Tan Malaka membangkitkan gerakan buruh di Bayah. Tempo
menapak tilas perjalanannya.
---------------------------
PENDENGARANNYA tak lagi sempurna. Ingatannya pun telah
memudar. Dia hanya menggelengkan kepala ketika ditanyai soal usianya. Parino,
dalam kartu tanda penduduk, lahir di Purworejo pada Februari 1917. Sedangkan
data Romusha Kecamatan Bayah mencatat nama Amat Parino kelahiran Purworejo
1924.
Parino kini tinggal di Kampung Pulo Manuk, Desa Darmasari,
Bayah, Banten Selatan—sekitar 230 kilometer dari Jakarta. Dia diboyong dari
Purworejo, Jawa Tengah, untuk bekerja di bagian lubang tambang batu bara.
Parino tidak tahu persis usianya ketika itu. Yang diingatnya, ”Saya belum
menikah, tapi sudah disunat,” ujarnya sambil tertawa.
Bayah menjadi tempat berkumpul romusha dan pegawai
pertambangan sejak Jepang mengeksploitasi tambang batu bara pada 1 April 1943.
Pada awal penambangan, sekitar 20 ribu orang datang dari Jawa Tengah dan Jawa
Timur, termasuk Parino. Di kawasan pesisir selatan inilah Ibrahim Datuk Tan
Malaka singgah dan bekerja sebagai juru tulis.
Tan Malaka datang ke Bayah pada Juni 1943. Dia dikenal
masyarakat Bayah dengan nama samaran Ilyas Hussein. Parino lamat-lamat
mengingat nama Hussein sebagai seorang kerani atau juru tulis. ”Kalau enggak
salah, orangnya sangat pintar,” kata Parino.
Bayah dengan luas sekitar 15 ribu hektare menjadi
satu-satunya tempat yang mengandung batu bara di Pulau Jawa sebelum Jepang
datang. Belanda telah memberikan izin membuka tambang kepada perusahaan swasta
sejak 1903, tapi belum mengeksploitasinya.
Sebelum 1942, kebutuhan batu bara di Jawa dipasok dari
Sumatera dan Kalimantan. Namun angkutan pelayaran Jepang banyak terpakai oleh
kepentingan perang. Jepang ingin Jawa mandiri dalam memenuhi kebutuhan batu
bara.
Jepang membuka tambang lewat perusahaan Sumitomo. Mereka
membuka jalur kereta api dari Saketi, Pandeglang, menuju Bayah—sekitar 90
kilometer. Dari Bayah, kereta bersambung menuju ke lokasi penambangan seperti
Gunung Madur, Tumang, dan Cihara. Kini beberapa lokasi masih ditambang
penduduk, sedangkan yang lain terbengkalai begitu saja.
Tan bekerja di Bayah setelah melamar ke kantor Sosial. Dia
butuh penghasilan sekaligus tempat bersembunyi. Waktu itu, perusahaan di Bayah
membutuhkan 30 pekerja—bukan romusha. Tan melamar tanpa ijazah. Dia mengaku
bersekolah di MULO (setara dengan sekolah menengah pertama) dua tahun dan
pernah menjadi juru tulis di Singapura. Tan lulus dengan menyisihkan 50
pelamar.
Tan berangkat dengan kereta api dari Tanah Abang, berakhir
di Stasiun Saketi. Saat itu kereta rute Saketi-Bayah belum beroperasi. Dia lalu
meneruskan perjalanan dengan truk.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan mendapat
cerita tentang asal-usul Saketi. Kata Saketi berasal dari bahasa Sunda, yang
artinya 100 ribu. Konon, 100 ribu itu mengacu pada ramalan tentang banyaknya
korban selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah. Jadi, kalau jarak Saketi ke
Bayah 90 kilometer, ada satu nyawa melayang dalam satu meter rel.
Stasiun Saketi menjadi tempat persimpangan kereta dari
Jakarta menuju Bayah dan Labuan. Tempo—bersama penulis buku Tan Malaka:
Pergulatan Menuju Republik 1925-1945 , Harry Albert Poeze—menelusuri rute
perjalanan Tan dari Stasiun Saketi. Kini bangunan itu telah menjadi tempat
tinggal anak kepala stasiun, Momo Mujaya, 58 tahun. Jalur Saketi-Bayah berhenti
beroperasi pada 1950-an, disusul Saketi-Labuan sekitar 1980.
Sesampai di Bayah, Tan indekos di rumah warga, sebelum
menghuni gubuk kecil dari bambu. Dia selalu memakai celana pendek, kemeja
dengan leher terbuka, kaus panjang, helm tropis, dan tongkat. Dia berbicara
dengan bahasa Indonesia, tapi jarang tampil di depan umum.
Tan sering menjelajahi pelosok, termasuk Pulo Manuk, enam
kilometer dari Bayah. Tempat itu paling ditakuti, termasuk oleh tentara Jepang,
karena penyakit kudis, disentri, dan malaria mewabah di sana. Waktu itu,
penyakit dan kelaparan menjadi faktor utama kematian romusha di Bayah.
Suatu saat, Tan pernah diminta mengurusi data pekerja. Dia
sering berhubungan dengan romusha dan mencatat jumlah kematian mereka. Dalam
memoarnya, Tan mencatat 400-500 romusha meninggal setiap bulan. Hingga akhir
pendudukan Jepang, luas tempat pemakaman romusha mencapai 38 hektare.
Keluar-masuk terowongan dan memberikan nasihat pentingnya
kesehatan, Tan dikenal sebagai kerani yang baik hati. Dia suka membelikan
makanan buat romusha dari upahnya sendiri. ”Kita dapat mempraktekkan rasa
tanggung jawab terhadap golongan bangsa Indonesia yang menjadi korban
militerisme Jepang,” kata Tan suatu ketika.
Di dalam perusahaan, dia selalu mengusulkan peningkatan
kesejahteraan romusha. Tan termasuk anti-Jepang, tapi tetap bergaul dengan
mereka, termasuk penjabat direktur Kolonel Tamura. Dia mencoba berbicara
mengenai kesejahteraan pekerja, tapi upayanya sia-sia.
Romusha mendapat upah 0,40 gulden (40 sen) dan 250 gram
beras setiap hari. Uang 40 sen hanya cukup buat membeli satu pisang. Dalam
salah satu tulisannya, Rencana Ekonomi Berjuang, Tan mengatakan hitung-hitungan
upah romusha hanya di atas kertas. Tulisan itu dia buat di Surabaya pada
November 1945.
Di situ Tan melukiskan kondisi romusha di Bayah lewat
percakapan dua tokoh cerita, si Toke dan si Godam. ”Seratus ton arang itu
diperoleh dengan makian bagero saja. Tanah, mesin, dan tenaga romusha pun
digedor,” ucap si Godam. Ringkasnya, Jepang sama sekali tidak mengeluarkan
bayaran romusha.
Tan mencoba menggalang pemuda untuk memperbaiki nasib romusha.
Dia menggagas dapur umum yang menyediakan makanan bagi seribu romusha. Mereka
membangun rumah sakit di pinggiran Desa Bayah, Cikaret. Tan juga membuka kebun
sayur dan buah-buahan di Tegal Lumbu, 30 kilometer dari Bayah.
Peran Tan semakin besar ketika dia ditunjuk sebagai Ketua
Badan Pembantu Keluarga Peta—organisasi sosial yang membantu tentara bentukan
Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). Di bawah panji Badan Pembantu, Tan lebih
leluasa mengadakan kegiatan kemasyarakatan, seperti pertunjukan sandiwara atau
sepak bola.
Tim sandiwara dan sepak bola itu bernama Pantai Selatan.
Pertunjukan sandiwara banyak bercerita tentang nasib romusha. Mereka pernah
memainkan Hikayat Hang Tuah, Diponegoro, dan Puputan Bali.
Tim sepak bola juga pernah tampil dalam kejuaraan di
Rangkasbitung. Tan menggagas pembangunan lapangan sepak bola di Bayah—kini
menjadi terminal. Ia menjadi pemain sayap. Tapi Tan lebih sering menjadi wasit.
Selesai bermain, dia biasanya mentraktir para pemain.
Pada September 1944, Soekarno dan Hatta berkunjung ke Bayah.
Tan menjadi anggota panitia penyambutan tamu. Soekarno berpidato bahwa
Indonesia bersama Jepang akan mengalahkan Sekutu. Setelah itu, Jepang
memberikan kemerdekaan buat Indonesia. Soekarno meminta pekerja tambang
membantu berjuang dengan meningkatkan produksi batu bara.
Selesai pidato, moderator Sukarjo Wiryopranoto mempersilakan
hadirin bertanya. Saat itu Tan sedang memilih kue dan minuman untuk para tamu.
Para penanya rupanya sering mendapat jawaban guyon sinis. Kepada Son-co (Camat)
Bayah, misalnya, Sukarjo mengejek supaya ikut kursus ”Pangreh Praja”.
Tan gerah dengan suasana penuh ejekan itu. Dia pun menyimpan
talam kue dan minuman di belakang, lalu bertanya: apakah tidak lebih tepat
kemerdekaan Indonesialah kelak yang lebih menjamin kemenangan terakhir?
Soekarno menjawab bahwa Indonesia harus menghormati jasa
Jepang menyingkirkan tentara Belanda dan Sekutu. Tan membantah. Menurut dia,
rakyat akan berjuang dengan semangat lebih besar membela kemerdekaan yang ada
daripada yang dijanjikan.
Tan melihat Soekarno jengkel. Menurut dia, Soekarno mungkin
tidak pernah didebat ketika berpidato di seluruh Jawa. Apalagi bantahan itu
dari Bayah, kota kecil di pesisir yang cuma dikenal karena urusan romusha dan
nyamuk malaria. Tan ingin berbicara lebih panjang, tapi keburu dihentikan.
Awal Juni 1945, Tan menerima undangan dari Badan Pembantu
Keluarga Peta Rangkasbitung untuk membicarakan kemerdekaan. Pertemuan itu untuk
memilih dan mengirimkan wakil Banten ke pertemuan Jakarta. Tan—sebagai
Hussein—didaulat menjadi wakil Banten ke konferensi Jakarta.
Pertemuan di Jakarta diadakan buat mempersatukan pemuda
Jawa. Konferensi gagal terlaksana karena larangan Jepang. Tan hanya berbicara
sebentar dengan kelompok pemuda angkatan baru, seperti Harsono Tjokroaminoto,
Chaerul Saleh, Sukarni, dan B.M. Diah.
Kembali ke Bayah, Tan pindah tugas ke kantor pusat dan
mencatat data mengenai romusha. Suatu ketika, Jepang mengumumkan rencana
pemotongan ransum. Tan lalu mengemukakan keberatannya dengan berorasi di muka
umum. Besoknya, Jepang membatalkan pengurangan ransum.
Di Jakarta, pidato Tan itu dikabarkan menjadi biang
kerusuhan. Romusha melarikan diri dan mogok di Gunung Madur. Kempetai (polisi
militer Jepang) di Bayah mulai mencari identitas Hussein. Tapi penyelidikan
terhenti karena posisi Jepang kian genting. Jerman sudah menyerang dan Rusia
menyerbu Jepang pada 9 Agustus 1945.
Tan melihat aktivitas orang Jepang mulai longgar. Dia
memanfaatkan situasi itu untuk minta izin hadir dalam konferensi pemuda di
Jakarta pada 14 Agustus. Dia menjadi utusan semua pegawai pertambangan dan
mendapatkan surat pengantar untuk Soekarno dan Hatta.
Sesampai di Jakarta, dia hanya bertemu sebentar dengan
Sukarni. Dia tidak mengetahui drama penculikan Soekarno dan Hatta ke
Rengasdengklok. Setelah merdeka, Tan lebih banyak tinggal di Jakarta. Akhir
Agustus, dia pergi ke Bayah mengunjungi pemimpin Peta, Djajaroekmantara.
Tan Malaka ke Bayah juga punya tujuan lain, yakni mengambil
naskah Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). Poeze mengatakan naskah
itu tersimpan rapi tanpa diketahui siapa pun.
Di Bayah, kegiatan penambangan berangsur terhenti
sepeninggal Jepang. Penduduk membumihanguskan Bayah saat agresi militer kedua
Belanda pada 1948. Pemerintah setempat membuat tugu romusha pada 1950-an.
”Rasanya dulu lebih ramai ketimbang sekarang,” kata Haji Sukaedji, 73 tahun,
warga kelahiran Bayah, kepada Tempo.
Stasiun Bayah kini menjadi tanah kosong penuh ilalang....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar