Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru. Ia pulang ke
Indonesia dengan satu tekad: revolusi.
------------------------
HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri.
Para pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan
bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote Kerk
atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ termegah di
dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun; dan tentu saja,
gedung City Hall, pusat administrasi Kota Haarlem.
Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki
pertama kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan
bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah guru
Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.
Wajah Haarlem tak banyak berubah. Struktur tata kotanya
masih seperti ketika Perang Dunia Pertama dimulai. Gedung-gedung bersejarah
masih berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari
bangunan-bangunan tua yang berbeda.
Tan Malaka tinggal pertama di sebuah rumah pemondokan
bersama beberapa murid Rijkweekschool di Jalan Nassaulaan, yang sekarang
menjadi jalan utama yang membatasi bagian kota tua dengan bagian baru yang
merupakan perluasan Kota Haarlem. Rumah yang dipilih oleh direktur sekolah guru
PH Van Der Ley itu masih berdiri hingga sekarang. Lantai dasarnya menjadi
semacam studio pembuatan perlengkapan dapur. Dindingnya terdiri dari bata
merah. Untuk mencapai sekolah guru, Tan tinggal berjalan kaki saja.
Tapi Tan tak betah di sana. Ia pindah ke Jacobijnestraat,
sebuah jalan kecil di belakang Grote Markt ini berlapis batu-batu tua yang
lebarnya tak lebih dari lima meter. Jalan ini biasanya hanya dilalui pengendara
sepeda.
Rumah-rumah tua dan kecil yang terlihat seperti berdesak-an
di pengujung jalan ini adalah tipikal rumah buruh miskin di Haarlem awal abad
ke-20. ”Di sebuah rumah kecil, saya mendiami kamar loteng yang sempit dan
gelap,” demikian tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara. Rumah ini
masih berdiri meski ringkih dimakan usia. Tapi dengan polesan yang cantik,
rumah ini kini sedang berhias menjadi toko bunga dan butik nan elegan.
Berdampingan dengan rumah itu adalah Toko Buku De Vries.
Toko buku inilah yang menjadi tempat yang disukai Tan selama tinggal di
Jacobijnestraat. Toko buku yang dulunya menjual buku bekas itu sekarang menjual
buku baru.
Loteng sempit yang diceritakan oleh Tan juga masih ada
walaupun tak bisa dikunjungi karena berbeda kepemilikan dengan toko di
bawahnya. Dari luar terlihat loteng itu memang sangat kecil dengan ukuran
jendela yang sekaligus berfungsi sebagai ventilasi.
Menurut Dian Purnamasari, warga Indonesia yang tinggal di
Haarlem, Jacobijnestraat dulunya adalah daerah permukiman buruh. Sekarang
tempat itu merupakan daerah mahal yang akan diubah menjadi salah satu daerah
chic karena lokasinya yang strategis persis di tengah kota.
l l l
Kedatangan Tan Malaka di Belanda disambut aura kemiskinan
Haarlem yang sedang jatuh-bangun menghadapi depresi ekonomi. Ratusan pabrik
penyulingan bir gulung tikar. Pabrik tekstil yang sempat menjadi tulang
punggung kota ini juga bertumbangan. ”Belum lama di Belanda, sudah terasa
konflik antara jasmani dan keadaan,” kata Tan dalam tulisannya.
Dalam kondisi seperti itulah, Ibrahim memulai pendidikannya
sebagai calon guru. Dia harus cepat menyesuaikan diri dengan masyarakat, iklim,
serta kehidupan yang baru. Tapi yang paling sulit adalah mencerna makanan khas
Eropa. ”Bahan makanannya memang baik dan berzat, tapi cara pengolahnya tak
keruan,” ucapnya.
Dengan uang saku yang cuma 50 gulden setiap bulan, Tan hanya
sanggup tinggal bersama keluarga miskin, E.A. Snijder, di Nassaulaan 29-Rood.
Baru setelah mendapat pinjaman pendidikan 1.500 gulden dari Dana Pendidikan dan
Studi Hindia belanda (NIOS)—atas bantuan pensiunan mayor jenderal A.N.J.
Fabius—Ibrahim mendapatkan kamar lebih baik di rumah pasangan Gerrit van Der
Mij di Jacobijnestraat 7-Rood. Di sini Tan, yang dipanggil Ipi oleh
kawan-kawannya, menghuni sejak 24 April 1915 hingga 11 Juli 1916.
Sayangnya, keturunan keluarga Van Der Mij tak ada lagi.
Menurut catatan administrasi Haarlem, Van Der Mij meninggal pada 1916, disusul
wafatnya sang istri pada 1937. Adapun anak mereka satu-satunya, Hilbrand
Anthonie van Der Mij, meninggal pada 1947 tanpa keturunan.
Hampir setiap hari Tan bersepeda menuju gedung
Rijkweekschool di tepi Sungai Spaarne. Jaraknya 10 hingga 15 menit bersepeda.
Pada 1915, Rijkweekschool pindah ke gedung baru di Leidsevaart, yang persis
berhadapan dengan kanal kecil—yang bermuara di Sungai Spaarne. Tak seperti
gedung lama yang diimpit oleh jalan dan tak punya halaman, gedung baru di
Leidsevaart lebih besar dengan halaman depan yang luas. Untuk sampai ke sini
setidaknya dibutuhkan waktu hingga 20 menit.
Perpindahan gedung ini tampaknya jadi kebanggaan Kota
Haarlem kala itu, sehingga beritanya pun terbit dalam salah satu edisi koran
Panorama pada 1915. Koran ini memuat foto seluruh siswa Rijkweekschool,
termasuk Tan.
l l l
Semangat Tan menempuh pendidikan sekolah guru ke Belanda tak
lepas dari campur tangan G.H. Horensma. Dia berhasil meyakinkan Direktur van
der Ley bahwa Tan pintar dan cerdas. ”Pemuda ini banyak bakat dan energinya,
tingkah lakunya baik sekali, rapi dan gairah belajarnya besar,” tutur Van Der
Ley kepada schoolopziener di Distrik Haarlem.
Di sekolah, Tan dapat mengatasi masalah pelajaran. Ia
berbakat dalam ilmu pasti. Ini mengherankan para gurunya, yang berpikiran bahwa
orang Hindia tak pandai ilmu pasti. Dia justru amat membenci ilmu
tumbuh-tumbuhan karena harus menghafalnya. ”Bencinya lebih besar ketimbang
benci makan roti dan keju,” ujarnya.
Guru dan teman-temannya mudah menerima Tan yang pandai
bergaul sekalipun ada kendala bahasa. Dia aktif bermain sepak bola dan main
biola bersama orkes sekolah. Terkadang dia memamerkan tari-tarian Minangkabau
kepada teman-temannya.
Untuk urusan sepak bola, ia dikenal memiliki tendangan yang
kencang. Tan bergabung dengan klub Vlugheid Wint. Kakinya sering terluka lantaran
tak bersepatu. Tan juga kerap mengabaikan peringatan teman-temannya agar
mengenakan jaket tebal pada saat istirahat pertandingan. Bahkan dalam kondisi
sakit pun, nafsu bermain sepak bola Tan tak padam.
Dengan kualitas makan yang buruk, kamar yang tak sehat, dan
tak pernah mengenakan jaket tebal, Tan mulai terserang radang paru tepat pada
musim panas 1915. Sejak itu, dia tak pernah seratus persen sehat. Pada awal
1916 kesehatannya mundur lagi sehingga sulit mengikuti pelajaran di sekolah.
Bahkan ujian pun dilaluinya dalam kondisi ambruk.
l l l
Pondokan di Jacobijnestraat adalah tempat berseminya
pemahaman politik Tan. Dia kerap terlibat diskusi hangat antara teman satu kos,
Herman Wouters, seorang pengungsi Belgia yang melarikan diri dari serbuan Jerman,
dan Van der Mij. Dari diskusi itu, Tan tersadar bahwa dunia tengah bergolak.
Sekonyong-konyong, sebuah kata baru mulai jadi subyek misterius bagi Tan
Malaka: revolusi.
Namun dia tak langsung menjadi partisipan aktif, ”Politik
bagi saya adalah terra incognita,” ucapnya. Dia lebih banyak mengamati dan
mendengar sambil ikut-ikutan membaca De Telegraf, surat kabar yang anti-Jerman
dan Het Volk yang rajin menyerukan pesan antikapitalisme dan antiimperialisme.
De Telegraf adalah koran langganan Mij. Het Volk merupakan media yang selalu
dibaca Wouters.
Tan Malaka tak bisa menghindar dari perkembangan politik
dunia. Perang yang berkecamuk telah mempengaruhi perkembangan pemikirannya.
Selain membaca koran-koran ”kiri”, dia mulai lapar informasi politik. De Vries
semakin rajin dikunjungi termasuk toko buku lain di ujung Jacobijnestraat. Buku
karya para filsuf dan pemikir populer pada zaman itu menjadi santapannya,
seperti Thus Spoke Zarathustra dan Wille zur Macht (Will to Power) karya filsuf
Jerman, Friedrich Nietzsche. Begitu pula The French Revolution karya Thomas
Carlyle, penulis esai ternama Skotlandia. Dari buku ini Tan Malaka mengenal
semboyan liberte, egalite, fraternite (kemerdekaan, persamaan, persaudaraan).
”Tiba-tiba saya berada dalam semangat dan paham yang lazim
dinamai revolusioner,” tutur Tan Malaka dalam tulisannya.
l l l
Tan meninggalkan Haarlem pada 1916 dan pindah ke Bussum.
Jarak Haarlem-Bussum dengan kereta api biasa ditempuh selama satu setengah jam.
Di kawasan Korte Singel, Bussum, dia tinggal bersama keluarga Rietze Koopmans.
Rumah keluarga Koopmans masih berdiri hingga kini dan tetap sama seperti ketika
Tan tinggal di sana hingga Mei 1918.
Rumah bercat putih gading dengan struktur kayu itu
dikelilingi pohon rimbun. Penghuninya yang sekarang baru setahun menempati
rumah yang sangat asri itu. Mereka pun antusias ketika mengetahui rumahnya dulu
ditempati seorang tokoh nasional Indonesia. Sayangnya, pasangan ini menolak
menyebut nama. Menurut mereka, setidaknya ada empat keluarga yang menghuni
rumah itu sebelumnya.
Kepindahan ke Bussum membuat Tan Malaka lagi-lagi tersadar,
hidup tak sekadar penjajah dan terjajah. Di kota ini dia menemukan pola hidup
borjuis yang berjurang luas dengan proletar. Dia merasakan perbedaan yang
mencolok antara gaya hidup mewah Koopmans dan keluarga Van der Mij yang
proletar.
Revolusi Komunis yang meledak di Rusia pada Oktober 1917
juga memberi keyakinan pada Tan bahwa dunia sedang beralih ke sosialisme.
Berbagai gagasan baru tentang bagaimana seharusnya bangsa Indonesia dibangun
berseliweran dalam benak Tan.
Lalu datanglah tawaran dari Suwardi Surjaningrat alias Ki
Hadjar Dewantara agar dia mewakili Indische Vereeniging dalam kongres pemuda
Indonesia dan pelajar Indologie di Deventer, Belanda. Di forum inilah, untuk
pertama kali, Tan membeberkan gagasan, yang selama ini bersemayam dalam
pikirannya, secara terbuka.
Berikutnya Tan tinggal di Gooilandscheweg, kawasan borjuis
yang awet hingga kini. Ketika Tempo berkunjung, rumah itu sepi. Penghuninya
sedang tak di tempat. Tetangga kanan-kiri berjauhan. Tan menulis, daerah
Gooilandscheweg memang daerah borjuis, dipenuhi rumah peristirahatan nan cantik
yang jaraknya berjauhan.
Di rumah ini Tan mulai putus asa karena tak lulus ujian
untuk izin mengajar sebagai guru di Belanda. Padahal dia harus mulai bekerja
agar bisa membayar utangnya kepada NIOS. Pada saat yang sama, dia semakin aktif
mengunjungi rapat-rapat Indie Weerbaar (Pertahanan untuk Hindia), yang sering
diadakan Himpunan Hindia.
Sebagai pelajar dari bangsa terjajah, Tan Malaka akhirnya
merasa sudah saatnya ada revolusi di Indonesia agar terlepas dari penjajahan
dan mulai membangun sistem sosialisme. Setelah gagal mendapatkan izin mengajar
namun mendapat banyak pelajaran penting tentang politik selama enam tahun, Tan
memutuskan pulang ke Indonesia pada 1919.
Tan pulang hanya dengan satu cita-cita: mengubah nasib
bangsa Indonesia. Sayangnya, karena cita-cita ini jugalah Ibrahim harus kembali
lagi ke Belanda pada 1922. Kali ini bukan sebagai pelajar, melainkan buangan
politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar