Adsense

Pages - Menu

Tampilkan postingan dengan label Tempo Khusus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tempo Khusus. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2014

Warisan Tan Malaka

Warisan Tan Malaka
Asvi Warman Adam-Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
------------------
  
MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan Partai Murba? Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan setelah mendirikan partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7 November 1948—bertepatan dengan hari revolusi Rusia—tentu tak sembarangan. Murba muncul setelah Partai Komunis Indonesia tersingkir pasca-Peristiwa Madiun, September 1948. Karena itu Murba dicitrakan sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI.

Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan hanya bersaing sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham mengenai pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso berdampak panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun, ketika ditanya wartawan apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya sinis. Bila ia punya kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka.

(Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi

(Bukan) Seseorang dalam Arus Utama Revolusi
Bonnie Triyana – Sejarawan-cum-wartawan
-------------------

TAN Malaka adalah legenda. Pada 1950-an, di berbagai kota dan desa di Minangkabau, setiap orang tua menceritakan kepada anak-anaknya kehebatan Tan Malaka, yang konon bisa menghilang secara gaib dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, yang jaraknya terpaut ratusan kilometer, hanya dalam satu kedipan mata.

Mitos yang hadir di tengah masyarakat itu tak lain karena ”riwayat hidupnya bagaikan cerita detektif yang penuh ketegangan,” kata Dr Alfian dalam tulisannya, ”Tan Malaka Pejuang Revolusioner yang Kesepian”. Matu Mona alias Hasbullah Parinduri meminjam sosok Tan Malaka untuk karakter Pacar Merah dalam roman Pacar Merah. Muhammad Yamin menyebutnya sebagai Bapak Republik Indonesia yang dipersamakan dengan Washington yang merancang Republik Amerika Serikat jauh sebelum merdeka, atau dengan Rizal-Bonifacio yang meramalkan berdirinya Filipina sebelum revolusi terjadi. Rudolf Mrazek menyebut Tan Malaka sebagai manusia komplet. Ia begitu hebat: pemikir yang cerdas dan aktivis politik yang lincah.

Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan

Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan
Rizal Adhitya Hidayat - Bekerja di Universitas Indonusa Esa Unggul
-------------------------
  
SAMPAI kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi, lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain. Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga hidup merdeka seratus persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian dari Kempetai, polisi rahasia Jepang (1943), adalah warisannya yang paling otentik.

Tan menginginkan Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika, dan Logika—sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Inilah warisan perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat untuk mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang, menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir, mulai periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas eksplorasi logika sains.

Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau

Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau
Zulhasril Nasir - Guru Besar Komunikasi UI dan penulis buku Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007)
----------------------------
  
BERDIRI di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, berseru, ”Mengapa di tempat yang indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poeze, sejarawan peneliti Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu.

Adegan itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim Datuk Tan Malaka, 32 kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti itu baru usai meresmikan ”Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka”, pada 22 Februari 2008. Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit bukit dan sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum.

Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk menjadi siapa saja. Tiada lapisan sosial. Yang ada hanya fungsi sosial. Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Lelaki dan perempuan bicara dalam adat yang sama. Tan Malaka beruntung menjadi anak seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain.

Republik dalam Mimpi Tan Malaka

Republik dalam Mimpi Tan Malaka
Hasan Nasbi A.
Program Manager Indonesian Research and Development Institute, penulis buku Filosofi Negara Menurut Tan Malaka (LPPM Tan Malaka, 2004)
-----------------------------

Dr Alfian menyebut Tan Malaka sebagai revolusioner kesepian. Mungkin tidak berlebihan. Tan Malaka memang pejuang kesepian dalam arti sesungguhnya. Sekitar 20 tahun (1922-1942) Tan Malaka hidup dalam pembuangan, tanpa didampingi teman seperjuangan. Beberapa kali dia harus meringkuk di penjara negara imperialis saat berada di Filipina dan Hong Kong, serta selama dua setengah tahun dipenjarakan tanpa pengadilan oleh pemerintah republik yang ia cita-citakan.

Sebagai pelarian dan tahanan, Tan tak pernah berhenti memikirkan nasib Negeri Hindia Belanda. Banyak gagasan yang lahir selama masa pelarian itu. Namun Tan Malaka tak punya cukup kesempatan untuk mendialektikakan gagasannya dengan tokoh-tokoh pejuang lain. Ada perbedaan waktu dan pengalaman sejarah yang membuat Tan Malaka berjarak dengan pengikut-pengikutnya yang kemudian berada dalam barisan Partai Murba. Meski tetap dijadikan idola hingga saat ini, perangai dan prinsip perjuangan Tan sungguh tak bisa diikuti oleh siapa pun. Hatinya terlalu teguh untuk diajak berkompromi dan punggungnya terlalu lurus untuk diajak sedikit membungkuk.

Tan Vs Pemberontakan 1926-1927

Mestika Zed
Sejarawan Universitas Negeri Padang

DI pagi buta yang becek, awal 1927, kaum pemberontak di Silungkang, Sumatera Barat, akhirnya mengikuti jejak rekan-rekan mereka di Banten, yang meletuskan pemberontakan pada pertengahan November 1926. Mereka menyerang kedudukan pemerintah.

Sasaran utama adalah menangkap dan membunuh pejabat pemerintah, pejabat pribumi, dan kulit putih. Mereka merusak sejumlah instalasi publik, seperti stasiun dan kantor pos. Juga berencana membakar instalasi tambang batu bara dan menyerang semua simbol rezim kolonial di kota itu.

Gerakan pemberontak itu dapat dipatahkan. Hanya sebagian kecil sasaran yang terpenuhi. Selebihnya menyisakan prahara berkepanjangan. Sampai 12 Januari 1927, lebih dari 1.300 orang ditangkap. Ratusan bom dan senjata api disita. Kebanyakan mereka dibuang ke luar Sumatera Barat, termasuk ke Digul. Ada pula yang dihukum gantung.

Kolom Tempo - Tan Malaka, Sejak Agustus Itu

Kolom Tempo

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu
Catatan Pinggir Goenawan Mohamad
--------------------------

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.

Misteri Mayor Psikopat

MENGAPA Tan Malaka ikut Mayor Sabarudin bergerilya ke Kediri? Inilah teka-teki yang sampai hari ini belum terjawab. Harry Poeze terheran-terheran, Tan yang sangat intelektual dan berpengalaman dalam sejumlah royan itu menyanggupi ajakan Sabarudin berjuang ke Kediri. ”Padahal Sabarudin dikenal sebagai seorang gila, bahkan psikopat,” ucap Poeze.

Sabarudin memang pengagum Tan. Tapi, kata Poeze, ia berperilaku aneh: kadang tak terkontrol menembak tawanannya dan disebut senang minum darah musuh. Tindakan Sabarudin yang keterlaluan itulah yang menyebabkan Soengkono membubarkan batalion Sabarudin. Lantaran batalionnya dibubarkan, ia memilih jalan sendiri.

Ketika Tan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948, Sabarudin datang dari Kediri menemui Tan di Yogyakarta. Saat itu Tan bukan ketua, tapi duduk di dewan partai. Pada hari pendirian partai itulah Tan memancangkan program kerja sama antara rakyat biasa dan kesatuan militer. Ia meminta Murba banyak mendirikan organisasi pertahanan rakyat. Ini adalah perwujudan dari ide Tan Malaka dalam bukunya, Gerpolek (Gerilya Politik Ekonomi).

Wawancara Setelah Mati

Tan Malaka bak selebritas. Kisah hidupnya dicuplik untuk kisah roman, sosoknya dipalsu dan diburu.
-----------------------

NOVEMBER 1945. Tan Malaka sedang dalam perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya. Di dalam mobil yang ditumpanginya, dia membawa serta bahan buku Madilog. Belum sampai di tempat tujuan, terbetik kabar sudah ada ”Tan Malaka” di Surabaya. Dia berorasi di hadapan para pejuang kemerdekaan. Pidatonya disiarkan stasiun radio lokal.

Begitu tiba di Surabaya, ia ditahan sejumlah aktivis, begitu juga Tan yang sudah berpidato. Soemarsono, pemimpin pemuda pejuang di Surabaya, membawa keduanya ke sebuah rumah. Menurut Harry A. Poeze, pengarang buku tentang Tan Malaka, kedok Tan palsu terbongkar lantaran penjelasannya tidak masuk akal. ”Gara-gara kasus itu, hampir saja bahan Madilog hilang,” kata Tan dalam pengantar bukunya tersebut.

Kisah Tan gadungan tak cuma sekali. Pada 1949, nama Tan muncul dalam sebuah wawancara di koran lokal di Kediri, Jawa Timur. Yang menggelikan, pemuatannya terjadi setelah Tan meninggal. Menurut Poeze, jawaban-jawaban dalam wawancara juga tak sesuai dengan pemikiran Tan Malaka.

Senin, 10 Februari 2014

Perempuan di Hati Macan

Kisah cinta Tan Malaka sama tragis dengan hidupnya yang klandestin. Mengidamkan sosok Kartini, ditolak dua kali oleh perempuan yang sama.
----------------------------

RAPAT tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota, berlangsung sengit. Ibrahim, yang belum genap 17 tahun, menolak gelar datuk. Padahal dia anak lelaki tertua keluarga Simabur, yang harus memangku gelar itu sebelum ayahnya meninggal. ”Ibunya memberi pilihan: menolak gelar atau kawin,” kata Zulfikar Kamaruddin, 60 tahun, keponakan Ibrahim, kepada Tempo pada Juli lalu.

Ibrahim menyerah dan menerima gelar tertinggi dalam adat Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Sebagai datuk, ia membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta penobatannya, pada 1913, digelar tujuh hari tujuh malam.

Pesta itu sekaligus penyambutan orang rantau yang baru lulus sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi dan pesta perpisahan. Sebab, datuk muda itu akan segera ke Belanda. Ibrahim mendapat beasiswa sekolah guru di Rijkskweekschool, Haarlem. Hal ini berkat jasa baik guru Belanda yang mencintainya: Gerardus Hendrikus Horensma, setelah uang saweran orang sekampung tak cukup untuk ongkos Ibrahim.

Trio Minang Bersimpang Jalan

Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir berselisih paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Sama-sama egois.
----------------------------

OBROLAN tiga anak muda di rumah Darsono, tokoh komunis Indonesia, di Berlin, Jerman, pada pertengahan Juli 1922 itu berlangsung gayeng. Mohammad Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan komunisme yang dasarnya demokrasi tulen.

”Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl Marx menyebut diktator proletariat,” Hatta, 20 tahun, menyela.

”Itu hanya ada pada masa peralihan,” Tan menukas. Dia melanjutkan, ”Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator orang-seorang.”

Hatta menceritakan kembali percakapan itu dalam Memoir (1979). Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Tapi, kepada Z. Yasni yang mewawancarainya pada 1977, Hatta mengatakan bahwa dalam diktator proletariat yang berkuasa tetaplah para pemimpinnya.

Sobatmu Selalu, Ibrahim

Sobat yang baik, Aku sama sekali tidak lupa memberitahukanmu bahwa aku telah gagal. Tidak sampai hati aku mengirimkan kartu pos bergambar dari Zandvoort padamu. Hari ini dan kemarin aku hanya banyak bersenang-senang dengan gadis-gadis, hingga aku merasa bahwa bersedih-sedih atas kegagalan itu hanya akan jadi bahan tertawaan saja....

Semoga kau mencapai sukses. Kuatkanlah hatimu, Kawan. Jika aku masih di Zandvoort, aku akan ke H (Haarlem) pada waktu hasil ujian diumumkan.

Tabek, Ieb Parkstr. 5, Zandvoort

(disadur dari kartu pos asli berbahasa Belanda yang dikirimkan Tan Malaka kepada Dick J.L. van Wijngaarden)

KARTU pos itu sudah lusuh dan kecokelatan termakan usia. Maklum, usianya sudah mencapai 80 tahun. Namun kartu itu tersimpan rapi dalam sebuah album bersama puluhan kartu pos lainnya. Di balik kartu pos terdapat gambar seorang gadis Belanda berbaring di atas pasir sambil tertawa menghadap kamera. Di belakangnya terlihat pantai Zandvoort yang terkenal sebagai pantai nudis—karena sering dikunjungi kelompok yang jarang berpakaian.

Cita-cita Revolusi dari Tanah Haarlem

Tan Malaka pergi ke Belanda untuk sekolah guru. Ia pulang ke Indonesia dengan satu tekad: revolusi.
------------------------

HAARLEM, 2008. Lautan turis, penuh warna, dan berseri-seri. Para pelancong memenuhi kafe di sekitar Grote Markt yang dikelilingi bangunan bersejarah. Ada Vleeshal, pasar daging yang kini menjadi museum; Grote Kerk atau Sint Bavokerk, gereja terbesar yang menyimpan salah satu organ termegah di dunia dan pernah dimainkan Mozart ketika berumur 10 tahun; dan tentu saja, gedung City Hall, pusat administrasi Kota Haarlem.

Di Haarlem inilah Ibrahim Datuk Tan Malaka menginjakkan kaki pertama kali di Negeri Kincir Angin pada akhir 1913. Tak sulit membayangkan bagaimana Ibrahim menjalani kehidupan sehari-hari sebagai siswa sekolah guru Rijkweekschool di kota kecil bagian utara Belanda ini.

Wajah Haarlem tak banyak berubah. Struktur tata kotanya masih seperti ketika Perang Dunia Pertama dimulai. Gedung-gedung bersejarah masih berdiri, dengan komposisi yang masih sama. Hanya fungsi dari bangunan-bangunan tua yang berbeda.

Macan dari Lembah Suliki

Jejak hidup dan pemikirannya terentang dari lembah sepi Suliki di Payakumbuh, Sumatera Barat, hingga Moskow di belahan timur Eropa.
-------------------

Sejak kecil dia adalah si badung yang gandrung tantangan sampai mendapat julukan si Macan. Hidup sang Macan ternyata sunyi dari romansa. Tiga kali jatuh cinta, semuanya pupus di tengah jalan: Tan tidak pernah menikah. Perhatiannya hanya untuk perjuangan.

Si Badung dari Pandan Gadang

Tan Malaka kecil dikenal pemberani. Sering kena jewer puser. Rajin bersembahyang dan hafal Quran.

HAMPIR dua abad berlalu, rumah gadang di Nagari Pandan Gadang masih kukuh berdiri. Atap ijuk memang sudah berganti seng, tapi tiang kayu utama, dinding, dan lantai tak tergantikan. Jendela-jendela berkaca patri juga sebagian masih terawat. Di teras tertera tulisan ”Tan Malaka”. Rumah itu terletak seratus meter dari jalan raya yang melintasi Suliki, Payakumbuh, 120 kilometer timur laut Padang.

Rumah ini tadinya didiami keturunan keluarga besar Tan Malaka. Tapi, sejak Februari 2008, rumah itu beralih fungsi menjadi museum. Buku-buku karya Tan dipajang di lemari kaca. Baju adat saat penyematan gelar, tempat tidur, dan foto-foto Tan juga ada di situ. ”Barang-barang ini dikumpulkan oleh keluarga,” kata Hengky Novaron, salah satu keturunan yang kini menjadi pemangku gelar Datuk Tan Malaka.

Tumpah Darahku dalam Sebuah Buku

AWAL tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah ”hamil tua”. Dari persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie in Indonesia itu terlambat keluar dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926 sama sekali gagal menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin dipenjarakan dan dibuang.

Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas saat itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah ringkas akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.

Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme, menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa; desakan kuat dari bawah untuk mendorong perubahan. ”Massa aksi terjadi dari orang banyak yang bergerak,” katanya.

No Le Toqueis, Jawa!

Filipina adalah tanah air Tan yang kedua. Pesakitan di negeri sendiri, Tan justru dielu-elukan di Manila.
-------------------------
” .... Jadi bukakan pintu dan jendela supaya penganjur masuk dari luar!” Manuel Quezon berseru-seru.

WAJAH Quezon langsung sumringah bila berbicara tentang Tan Malaka. Dalam Apa dan Siapa Tan Malaka, Muhammad Yamin mencatat betapa bekas ketua senat dan presiden Filipina itu tersenyum lebar ketika menyebut Tan, seorang kawan lama yang memanggil negeri pinoy itu dengan nama intim: Indonesia Utara.

Tan tak pernah tinggal lama di Filipina. Tapi kehadirannya membawa angin segar bagi gerakan nasionalis yang makin mekar setelah pahlawan mereka, Jose Rizal, dieksekusi pada 1896. Saat Tan ke sana, dua dekade sudah berlalu sejak Spanyol kalah perang. Ratusan ribu hingga satu juta orang Filipina tewas saat Amerika Serikat masuk. Jadilah negeri ini koloni dengan julukan berbau rasis, ”saudara kecil kita yang berkulit cokelat”.

Sepanjang 1925-1927, Tan tiga kali mondar-mandir ke Manila. Paspornya berganti-ganti: Hasan Gozali, Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Howard Law, atau Cheung Kun Tat. Tan berpindah-pindah tempat, menumpang di teman-teman yang menghargai perjuangan dia sebagai pejuang antikolonial yang eksil dari Hindia Belanda.

Penggagas Awal Republik Indonesia

BERKELANA sebagai orang buangan di saat rekan-rekannya di Tanah Air berjuang melawan imperialis membuat Ibrahim Datuk Tan Malaka nelangsa. Ia kian kesal ketika permohonannya untuk kembali ke Jawa ditolak Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock. Padahal keinginannya mengabdi kepada partai dan rakyat begitu menggebu-gebu.

Maka, di sela-sela tugasnya sebagai agen Komintern di Tiongkok, Tan pun menulis sebuah brosur panjang: Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dalam kata pengantar, dia menulis: ”Jiwa saya dari sini dapat menghubungi golongan terpelajar (intelektuil) dari penduduk Indonesia dengan buku ini sebagai alat.”

Naar de Republiek terbit di Kanton pada April 1925. Tak jelas berapa eksemplar brosur ini dicetak. Yang pasti, cuma beberapa buah yang berhasil masuk ke Indonesia. Tan kembali mencetak tulisan panjang itu ketika dia berada di Filipina pada Desember 1925. Cetakan kedua inilah yang kemudian menyebar luas melalui jaringan Perhimpunan Pelajar Indonesia. Para pemuda bahkan mengetik ulang buku ini—setiap kali dengan karbon rangkap tujuh.

Gerilya di Tanah Sun Man

Meski sibuk menjalin hubungan dengan para revolusioner kiri, dia sempat menulis buku tentang Republik Indonesia.

------------------------

IBRAHIM Datuk Tan Malaka menjejak Tiongkok pada musim dingin 1923. Kala itu Dinasti Qing sudah lama terkubur. Kerajaan masih berdiri. Namun Puyi, The Last Emperor, praktis hanya ”boneka”. Negeri itu larut dalam tarik-menarik antara kekuatan Asing—terutama Inggris, Amerika, serta Jepang—dan para nasionalis yang menginginkan berdirinya Republik Cina merdeka.

Bujangan 26 tahun utusan Komintern di Moskow itu tinggal di Kanton, kini Guangzhou—kota di selatan Cina yang padat. Penduduknya dua juta. Toh, bagi Tan, Kanton tak pantas disebut kota besar. Cuma ada tiga jalan utama, satu kantor pos, perusahaan listrik, dan sebuah pabrik semen yang cerobongnya menjadi satu-satunya bangunan tinggi di sana. Namun Kanton istimewa karena menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Sun Yat-sen atau Sun Man, pemimpin Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik Cina, tinggal di kota ini.

Dukungan untuk Pan-Islamisme

DI Kongres Komunis Internasional ke-4, Tan Malaka menganjurkan kerja sama dengan kaum muslim dunia melawan kapitalisme. Gagasannya tak didukung, tapi pidatonya mendapat tepukan gemuruh peserta kongres. Petikannya:

.... Pan Islamisme punya sejarah panjang. Pertama saya ingin bercerita tentang pengalaman kami bekerja sama dengan kelompok muslim di Hindia. Di Jawa kami memiliki sebuah organisasi beranggotakan buruh-buruh miskin, Sarekat Islam, yang pada 1912-1916 memiliki satu juga anggota—mungkin juga tiga atau empat juta. Ini sebuah gerakan revolusioner yang amat besar dan muncul secara spontan.

Kami bekerja sama dengan kelompok ini sampai 1921. Sekitar 13 ribu anggota kami bergabung dan melakukan propaganda di dalam. Pada 1921 itu kami berhasil mempengaruhi mereka menjalankan program kami. Perkumpulan Islam itu mendorong masyarakat desa mengambil alih kendali perusahaan-perusahaan. Semboyannya: petani miskin menguasai semuanya, proletar menguasai segalanya! Jadi SI telah melakukan propaganda yang sama dengan Partai Komunis, cuma kadangkala dengan nama lain.

Bertemu Para Bolsyewik Tua

Mewakili Partai Komunis Indonesia dalam Kongres Komunis Internasional di Moskow. Minta sekolah lagi tapi ditolak.
---------------------------
BAGI aktivis komunis 1920-an, Vladimir Lenin, Josep Stalin, dan Leon Trotsky bukanlah nama biasa. Mereka ”dewa” komunisme yang menggerakkan kaum revolusioner dunia dari Moskow. Tan Malaka beruntung bisa bertemu dengan mereka.

Chitika