Soekarno pernah memberikan testamen politik dan naskah
proklamasi kepada Tan Malaka. Testamen itu belakangan dibakarnya.
--------------------------
SAYUTI Melik mengemban tugas penting. Tiga pekan setelah
proklamasi, ia diminta Soekarno mencari Tan Malaka. Bung Karno mendengar
desas-desus tokoh pergerakan itu ada di Jakarta.
Untungnya, Sayuti tahu di mana mencari Tan. Beberapa hari
sebelumnya, Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo mempertemukannya dengan penulis
buku Naar de Republiek Indonesia itu.
Pertemuan pun diatur. Soekarno meminta Soeharto, dokter
pribadinya, menyediakan ruangan. Tapi ia merahasiakan siapa tamu yang akan
datang. Dengan bersepeda, Sayuti menjemput Tan. Keduanya kemudian menuju rumah
Soeharto—sekarang Apotek Titimurni—di Jalan Kramat Raya.
Kepada Soeharto, tokoh yang hidup 20 tahun dalam pelarian
itu mengaku bernama Abdulradjak. Soeharto lalu membawa ”Abdulradjak” ke kamar
belakang. Di sana Soekarno sudah menunggu. Sayuti ikut masuk, Soeharto menunggu
di luar. Semua lampu di rumah itu dimatikan. Pertemuan dua tokoh dalam gelap
itu terjadi pada malam Lebaran, 9 September 1945.
Soekarno membuka pembicaraan. Ia bertanya tentang Massa
Actie—buku yang ditulis Tan pada 1926. Kemudian keduanya bicara tentang nasib
revolusi Indonesia. Dalam pertemuan dua jam itu, Tan mendominasi pembicaraan,
sementara Soekarno lebih banyak diam. ”Tan lebih berpengalaman dalam
perjuangan,” kata Sayuti Melik. Kata-kata Tan tentang revolusi, kata Sayuti,
belakangan hari sering dikutip Soekarno.
Ada pernyataan Tan yang sangat mengusik perhatian Bung
Karno. Tan mengatakan, Belanda, dengan menumpang Sekutu, tidak lama lagi akan
datang. Tan yakin, Jakarta akan jadi medan pertempuran. Itu sebabnya ia
mengusulkan pemerintahan harus dipindahkan ke pedalaman.
Khawatir akan kemungkinan itu, Soekarno pun berkata, ”Jika
nanti terjadi sesuatu pada diri kami sehingga tidak dapat memimpin revolusi,
saya harap Saudara yang melanjutkan.” Sebelum menutup pertemuan, ia memberi Tan
sejumlah uang. Kesaksian Sayuti itu ditulis dalam kolom Sekitar Testamen untuk
Tan Malaka, dimuat di harian Sinar Harapan, September 1979.
Beberapa hari kemudian, Tan dan Soekarno bertemu lagi. Kali
ini di rumah dokter Mawardi di Jalan Mampang. Mawardi adalah pemimpin Barisan
Pelopor di masa pendudukan Jepang.
Seperti biasa, Sayuti ikut dalam pertemuan, tapi hanya boleh
mendengarkan. Mereka bicara lagi tentang perjuangan kebangsaan. Di ujung
percakapan, Soekarno berjanji akan menunjuk Tan sebagai penerus obor
kemerdekaan.
Tan tidak bereaksi sepatah kata pun mengenai testamen itu.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, ia menganggap usul itu sebatas
kehormatan dan tanda kepercayaan. ”Saya sudah cukup senang bertemu Presiden Republik
Indonesia, republik yang sudah sekian lama saya idamkan,” katanya.
l l l
NIAT mengeluarkan testamen diucapkan Soekarno dalam rapat
kabinet pada pekan ketiga September 1945. Bila Sekutu menawannya, ia akan
menyerahkan pimpinan revolusi kepada salah seorang yang mahir dalam perjuangan.
Siapa orang itu, masih ia rahasiakan.
Ahmad Soebardjo tahu yang dimaksud Bung Karno tak lain
adalah Tan Malaka. Ia tahu karena Tan pernah membicarakannya. Namun kelanjutan
pembicaraan ihwal testamen baru terlaksana setelah Inggris akan mendarat. Juga
ada selentingan, Sekutu akan menangkap Soekarno karena dianggap berkolaborasi
dengan Jepang.
Situasi itu mendorong Soekarno bertemu dengan Tan Malaka,
Iwa Koesoemasoemantri, dan Gatot Taroenamihardjo, di rumah Ahmad Soebardjo. Iwa
dan Gatot saat itu Menteri Kesehatan dan Jaksa Agung. Pada 30 September, mereka
sepakat menunjuk Tan sebagai ahli waris revolusi bila terjadi sesuatu pada
Soekarno-Hatta.
Kemudian Soekarno pergi ke rumah Hatta. Setelah menceritakan
pertemuan itu, Bung Hatta memberikan jawaban: ”Kenapa tidak bicara dulu kepada
saya? Engkau mestinya kenal baik siapa itu Tan Malaka.”
Hatta menolak hasil pertemuan dan mengusulkan jalan keluar.
Tongkat revolusi akan diteruskan kepada pemimpin dari empat kutub. Tan Malaka mewakili
aliran paling kiri, Sutan Sjahrir dari kelompok kiri-tengah, Wongsonegoro wakil
kalangan kanan dan feodal, serta Soekiman representasi kelompok Islam.
Soekarno puas dengan jalan tengah ini. Ia menelepon
Soebardjo mengajak bertemu. Soebardjo, bersama Tan dan Iwa, menyambut
Soekarno-Hatta besoknya. Di rumah Soebardjo, Hatta memaparkan pendapatnya.
Ia mengatakan bahwa keberadaan Tan di kalangan kiri bisa
menyulut kontroversi karena Partai Komunis Indonesia tidak menyukainya. Hatta
juga mengusulkan agar Tan melakukan perjalanan keliling Jawa. Selain
memperkenalkan diri pada rakyat, juga untuk mengukur seberapa besar
pengaruhnya. Usul Hatta disetujui.
Dalam pertemuan 1 Oktober itu, mereka juga setuju mengganti
Soekiman dengan Iwa. Alasannya, Iwa sahabat Soekiman dan dekat dengan kelompok
Islam. Soekarno lalu meminta Tan menyusun kata-kata testamen. Setelah semuanya
setuju, naskah diketik Soebardjo dan dibuat rangkap tiga. Soekarno-Hatta lalu
menandatanganinya. Soebardjo ditugasi memberikan teks itu kepada Sjahrir dan
Wongsonegoro.
Belakangan terungkap, Soebardjo tidak pernah menyampaikan
salinan teks itu kepada Sjahrir dan Wongsonegoro. Keduanya baru tahu setelah
Hatta memberi kabar. Wakil presiden pertama itu menduga Soebardjo dan kubunya
kecewa, wasiat batal diberikan kepada Tan seorang. Tapi, dalam bukunya
Kesadaran Nasional, Soebardjo berdalih gonjang-ganjing revolusi menghambat
penyampaian teks itu.
l l l
TAN memasukkan testamen ke tasnya. Ia lalu pergi keliling
Jawa. Menurut Hadidjojo Nitimihardjo, putra Maruto Nitimihardjo—salah seorang
aktivis Menteng 31, markas perjuangan pemuda setelah Proklamasi dan kini Gedung
Joang 45 di kawasan Cikini, Jakarta— amplop yang dibawa Tan tak hanya berisi
wasiat politik, tapi juga teks proklamasi yang diketik Sayuti Melik. Bung
Karno, menurut Hadidjojo, memberinya satu paket.
Pada saat di Surabaya, Tan dikawal Laskar Minyak pimpinan
Suryono. Atas usul Djohan Syahruhzah—belakangan menjadi Sekretaris Jenderal
Partai Sosialis Indonesia—Tan kemudian dikawal Des Alwi selama sepekan. Des
waktu itu bergabung dengan laskar Pemuda Republik Indonesia dan sedang
menjalankan tugas intelijen melancarkan perang informasi terhadap Sekutu.
Mereka menginap di Gubeng pada 9 November. ”Malam itu saya
sempat memijatnya,” kata Des, saat itu 18 tahun. Tan, yang mengaku bernama
Hussein, lalu berkisah tentang pertempuran Shanghai, penyerangan tentara Cina
terhadap Jepang pada 1932.
Pengetahuan Hussein membuat Des kagum. Anak angkat Sjahrir
itu kemudian membawa Tan ke Sidoarjo. Di sana Des baru tahu, pria yang
dikawalnya adalah Tan Malaka. Dari Sidoarjo, Tan berkeliling Jawa ditemani
Djohan. ”Saat itu hubungan Tan dengan kubu Sjahrir belum retak,” kata
Hadidjojo.
Tapi pertalian itu cuma sebentar. Belakangan hubungan kedua
kubu itu rekah akibat Tan menentang politik Sjahrir. Lewat Persatuan
Perjuangan—kumpulan 141 organisasi politik—Tan menentang kebijakan diplomasi
yang dijalankan triumvirat Soekarno-Hatta-Sjahrir.
Keteguhan Tan yang gencar menentang perundingan berujung
penjara. Ia bersama Sukarni, Chaerul Saleh, Muhammad Yamin, dan Gatot Abikusno
ditangkap di Madiun pada 17 Maret 1946. Uniknya, berita pencidukan sudah
menyebar di radio satu hari sebelumnya. Mereka dituduh hendak melakukan kudeta.
Mereka ditahan terpisah, dipindah dari satu penjara ke penjara lain.
Namun Yamin dalam buku Sapta Darma menepis latar belakang
itu. Ia mensinyalir, penahanan itu atas desakan Sekutu kepada Perdana Menteri
Sjahrir agar perundingan berlangsung lancar. Mereka ”diamankan” sebelum
delegasi Indonesia bertolak ke Belanda. Dugaan Yamin belakangan terbukti. Dalam
persidangan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin mengatakan Tan dan kelompoknya
ditangkap karena sering melancarkan agitasi yang mengacaukan perundingan.
Sewaktu Tan di dalam sel inilah menyebar testamen politik
palsu. Isinya menyatakan bahwa Soekarno-Hatta menyerahkan pimpinan revolusi
kepada Tan Malaka seorang. Hatta menuding Chaerul Saleh otak dari kebohongan
itu. Gara-gara itu, Hatta berniat mencabut keputusan pemberian testamen, tapi
batal.
Dari penjara, Tan berhasil menyelundupkan amplop berisi
testamen asli dan naskah proklamasi lewat kurir. ”Amplop itu diterima ayah
saya,” kata Hadidjojo. Maruto saat itu duduk di Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat di Yogyakarta.
Setelah dua tahun ia ditahan, kejaksaan baru menjatuhkan
dakwaan. Tapi bukan atas tuduhan kudeta, melainkan menggerakkan barisan oposisi
ilegal. Tan dan Sukarni dibebaskan pada September 1948 dari penjara Magelang,
Jawa Tengah.
Setelah Tan bebas, Maruto mengembalikan testamen dan naskah
proklamasi kepadanya. Ia juga mengatur pertemuan antara Tan dan Jenderal
Soedirman di Yogyakarta. Kepada Pak Dirman, Tan mengatakan akan bergerilya ke
Jawa Timur sekitar November 1948. Soedirman lalu memberinya surat pengantar dan
satu regu pengawal.
Surat dari Soedirman itu diserahkan ke Panglima Divisi Jawa
Timur Jenderal Sungkono. Oleh Sungkono, Tan dianjurkan bergerak ke Kepanjen,
Malang Selatan. Tapi ia memutuskan pergi ke Kediri. Di sinilah, kata sejarawan
Belanda Harry Albert Poeze, Tan dieksekusi pada 21 Februari 1949.
Sejak itu kasak-kasuk ihwal testamen meredup. Baru pada Mei
1972, polemik ahli waris revolusi mencuat di media massa. Moekhardi, mengutip
buku George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia
(1952), mengemukakan bahwa perancangan testamen itu taktik Tan Malaka merebut
kekuasaan. Satu bulan kemudian, Sayuti menolak pendapat Kahin. Menurut dia,
pertemuan dan pembuatan testamen atas prakarsa Soekarno.
Pekan berikutnya, giliran Soebagijo I.N.—atas hasil
wawancara dengan Hatta—menulis, naskah testamen sudah diberikan Tan tapi belum
ditandatangani. Soekarno akan memarafnya bila Bung Hatta setuju. Sedangkan
Hatta menilai, sosok Tan di mata rakyat tidak populer. Buktinya, dalam
perjalanan di Jawa, Tan beberapa kali hendak ditangkap.
Silang pendapat terus bermunculan. Perang pena di surat
kabar reda setelah S.K. Trimurti—istri Sayuti—menulis surat pembaca di harian
Sinar Harapan, akhir Oktober 1979. Trimurti membuka rahasia, Syamsu Harya Udaya
menemuinya pada akhir 1964. Tokoh Murba, partai yang didirikan Tan, itu mengaku
menyimpan testamen dan naskah Proklamasi. Syamsu memang sering menemani Tan
sebelum sang tokoh tewas.
Daripada terus memercikkan perselisihan dan jadi rebutan,
Trimurti menganjurkan testamen dihancurkan. Keduanya lalu menemui Aidit, yang
dikenal dekat dengan Soekarno. Ketua Partai Komunis Indonesia itu mengatur
pertemuan.
Soekarno kemudian mengundang ketiganya. Di Istana Negara,
Trimurti menyerahkan seluruh naskah. Sementara teks proklamasi disimpannya,
Bung Karno merobek-robek testamen dan membakarnya. ”Setelah itu kami pulang
dengan perasaan lega,” kata Trimurti. Kisruh surat wasiat padam di tengah bara
api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar