Tan Malaka dan Jenderal Soedirman sama-sama menentang
diplomasi. Renggang setelah peristiwa Wirogunan.
-----------------
SLAMET Gandhiwijaya adalah aktivis Murba. Ia tinggal di
rumah besar di dekat stasiun Kedungrandu, 10 kilometer dari Purwokerto, Jawa
Tengah. Tan Malaka kerap datang sembunyi-sembunyi ke rumah itu. Di sana, dia
kemudian bertemu dengan para tokoh Persatuan Perjuangan.
Beberapa kali sepanjang tahun 1946, Tan datang khusus untuk
menemui Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat, Jenderal Sudirman. Perintis
Gunawan, putra bungsu Slamet—kini 49 tahun—mendapat cerita pertemuan kedua
tokoh itu dari ibunya, Martini.
Setiap datang ke rumah itu, Soedirman selalu lebih dulu
mencari Herman, sepupu Perintis. Sang Jenderal lalu menimang-nimang bocah itu
sebelum masuk ke ruang makan. Di situ ia bertemu dengan Tan. ”Ibu langsung
disuruh keluar. Dia tidak boleh mengikuti pertemuan,” kata Perintis.
Harry A. Poeze, sejarawan Belanda yang banyak menulis buku
tentang Tan, mengatakan kedua tokoh itu berhubungan dekat. Mereka bertemu
pertama kali dalam Konferensi Persatuan Perjuangan di Purwokerto, Januari 1946.
”Mereka mempunyai persamaan pendapat dan ideologi,” katanya.
Adam Malik, dalam buku Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan
45, bahkan menyebut Tan dan Soedirman sebagai ”dwitunggal”. Ia menyamakan
hubungan kedua tokoh dengan relasi Soekarno-Hatta serta Sutan Syahrir-Amir
Syarifuddin. Adam menilai Tan dan Soedirman memiliki urat dan akar di kalangan
pemuda radikal, anggota pasukan Pembela Tanah Air, dan bekas romusha. ”Di bawah
pimpinan Tan dan Sudirman, para pemuda itu menyerang pos dan kubu pertahanan
Jepang,” Adam menulis.
Keduanya juga diikat kesamaan sikap: menentang jalan
diplomasi pemerintahan Sutan Syahrir. Bagi mereka, ”kemerdekaan harus seratus
persen” dan ”berunding berarti kemerdekaan kurang dari seratus persen”.
Jalan oposisi Tan berbuah penjara. Menteri Pertahanan Amir
Syarifuddin memerintahkan penangkapannya. Pada 17 Maret 1946 beserta beberapa
pemimpin Persatuan Pergerakan, dia diringkus di Madiun, Jawa Timur. Tan
dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta. Dua belas pemimpin Barisan
Banteng ditangkap dua bulan kemudian.
Soedirman tidak tinggal diam. Ia memerintahkan Panglima
Divisi III Mayor Jenderal Sudarsono membebaskan semua tahanan pada 3 Juli 1946.
Dengan perintah ini, Sudarsono dan pasukannya menyerbu penjara Wirogunan. Aksi
ini membuat marah Presiden Soekarno. Ia memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto,
penanggung jawab keamanan Yogyakarta—kelak menjadi presiden—agar menangkap
Sudarsono.
Setelah peristiwa ini, hubungan Tan dan Soedirman
merenggang. Soedirman menganggap koleganya terlalu jauh menekan Soekarno.
Menurut Harry Poeze, Soedirman juga tidak setuju dengan langkah Tan membantu
laskar rakyat yang secara politik bertentangan dengan tentara.
Adam Malik menulis, Presiden Soekarno berhasil meyakinkan
Jenderal Soedirman untuk meninggalkan Tan. Sebagai balasan, ia mendukung penuh
semua keputusan Sudirman sebagai panglima besar tentara. Sejarah mencatat, Tan
dan Soedirman kembali ke jalan gerilya setelah Agresi Militer Belanda II pada
1948.
Dalam agresi itu, Belanda menangkap Soekarno, Hatta, Sutan
Syahrir, Haji Agus Salim, dan para pejabat pemerintah. Mereka diasingkan ke
Bangka. Sudirman lolos dari sergapan Belanda dan masuk hutan. Ia bergerilya di
Jawa Tengah.
Tan berangkat ke Kediri dengan kereta api khusus, dikawal 50
orang. Ia bergabung dengan satu brigade Divisi IV Tentara Nasional Indonesia
pimpinan Sabarudin di Blitar, Jawa Timur. Di markas pertahanan Desa Belimbing,
Kediri, ia mendirikan Gabungan Pembela Proklamasi yang kemudian menjadi Gerilya
Pembela Proklamasi.
Ia banyak menulis pamflet yang dia beri nama ”Dari Markas
Murba Terpendam”. Lewat RRI Kediri, Tan menyerukan rakyat terus bergerilya
melawan Belanda seperti Soedirman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar