Sekolah rakyat model Tan Malaka bertumbuhan di Jawa. Dia
menjadikan Marxisme dan antikolonialisme sebagai dasar kurikulumnya.
-------------------------
RAPAT para tuan besar perkebunan yang berada di wilayah
perusahaan Senembah Mij baru saja dimulai. Tan Malaka mengamati belasan peserta
yang hadir. Dari yang hadir itu, ia hanya kenal dua orang. Salah satunya Herr
Graf, tuan besar di Tanjung Morawa, Sumatera Timur.
Tan menatap Graf, yang disebutnya sebagai musuh nomor
satunya di Deli. Graf langsung menoleh ke arah lain. Selama rapat, kedua orang
ini kerap beradu pandang. Tapi, begitu mata mereka bertemu, Graf dengan segera
memalingkan mukanya. Demikian seterusnya.
Tan Malaka tahu, Graf-lah yang menyebarkan fitnah dan
menjelek-jelekkan dirinya. Pada saat pemimpin rapat memberikan kesempatan
berbicara kepadanya, Tan tak menyia-nyiakan kesempatan. Tan, yang sudah dua
tahun menjadi asisten pengawas sekolah di Deli, memaparkan pentingnya
pendidikan bagi para anak kuli. Menurut dia, tujuan pendidikan itu untuk
mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan.
”Anak kuli adalah anak manusia juga,” kata Tan Malaka.
Dia sengaja mengeluarkan kalimat itu karena banyak tuan besar, pemilik atau
pengawas perkebunan, menganggap sekolah bagi anak kuli cuma membuang-buang
uang. Sekolah, di benak para tuan besar itu, bakal membuat anak kuli itu lebih
”brutal” ketimbang bapaknya. Ada kekhawatiran lain. Pendidikan ini bisa
menciptakan kader-kader baru Sarekat Islam, organisasi yang paling ditakuti
pemerintah kolonial Belanda.
Beberapa hari setelah rapat pada Juni 1921 itu, Tan
bertemu Dr Janssen, direktur sekolahnya. Tan mengajukan permintaan pengunduran
diri. Dia merasa komplotan tuan perkebunan tembakau yang dipimpin Graf sudah
sangat mengganggu kerjanya. Tan Malaka mengakui ada empat perkara perbedaan
dirinya dengan para petinggi perkebunan yang membuat ia menentukan sikap itu.
Pertama, soal warna kulit; kedua, model pendidikan bagi anak kuli; ketiga,
menyangkut artikel-artikelnya di surat kabar di Deli; serta keempat menyangkut
hubungannya dengan para kuli perkebunan.
Tan melihat sumber semua perbedaan itu dari kacamata
Marxisme, yakni konflik antara kaum kapitalis dan proletar. Dia menyebutnya
sebagai pertentangan antara ”Belanda-Kapitalis-Penjajah” dan
”Indonesia-Kuli-Jajahan”. Janssen tidak mencegah keinginan Tan untuk mundur,
karena dia juga akan kembali ke Nederland. Dia meminta kantor membayar gaji Tan
Malaka untuk dua bulan dan menyediakan karcis kapal laut kelas satu ke Jawa.
Awalnya, Janssen-lah yang meminta Tan Malaka membantu
Tuan W untuk menjadi pengawas sekolah di Deli. Tan, yang kala itu sedang
menempuh sekolah guru di Belanda, tertarik dengan tawaran kerja itu.
Deli adalah kota besar dengan penduduk sekitar dua juta.
Namun ada yang menyedihkan di sana. Sekitar 60 persen penduduk Deli merupakan
keluarga kuli kontrak perkebunan, pertambangan minyak, dan pengangkutan.
”Mereka keluarga proletaris tulen, dan Deli merupakan daerah proletaria yang
sesungguhnya,” kata Tan Malaka dalam catatan hariannya. Kelas atas di Deli,
menurut Tan, adalah borjuis asing dari Eropa-Amerika, disusul dari Tionghoa.
Adapun borjuis Indonesia adalah Sultan Serdang dan Sultan Deli.
Selama di Deli, Tan sering berbincang-bincang dengan
siswanya dan mengunjungi rumah mereka. Ini berbeda dengan Tuan W, yang cuma
datang ke sekolah naik mobil dinasnya. Tan ingin mengetahui tabiat, kemauan,
dan kecondongan hati masing-masing anak. Dari semua informasi yang
diperolehnya, ujar Tan, diperlukan satu pusat sebagai sekolah percontohan.
Selain mengurus pendidikan, Tan Malaka juga menampung
keluh-kesah para kuli kontrak. Para kuli itu umumnya buta huruf dan terjerat
berbagai peraturan kontrak yang tak bisa dipahami. Tan melihat para kuli itu
terbelenggu kekolotan, kebodohan, kegelapan, sekaligus ”hawa nafsu jahat”
permainan judi. Kisah kuli kontrak ini mewarnai artikel Tan Malaka yang
tersebar di surat kabar Liberal, Medan, dan Sumatera Post, yang kerap membuat
marah para tuan besar.
Pengalamannya bergaul dengan kaum proletar ini makin
memantapkan Tan bergerak di sektor pendidikan. Menurut dia, ”Kemerdekaan rakyat
hanya bisa diperoleh dengan pendidikan kerakyatan.” Ini semua, kata Tan, untuk
menghadapi kekuasaan pemilik modal yang berdiri atas pendidikan yang
berdasarkan kemodalan.
Pada 2 hingga 6 Maret 1921, Tan Malaka mengikuti Kongres
Sarekat Islam di Yogyakarta. Di sinilah ia pertama kalinya bertemu HOS
Tjokroaminoto, Agus Salim, Semaun, dan tokoh-tokoh lain organisasi Islam
tersebut. Kala itu organisasi ini sedang dilanda perpecahan, antara faksi Islam
dan komunisme. Sarekat Islam Semarang yang dipimpin Semaun dan Darsono lebih
berkiblat ke komunisme.
Seusai kongres, Semaun mengajak Tan Malaka ke Semarang.
”Kehadirannya menguntungkan bagi gerakan rakyat revolusioner di Indonesia,”
ujar Semaun dalam buku Sewindu Hilangnya Tan Malaka. Saat itu keduanya sepakat
membangun sekolah rakyat bagi calon pemimpin revolusioner. Sarekat Islam
memberikan gedung dan fasilitas pendidikan lainnya. Tan Malaka berjanji
mendirikan perguruan yang cocok bagi kebutuhan dan jiwa ”rakyat Murba”, sebutan
Tan untuk kaum proletar.
Dalam brosur bertajuk ”SI Semarang dan Onderwijs”, Tan
Malaka menguraikan dasar dan tujuan pendidikan kerakyatan. Pertama, perlunya
pendidikan keterampilan dan ilmu pengetahuan seperti berhitung, menulis, ilmu
bumi, dan bahasa. Hal ini sebagai bekal dalam menghadapi kaum pemilik modal.
Kedua, pendidikan bergaul atau berorganisasi dan berdemokrasi. Ini untuk
mengembangkan kepribadian yang tangguh, kepercayaan pada diri sendiri, harga
diri, dan cinta kepada rakyat miskin. Dan ketiga, pendidikan untuk selalu berorientasi
ke bawah.
Tan Malaka menegaskan, sekolahnya bukan mencetak juru
tulis seperti tujuan sekolah pemerintah. Selain untuk mencari nafkah diri dan
keluarga, sekolah ini juga membantu rakyat dalam pergerakannya.
Menurut Harry A. Poeze, inspirasi mendirikan sekolah
rakyat ini berasal dari Belanda dan Rusia. Tan Malaka, katanya, sempat membaca
tulisan warga Rusia mengenai kurikulum sekolah komunis. Inspirasi lainnya, kata
Poeze, dari pengalaman Tan ketika bertugas di perkebunan tembakau Deli.
”Pengetahuan yang ia dapat disesuaikan dengan keadaan di Indonesia,” kata
Poeze.
Hari pertama pembukaan ”sekolah Tan”, ada lima puluh
siswa datang mendaftar. Sekolah ini kemudian menggelar upacara penerimaan siswa
baru yang dihadiri orang tua dan pengurus Sarekat Islam Semarang. Dua anak
berusia 14 tahun tampil ke depan mengucapkan janji murid dan meminta dukungan
orang tua. Para siswa yang bercelana merah kemudian melakukan defile sembari
menyanyikan lagu internasional.
Penonton bertepuk tangan menyaksikan upacara ini. Banyak
yang menitikkan air mata karena acara ini baru pertama kali dilakukan di
lingkungan Sarekat Islam. ”Mereka gembira, karena merasa mendapat bakal
pahlawan,” kata Tan. Siswa baru terus berdatangan, hingga terkumpul 200 orang.
Puluhan orang juga melamar jadi guru.
Sekolah berjalan pagi. Sore harinya Tan Malaka mengadakan
kursus untuk mencetak guru. Peserta kursus adalah murid kelas 5 dan guru yang
ada untuk dididik menjadi guru berhaluan kerakyatan. Kabar berdirinya sekolah
rakyat di Semarang segera menyebar ke sejumlah daerah. Beberapa kota besar di
Jawa mengajukan tawaran mendirikan sekolah sejenis di daerahnya.
Bandung akhirnya menjadi daerah kedua yang mendirikan
sekolah rakyat, setelah seorang kader Sarekat Islam mendermakan uangnya. Di
Kota Kembang itu 300 siswa baru mendaftar. Tahun-tahun berikutnya sekolah
rakyat semakin banyak. Apalagi setelah alumni sekolah rakyat Semarang
bertebaran di kota-kota besar Jawa. Menurut Tan, para murid, dengan celana
merah dan lagu internasionalnya, laksana ahli peniup suling Kota Hermelin.
Inilah dongeng yang mengisahkan seorang peniup suling yang mampu menyihir hewan
dan anak-anak dengan serulingnya, sehingga mereka terus mengikuti sang peniup
seruling.
Encyclopaedie van ned oostindie VI suplement menulis,
sekolah rakyat model Tan Malaka ini lantas bermunculan. ”Di antara pekerjaan
murid termasuk juga pembentukan barisan (Barisan Muda, Sarikat Pemuda,
Kepanduan) satu dan lainnya cocok dengan sistem Komintern.” Ensiklopedia ini
juga mencatat adanya kursus kilat membentuk propagandis yang aktif, yang
kemudian menjadi kader organisasi.
Sayang, Tan Malaka tidak menyaksikan kemajuan sekolah
rakyat yang dibangunnya. Pada 2 Maret 1922, pemerintah kolonial Belanda
menangkapnya di Bandung setelah terjadi pemogokan buruh pelabuhan dan minyak.
Para buruh tersebut tergabung dalam Vaksentral-Revolusioner, tempat Tan menjadi
wakil ketua. Pencipta ”sang peniup suling” ini pun dibuang ke Nederland.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar