Warisan Tan Malaka
Asvi Warman Adam-Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia
------------------
MENGAPA Tan Malaka tidak berhasil membesarkan Partai Murba?
Jawabnya jelas, karena ia ditembak mati di Kediri tiga bulan setelah mendirikan
partai itu. Pilihan hari pembentukan partai itu, 7 November 1948—bertepatan
dengan hari revolusi Rusia—tentu tak sembarangan. Murba muncul setelah Partai
Komunis Indonesia tersingkir pasca-Peristiwa Madiun, September 1948. Karena itu
Murba dicitrakan sebagai partai komunis baru atau semacam pengganti PKI.
Itu pula yang kemudian menyebabkan keduanya bukan hanya
bersaing sebagai organisasi kiri melainkan bermusuhan. Pertikaian paham
mengenai pemberontakan PKI 1926/1927 antara Tan Malaka dan Musso berdampak
panjang. Ketika Musso pulang ke Indonesia pada 1948, program politiknya
memiliki berbagai kesamaan dengan Tan Malaka. Namun, ketika ditanya wartawan
apakah mereka akan bekerja sama, Muso menjawabnya sinis. Bila ia punya
kesempatan, katanya, yang pertama dilakukannya adalah menggantung Tan Malaka.
Sejak awal sudah terjadi perdebatan apakah Murba akan
dijadikan partai kader atau partai massa. Namun yang jelas partai ini lahir
dalam kancah revolusi karena dikembangkan sambil bergerilya. Ada Chaerul Saleh
di Jawa Barat dengan Barisan Bambu Runcing. Sukarni dan kawan-kawan yang
menyebar dari Yogya ke Jawa Tengah, dan Tan Malaka sendiri di Jawa Timur yang
bergabung dengan batalion yang dipimpin Mayor Sabarudin. Ketiga upaya itu
akhirnya gagal. Chaerul Saleh ditangkap, lalu diperintahkan Presiden Soekarno
untuk studi ke Jerman. Dan sebelum gerakan kelompok Tan Malaka terkristalisasi,
terjadilah agresi militer II Desember pada 1948.
Setelah Tan Malaka tewas, Murba masih memiliki banyak tokoh
seperti Iwa Kusumasumantri, Chaerul Saleh, Adam Malik, Sukarni, Prijono.
Walaupun terdiri dari pemuda yang bersemangat, dalam organisasi mereka kurang
andal. Kisah dan nama besar Tan Malaka dijadikan legenda, tetapi pemikirannya
tidak dijabarkan dalam bentuk aksi. Mesin (pengkaderan) partai di berbagai
sektor tidak jalan. Partai tidak memiliki penerbitan serius, kecuali Pembela
Proklamasi yang terbit 20 edisi. Upaya mendekatkan Murba dengan PKI seperti
dirintis Ibnu Parna dari Acoma (Angkatan Communis Muda) ditolak elite PKI. M.H.
Lukman menulis ”Tan Malaka Pengkhianat Marxisme-Leninisme” (Bintang Merah, 15
November 1950).
Pemilu 1955 adalah pengalaman pahit sekaligus kehancuran
partai (yang kemudian tidak pernah bangkit lagi). Murba hanya beroleh 2 dari
257 kursi yang diperebutkan. Dalam pemilu selanjutnya partai ini bahkan tak
berhasil masuk parlemen.
Demokrasi terpimpin memberikan peluang bagi Murba. Soekarno
menjadikannya penyeimbang posisi PKI. Kongres Murba kelima, Desember 1959,
dihadiri Presiden. Chaerul Saleh dan Prijono masuk kabinet, Adam Malik dan
Sukarni menjadi Duta Besar di Moskow dan Beijing. Puncaknya, Tan Malaka
diangkat menjadi pahlawan nasional pada 1963.
Pertentangan antara Murba dan PKI menajam. Ketika PKI
semakin kuat, Murba bekerja sama dengan militer dan pihak lain menjegal dengan
membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Namun BPS dibubarkan Bung Karno.
Sukarni dan Syamsudin Chan ditahan pada awal 1965. Murba dibekukan dan kemudian
dibubarkan pada September 1965 karena dituduh menerima uang US$ 100 juta dari
CIA untuk menggulingkan Presiden. Pada 17 Oktober 1966 Soekarno merehabilitasi
partai Murba melalui Keputusan Presiden Nomor 223 Tahun 1966.
Pada awal Orde Baru, Adam Malik menjadi Menteri Luar Negeri
dan kemudian Wakil Presiden. Namun posisinya ini tidak berpengaruh bagi Partai
Murba.
Dalam pemilu pertama era Orde Baru, Juli 1971—dua bulan
setelah wafatnya Sukarni, tokoh partai ini—Murba beroleh 49 ribu suara (0,09
persen pemilih). Tetapi kegagalan utama Murba disebabkan oleh stigma rezim Orde
Baru terhadap seluruh golongan kiri. Orde Baru menabukan sosok Tan Malaka.
Gelar pahlawannya tak pernah dicabut, tetapi namanya dihilangkan dari buku
pelajaran sejarah di sekolah. Dalam pemilu selanjutnya Murba berfusi dengan
Partai Demokrasi Indonesia. Setelah Soeharto jatuh, Murba, yang menyebut
dirinya ”Musyawarah Rakyat Banyak” itu, ikut pemilu pada 1999. Sayang, mereka
hanya mendapat 62 ribu suara (0,06 persen pemilih).
l l l
Tan Malaka membentuk jaringan revolusioner yang hebat dalam
perjuangannya, tetapi bukan partai yang awet. Ia merantau 30 tahun, dari Pandan
Gadang (Suliki), Bukittinggi, Batavia, Semarang, Yogya, Bandung, Kediri,
Surabaya, Amsterdam, Berlin, Moskow, Amoy, Shanghai, Kanton, Manila, Saigon,
Bangkok, Hong Kong, Singapura, Rangoon, sampai Penang.
Meskipun sempat memimpin Partai Komunis Hindia Belanda pada
1921, Tan Malaka justru menolak pemberontakan PKI pada 1926/1927. Ia sama
sekali tidak terlibat dalam peristiwa Madiun 1948. Murba dalam berbagai hal
bertentangan dengan PKI.
Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (Pari) di
Bangkok pada 1 Juni 1927. Walaupun bukan partai massa, organisasi ini hidup
selama sepuluh tahun pada saat partai-partai nasionalis di Tanah Air lahir dan
mati. Pari dianggap berbahaya oleh intel Belanda, dan para aktivisnya diburu.
Kemudian tibalah saatnya Tan Malaka berselisih jalan dengan Komunis
Internasional (Komintern). Bagi Komintern, Pan-Islamisme sebuah bentuk
imperialisme, padahal gerakan ini menentang imperialisme, kata Tan Malaka.
Setelah melanglang buana dua dekade, pascakemerdekaan,
perjuangan Tan Malaka mengalami pasang naik dan pasang-surut. Ia memperoleh
testamen Bung Karno untuk menggantikan bila yang bersangkutan tidak dapat
menjalankan tugas. Namun sejak 1946 Tan Malaka menentang diplomasi yang
merugikan Indonesia. Sebagai pemimpin Persatuan Perjuangan yang terdiri dari
142 organisasi sosial politik, ia menuntut agar perundingan baru dilakukan bila
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen. Posisi ini membuat Tan
Malaka berhadapan diametral dengan Perdana Menteri Sjahrir sehingga di kalangan
sosialis pun narasi tentang Tan Malaka bernada negatif (lihat Kilas Balik
Revolusi, karya A.B. Lubis, 1992).
Bila Tan Malaka dikategorikan sebagai penganut Trotsky,
apakah Persatuan Perjuangan itu merupakan front bersatu untuk revolusi
permanen? Tampaknya tidak. Motivasi organisasi-organisasi itu hanyalah menolak
dominasi Partai Sosialis dalam kabinet. Setelah tawar-menawar kekuasaan gagal,
Persatuan Perjuangan menjadi raksasa berkaki tanah liat. Tan Malaka ditangkap
pada Maret 1946 dan tetap ditahan sampai September 1948. Ironis, ia
dipenjarakan di dalam negeri dua setengah tahun—lebih lama daripada waktu
ditahan pihak Belanda, Inggris, Amerika, dalam pergerakan selama puluhan tahun
pada era kolonial. Dalam situasi krusial, Tan Malaka tidak bisa mempengaruhi
jalannya revolusi. Pengikutnya juga banyak yang ditahan, terutama setelah
peristiwa 3 Juli 1946.
Soekarno mengakuinya sebagai seorang guru, dalam hal
pengetahuan revolusioner dan pengalaman. Entah kebetulan atau kurang beruntung,
Tan Malaka yang sudah berjuang puluhan tahun di mancanegara tidak punya peran
sama sekali saat proklamasi. Posisi terhormat itu ditempati Soekarno-Hatta.
Meski Harry Poeze punya dokumentasi yang menunjukkan bahwa Tan Malaka berada di
belakang gerakan pemuda, seraya memobilisasi massa mengikuti rapat akbar di
Ikada pada 19 September 1945. Ada beberapa foto yang membuktikan kehadiran Tan
Malaka di lapangan Ikada, Jakarta. Di dalam foto Tan tampak berjalan seiring
dengan Bung Karno (tinggi mereka berbeda, Soekarno 172 sentimeter sedangkan Tan
Malaka 165 sentimeter).
Soekarno memanifestasikan kekagumannya pada Tan Malaka dalam
sebuah Testamen Politik yang isinya kemudian diperlemah oleh Hatta. Tetapi Tan
Malaka tetap bergerak di bawah tanah dan ragu untuk tampil secara terbuka.
Mungkin ini disebabkan pengalaman pribadinya yang lebih dari dua puluh tahun
dikejar-kejar dan (hidup) dalam ilegalitas. Seperti dikatakan orang-orang
dekatnya, Tan Malaka sulit kembali sebagai orang ”normal”. Tan Malaka baru
muncul ke permukaan pada Januari 1946, ketika melihat diplomasi pemerintah
sangat merugikan Indonesia.
Gagasan Tan Malaka tetap relevan untuk menjawab ancaman dan
tantangan zaman masa kini. ”Dari dalam kubur suara saya terdengar lebih keras
daripada di atas bumi,” kata Tan Malaka ketika akan ditangkap polisi Hong Kong
pada 1932. Tan Malaka tidak mewariskan partai, tetapi ia meninggalkan pemikiran
brilian yang dapat diserap partai mana saja di Tanah Air.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar