian yang sangat modern, dengan produksi
yang sangat tinggi dan dengan jalinan hubungan internasional yang bersatu dalam
sejumlah sindikat dan trust yang memberi untung yang berlipat ganda. Di lain
pihak, tampak kaum tani, pedagang-pedagang kecil dijadikan buruh. Mereka
berjubel-jubel sebagai buruh industri di kota-kota dan buruh tani di
kebun-kebun. Semua ini melahirkan kesengsaraan, perbudakan dan kegelisahan.
Jika pertentangan kelas yang sebenarnya menyerupai satu
jurang yang tak dapat ditimbun, yang di negeri-negeri Barat dan Jepang
menimbulkan sosialisme, anarkisme dan bolsyevisme, di Indonesia jurang itu
diperdalam lagi oleh pertentangan bangsa Belanda kontra Indonesia. Pertentangan
ini, meskipun bukan satu sebab yang terpenting, tetapi mungkin sekali dapat
memancing perang-perang kemerdekaan. "Pertentangan" Belanda
kapitalist dengan buruh Indonesia, itulah nisbah sosial kita yang berbeda
dengan negeri-negeri lain. Pertentangan ini lahir dalam bentuk yang
setajam-tajamnya. Ketajaman itu bukan saja disebabkan oleh ketiadaan kapital
modern dar bangsa Indonesia, melainkan juga oleh perbedaan agama, bangsa,
bahasa, adat istiadat antara penjajah dan si terjajah.
Di negeri-negeri kapitalis yang maju, pertentangan sosial
terbagi atas dua kelas: kelas kaum kapitalis dengar para pengikutnya dan kelas
buruh. Kaum kapitalis ialah yang mempunyai tanah, pabrik, kereta api, kapal dan
bank, dan menambah kekayaan dalam keadaan biasa dengan jerih payah kaum buruh
yang tidak dibayar, yang dilukiskan oleh Marx "met de zijn kapitaal
geaccumuleenk meerwaarde". Kaum buruh ialah mereka yang kepunyaan dan
tanahnya dirampas oleh kapitalis. Mereka yang dulunya adalah petani dan
pedagang kecil, tetapi waktu ini segala miliknya punah sama sekali kecuali
tenaga, badan dan nyawa. Harga tenaga ini "tunduk" kepada turun
naiknya harga di pasar tenaga. Kaum kapitalis hidup dari pemerasan dan kaum
buruh dari upah kerjanya. Upah ini disebabkan oleh "undang-undang
besi" dalam "tawar-menawar" di pasar tenaga — tidak dapat
menutup harga kerja yang dilakukan (karena persaingan hebat di pasar tenaga dan
kecemasan akan mati kelaparan, terpaksa buruh itu menerima upah yang
serendah-rendahnya).
Supaya dapat mengadakan pemerasan atas kelas buruh yang
jumlahnya lebih besar, kelas kapitalis yang jumlahnya kecil, mempergunakan
"senjata gaib", seperti sekolah, gereja atau masjid, dan surat kabar,
juga perkakas kelas seperti polisi, tentara, penjara, dan justisi. Parlemen,
masjid, gereja, sekolah dan surat-surat kabar berdaya upaya menidurkan dan melemahkan
hati buruh dengan pendidikan yang banyak mengandung racun. Bila mereka tak
dapat berlaku seperti itu, dipergunakanlah penjara, polisi dan militer.
Persaingan ekonomi sesama kaum kapitalis menyebabkan
timbulnya kongsi. Mereka dapat melawan musuh-musuhnya yang terpencil. Kalau
kongsi dalam persaingan "mati-matian" tak dapat menaklukkan lawannya,
ia mencoba mengadakan kompromi. Kedua kongsi yang dulunya bermusuhan, sekarang
menjadi satu sindikat. Demikianlah mereka dapat menaikkan harga barangbarangnya
dengan sesuka hati, sehingga merugikan si pembëli (buruh dan tani miskin).
Jadi, sindikat itu adalah gabungan dari beberapa kongsi.
Akan tetapi kongsi bekerja itu menurut caranya sendiri dan merdeka seperti
biasa. Supaya kekuatannya bertambah besar dan terpusat ke satu pimpinan untuk
perjuangan ekonomi, dibentuklah satu trust. Jadi, sindikat mempunyai banyak
ketua, sedangkan trust seorang saja, dan begitu juga cara kerjanya, sebuah
trust dapat secara lebih sempurna menguasai pasar dunia daripada sindikat.
Di pasar negeri-negeri Barat, terutama Amerika, kita lihat
sejumlah tambang arang, industri besi, pabrik-pabrik minyak dan maskapai kapal
yang dulunya terpecah-pecah sekarang bersatu dalam trust yang besar, dikepalai
oleh raja-raja trust. Kita dengar nama-nama seperti Morgan Raja Bank,
Rockefeiler Raja Minyak, Carnagie Raja Baja dan Ford Raja Mobil.
Di Jerman kita lihat bagaimana trust yang banyak itu diikat
menjadi satu "gabungan trust". Pabrik-pabrik besi, arang dan kertas,
maskapai kapal dan kereta api semuanya tunduk di bawah pimpinan Stinnes yang
baru meninggal dunia. Demikianlah, Stinnes dapat menguasai harga bahan-bahan
mentah dan barang-barang pabrik, selanjutnya ongkos pengangkutan dan advertensi
dari barang-barang pabrik itu. Pembentukan trust seperti ini ditiru pula oleh
bank-bank yang menyatukan diri dari maskapai menjadi sindikat, dari sindikat ke
trust dan dari trust ke gabungan trust.
Bank meminjamkan uang kepada industri dan perkebunan; bank
itu senantiasa bertambah kaya oleh bunga uang yang tinggi, yang dibayar oleh si
peminjam. Akan tetapi, bunga uang yang tinggi itu ditarik si peminjam dari
buruh mereka, dan si buruh menarik hanya dari keringat dan tenaganya. Kepada
negara, bank juga meminjamkan uang yang mesti dibayar dengan bunga yang tidak
rendah. Bank negara pada gilirannya menarik pajak yang banyak sekali dari kaum
buruh (sebab merekalah yang terbanyak jumlahnya) untuk membayar utang itu
beserta bunganya. Ke negeri-negeri asing, bank memimjamkan uangnya dengan bunga
yang serupa. Bank, "benteng kapitalisme", jadi penguasa industri,
pertanian dan pemerintahan suatu negeri, dan dengan penanaman modal di negeri
asing itu, ia juga menguasai negeri-negeri itu.
Supaya tetap memperoleh bunga, maka ia jugalah yang
mengangkat dan memberhentikan kepala-kepala industri, ahli negara dan ahli
politik, dan langsung atau tidak menggaji atau menyuap mereka. Dengan adanya
trust maka ditaruhnya pimpinan perusahaan bank ke tangan beberapa bankir. Jadi,
bangkirlah pada hakikatnya yang jadi pemimpin industri, pengangkutan, pertanian
perdagangan, negara dan politik, pendeknya masyarakat kapitalis modern.
Dengan memperhatikan hal tersebut di atas, tampaklah kepada
kita bahwa makin maju kapitalisme, makin sedikit orang yang berharta dan jumlah
kaum buruh miskin menjadi lebih besar. Di negeri-negeri kapitalistis yang
cerdas seperti Inggris, Jerman dan Amerika, jumlah buruh yang pandai dan yang
tidak kurang lebih 75% dari penduduk. Jumlahnya pemangku tangan, tetapi
berkapital dan produksi makin lama makin sedikit. Kekuasaan dan kekayaan mereka
semakin besar. Jumlah buruh, tapi tak mempunyai apa-apa, makin lama makin
banyak, dan organisasi mereka demikian pula. Pertentangan kaum pemangku tangan
dengan buruh miskin makin lama semakin tajam dan akhirnya menimbulkan revolusi
sosial.
Di Indonesia proses kapitalisasi itu hampir tidak berbeda
dengan garis-garis besar yang diuraikan di atas. Saudagar-saudagar Indonesia
dan perusahaan yang kecil-kecil sudah lama lenyap dari masyarakat.
Beberapa juta jiwa sekarang hidup dalam keadaan "pagi makan,
petang tidak". Mereka tidak bertanah dan beralat lagi, tidak
berpengharapan di belakang hari. Kekuasaan atas tanah pabrik, alat-alat
pengangkutan dan badan perdagangan, kini semuanya dipesatkan dalam tangan
beberapa sindikat seperti Avros, Suikersyndikaat, Handeslvereeniging Amsterdam
dan lain-lain. Pimpinan sindikat-sindikat besar itu tergantung di tangan
beberapa orang kapitalis.
Pertentangan sosial antara kapitalis dan buruh di Indonesia
— berhubungan dengan satu dan lain hal — lebih tajam daripada apa yang
kelihatan oleh mata. Keuntungan besar dari gula, minyak, karet, kopi, teh dan
lain-lain sebagian besar mengalir ke Eropa, ke kantong bangsa Belanda, dan
sebagian kecil ada juga kembali ke Indonesia, tetapi bukan sebagai kenaikan
gaji buruh, melainkan sebagai penambah "kapital" yang sudah ada, buat
jadi "alat penghisap" yang baru pula. Sebagian besar keuntungan itu
ada di negeri Belanda sebagai gaji uang verlof atau pensiun pegawai-pegawai
Belanda.
Kemalangan nasib buruh Indonesia hanya dapat diperbaiki
dengan jalan menaikkan gaji mereka yang sepadan (dengan memperhatikan) harga
barang keperluan sehari-hari. Dengan pembukaan beberapa kebun besar, memang ada
kaum buruh atau penganggur yang mendapat pekerjaan, tetapi sebaliknya tanah
mereka disewakan dan dijual hingga banyak petani yang kehilangan miliknya.
Tambahan lagi, karena perluasan kapitalisasi itu, barang keperluan sehari-hari
bertambah tinggi harganya. Sungguh tak dapat dipungkiri bahwa kenaikan harga
barang dalam sepuluh tahun belakangan ini tidak sejalan dengan kenaikan gaji
buruh.
Demikianlah rakyat Indonesia tambah lama tambah miskin sebab
gaji mereka tetap seperti biasa (malahan kerapkali diturunkan), sementara
barang-barang makanan semakin mahal. Dan oleh persaingan yang makin lama makin
hebat, karena cacah jiwa cepat sekali bertambahnya dan kuat, berkuranglah
kepastian akan mendapat pekerjaan.
Jika kaum kapitalis itu bangsa Indonesia, tentulah
kemiskinan dan kemelaratan tak akan sepedih itu sebab sisa keuntungan yang
sangat banyak itu mungkin dilemparkan pada rakyat. Gaji buruh boleh jadi
dinaikkan; pengajaran, koperasi rakyat, industrialisasi dan kesehatan mungkin
diperhatikan dan diperbaiki. Sekarang tak semua itu terjadi, sebab untung yang
berlipat ganda terus menerus diangkut dari Indonesia keluar negeri.
Selain dari proses pengeringan ini, pertentangan sosial
dipertajam oleh perbedaan bangsa dan apa saja yang bersangkutan dengan hal itu.
Kaum kapitalis berbahasa lain dari rakyat dan pemerintah bukan pemerintah
rakyat. Kaum kapitalis dan pemerintah memeluk agama lain, mempunyai kesusilaan
dan kebiasaan lain, serta ideologinya berbeda dengan rakyat. Dalam pergaulan
sehari-hari antara kapitalis dan buruh, antara pemerintah dan rakyat, yang
tersebut tadi penting sekali. Kapitalis Belanda tidak mengenal buruhnya,
pemerintah Belanda mengenal rakyatnya. Bukan dia tak ingin mengenal rakyat.
Meskipun dia sekiranya mau berbuat serupa itu, tidaklah
mudah bagi Belanda akan menyelami batin penghuni khatulistiwa ini sebab mereka
tidak menyiapkan faktor-faktor yang perlu, seperti pendidikan, bahasa pergaulan
sosial dan kepercayaan rakyat. Oleh karena itulah, Belanda yang katanya
"sopan" kerapkali mengeluarkan kata-kata yang kotor terhadap bangsa
Indonesia. Bangsa Indonesia tidak akan menyukai pemerintah Belanda. Sebagaimana
Filipina yang tak langsung merasakan kekuasaan Gubernur Jenderal Amerika dan
boleh dikatakan tidak mendapat kesusahan dari pembesar-pembesar Amerika, masih
saja terus mereka menuntut kemerdekaannya, demikian jugalah bangsa Indonesia-selatan
akan tetap menagih kemerdekaan yang mutlak dan seluas-luasnya. Sebagaimana
seorang manusia tak suka diganggu dan dikuasai oleh orang lain, demikian pula
rakyat. Mereka lama-kelamaan tak akan membiarkan dirinya dijajah atau dikuasai
oleh bangsa lain.
Terserah kepada kita memperhatikan, apakah pertentangan
Belanda kapitalis dan Indonesia buruh akan tetap selama-lamanya atau sementara
waktu saja!
Pertentangan ini lambat laun berkurang bila pemerintah
sekarang, bukan nanti, mengadakan perubahan besar, perbaikan ekonomi, politik
dan sosial yang memperbaiki keadaan seluruh rakyat Indonesia.
Hak ini hanya terjadi dengan mendirikan industri baru
(kapas, karet, pabrik-pabrik mesin, perkapalan, tambang dan lain-lain), membuka
pertanian besar-besar dan memperbanyak jalan-jalan raya, mendirikan koperasi
rakyat dengan bunga yang rendah, memberi bantuan pikiran dan bahan kepada kaum
tani, tanah kepada bekas-bekas petani yang miskin, menaikan gaji buruh dan
mengurangkan jam bekerja, meringankan atau menghapuskan pajak dan membesarkan
pajak perkebunan atau kebun-kebun besar, dan industri dijadikan hak bersama,
yaitu pemerintah, memberikan hak dalam pemilihan umum yang seluas-luasnya
kepada bumiputra, mendirikan perwakilan rakyat yang "sejati" yang
daripadanya dipilih satu badan yang bertanggung jawab sepenuh-penuhnya kepada
rakyat Indonesia, menghapuskan segala badan birokrasi yang tak berfaedah,
seperti Raad van Indie, de Alt gemeene Secretaris dan lain lain.
Tentu tak akan terjadi!
Setengah dari itu pun tak akan terjadi. Taruhlah secara
tiba-tiba imperialis Belanda melemparkan "politik warung kecilnya"
dan mempergunakan politik kolonial sesungguhnya, itu sudah terlambat! Sekali
lagi terlambat! Imperialisme Belanda tak punya cita-cita, keberanian dan
alat-alat untuk mengadakan perubahan yang berarti sedikit. Ia terlalu
"daif" (lemah) untuk melakukannya dan tidak ada pula borjuasi
bumiputra modern dapat membantunya.
Adapun "kapital luar negeri" yang bertitik-titik
beberapa dollar dari wallstreet hanya seumpama beberapa butir kerikil yang
dilemparkan untuk menimbuni jurang yang sangat dalam antara imperialisme
Belanda dan rakyat Indonesia.
Perbaikan radikal seperti di Filipina dapat dan mau Amerika
jalankan, bila ia menerima kekuasaan politik di Indonesia dari Belanda si
tukang warung itu. Jika terjadi yang seperti ini, Amerika dalam waktu yang
singkat niscaya akan datang di Indonesia dengan beberapa ribu juta rupiah.
Tetapi mustahil! Sebab bertentangan dengan kepentingan dan "kehormatan"
Belanda. Sebab kapital Amerika yang besar di Indonesia akan mendesak kapital
Belanda ke sisi! Dan kalau keuangan terikat, kapital Belanda tak berarti (dan
tukang warung Belanda terpaksa jadi boneka-boneka Paman Sam).
Tentu saja "Meneerge" tidak mau! Tambahan lagi
yang tak kurang pentingnya, ini berarti kekuasaan ekonomi dan politik Amerika
akan bertambah besar di bagian yang strategis dan penting sekali di Pasifik.
Hal itu tentulah dengan sekuat-kuatnya akan ditentang oleh Inggris dan Jepang
yang dengki, dan mungkin akan menimbulkan perang dunia yang lama dan dahsyat.
Oleh sebab itu, bagi Belanda cilik yang enggan musnah, lebih
baik ia berbuat sesukanya sambil menunggu keruntuhannya. Lagi pula, penjajah
lain (Inggris, Amerika dan Jepang) lebih baik membiarkan Belanda bergumul
dengan jajahannya yang mulai durhaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar