Tan Malaka membangun Persatuan Perjuangan di Purwokerto.
Upaya menyerang politik diplomasi pemerintah.
-------------------
PURWOKERTO, kota kecil di selatan Jawa Tengah,
menyala-nyala. Bintang Merah, bendera Murba, berderet-deret setengah kilometer
dari alun-alun kota hingga Societeit, balai pertemuan merangkap gedung bioskop.
Tiga ratusan orang memenuhi bangunan itu. Mereka wakil dari 141 organisasi
politik, organisasi kemasyarakatan, dan laskar.
Nirwan, guru Sekolah Rakyat dan aktivis Murba, mengingat
petang itu, 4 Januari 1946, tepat seratus hari pasukan Sekutu mendarat di Jawa.
”Orang berduyun-duyun ke kota ingin menyaksikan tamu yang datang,” ujar pria
yang saat itu berusia 16 tersebut.
Rapat politik itu dihadiri antara lain para pemimpin pusat
Partai Sosialis, Partai Komunis Indonesia, Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Hizbullah, Gerakan Pemuda Islam Indonesia,
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, dan Persatuan Wanita Indonesia. Rakyat
jelata berjejal-jejal. Mereka antusias, karena Panglima Besar Jenderal
Soedirman juga di tengah-tengah mereka.
Nirwan menuturkan peserta rapat tiba dengan kereta api.
Mereka yang tiba dari Purbalingga, Wonosobo, Semarang, Yogyakarta, dan Solo
turun di Stasiun Timur. Adapun peserta dari Jawa Barat turun di Stasiun Raya,
kini stasiun di kota itu. Para kader Murba dari daerah dengan sukarela
menyumbang pelbagai barang: sekadar beras atau gula merah. Tak hanya untuk
konsumsi rapat, barang-barang yang terkumpul dijual untuk keperluan lain.
Murba ketika itu belum menjadi partai, melainkan gerakan
rakyat jelata. Tan Malaka menggagasnya buat melawan kapitalisme dan penjajahan
serta untuk menggapai kesejahteraan. Purwokerto dianggap merupakan basis kuat,
karena itu Tan memilihnya untuk tempat kongres para pemimpin berbagai
organisasi.
Di kota ini, Tan bersahabat kental dengan Slamet
Gandhiwijaya. Tokoh Murba Purwokerto ini menjadi penyandang dana terbesar. Dari
Slamet pula Nirwan mengenal sosok Tan Malaka. ”Slamet menjual sawah untuk biaya
kongres,” kata Nirwan, yang menjadi Ketua Agitasi dan Propaganda setelah Tan
mendeklarasikan Partai Murba pada November 1948.
Slamet pernah dibuang ke Digul karena aktif di gerakan kiri
menentang Belanda. Saat pendudukan Jepang, pria kelahiran Madiun, Jawa Timur,
1901 ini dipercaya memimpin sejumlah proyek pembangunan, seperti jalan dan
waduk. Belum semua proyek rampung, Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan
Nagasaki.
Jepang kalah dan lari dari daerah pendudukannya di Asia
Timur, termasuk Indonesia. Ketika Jepang menyingkir dari Jawa, menurut peneliti
dan penulis buku tentang Tan Malaka, Harry A. Poeze, koper Slamet masih penuh
uang. Duit ini yang dipakai untuk biaya gerakan politik.
Slamet tinggal di dekat Stasiun Kedungrandu, Kecamatan
Patikraja, Banyumas, 10 kilometer dari Kota Purwokerto. Dulu, perusahaan kereta
api Belanda, Serajoedal Stoomtram Maatschappij dan Serajoedal Staatspoor,
mengoperasikan kereta api Cilacap-Stasiun Raya Purwokerto-Gombong yang melalui
Kedungrandu. Jalur ini melintas di dekat aliran Sungai Serayu. Tapi pada 1936,
dua perusahaan itu bangkrut.
Ada tiga rumah bekas petinggi perusahaan kereta api Belanda
di Kedungrandu. Satu di antaranya ditempati keluarga Slamet. Di kiri-kanan
rumah Slamet terhampar sawah. Di kejauhan tampak bukit-bukit hijau. Rumah
Slamet menghadap ke utara, berpagar pohon petai cina. Di belakang rumah
mengalir Kali Pematusan, sekaligus pembatas rumah dengan sawah. ”Dulu saya suka
memetik klandingan (petai cina) di situ,” ungkap Nasirun, 66 tahun, tetangga
Slamet.
Rumah berarsitektur Belanda ini telah dilengkapi telepon dan
garasi mobil. Darmuji, 76 tahun, penduduk setempat, mengenal Slamet sebagai
priyayi terpandang dan kaya di Patikraja. Orang kebanyakan, termasuk Darmuji,
umumnya takut bertamu. ”Saya dan Den Slamet kan beda,” katanya.
Ketika pergi ke Purwokerto, Tan selalu menginap di sini. Di
rumah ini pula Tan bertemu dengan Soedirman sebelum kongres. Slamet dan
istrinya, Martini, memanggil Tan dengan sebutan Ohir. Mungkin diambil dari
bahasa Belanda, ouheer, yang bermakna orang tua. Perintis Gunawan, 49 tahun,
anak Slamet yang kini tinggal di Cireundeu, Tangerang, mendapat kisah ini dari
ibunya.
Jika mendengar kabar mata-mata musuh mencari, Tan segera
bersembunyi di perbukitan. Martini lihai merahasiakannya. ”Kalau Tan lari ke
selatan, ibu saya bilang larinya ke utara,” kata Perintis. Rumah Slamet dijaga
Nero, anjing peliharaan. Ada juga kolam ikan. Di sini ada ikan yang dinamai
Yopi. ”Jika tangan Tan menaburkan pakan, Yopi langsung menyaut,” kata Perintis,
mengingat kisah dari ibunya. Martini, yang kelahiran Purwokerto, 5 Oktober
1920, adalah aktivis perempuan Muhammadiyah, Aisyiah. Ia meninggal November
tahun lalu.
Rumah Slamet sejak 1977 menjadi gedung Koperasi Unit Desa
Patikraja. Memang, ia telah mengosongkan rumah itu seusai Agresi Belanda II
pada Desember 1948. Ia membangun rumah di atas tanah milik sendiri, satu
kilometer dari rumah lama. Slamet mengembalikan rumah lama kepada negara. Sejak
itu rumah tidak dirawat. Kayu lapuk dan tembok ambrol. Kini, di atasnya berdiri
bangunan baru sejumlah rumah. Bekas Stasiun Kedungrandu dibeli Si Kuan,
pengusaha setempat, untuk penggilingan padi, yang hingga kini bertahan.
Di rumah baru, Slamet membuka usaha furnitur. Martini
menekuni industri rumah kain batik. Slamet menempati rumah ini hingga ia
meninggal 4 September 1966. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan
Tanjung Nirwana, Purwokerto, sebagai perintis kemerdekaan. Kini, meja dan kursi
tempat Tan berdiskusi dengan Soedirman sambil makan masih terawat. Meja kayu
jati bulat telur itu semula hitam. Pelitur ulang mengubahnya menjadi cokelat.
Gedung pertemuan tempat Kongres Persatuan Perjuangan di
Purwokerto itu sejak 1964 hingga kini menjadi gedung Radio Republik Indonesia
di Jalan Jenderal Soedirman. Menurut Soegeng Wijono, 70 tahun, ahli sejarah
ekonomi Purwokerto, gedung itu beberapa kali berubah nama. Pada zaman Belanda
bernama Societeit. Jepang masuk berganti nama Gedung Asia Bersatu. Setelah
Republik berdiri, disebut Balai Prajurit. ”Tapi orang-orang tua lebih suka
menyebutnya Societeit,” kata Soegeng.
Untuk menuju Societeit, tempat kongres, Tan berangkat dari
rumah Slamet menggunakan mobil yang ia bawa dari Yogyakarta. Banyak peserta
kongres belum mengenal Tan. Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta terbitan 6
Januari 1946, seperti ditulis Harry A. Poeze dalam bukunya, menggambarkan
peserta rapat terdiam menahan napas menyambut Tan naik podium.
Koran Indonesia saat itu umumnya terbit hanya dua halaman.
Jarang sekali koran menulis gambaran suasana. Kedaulatan Rakyat melaporkan:
Umur beliau lebih dari 50 tahun. Tetapi kelihatannya lebih
muda. Badan beliau tegap, sehat, kuat, muka tampak segar. Mata agak kecil tapi
tajam. Melihat kerut-kerut wajah beliau, maka kelihatanlah dengan nyata
karakter beliau yang kukuh, kuat, dan berdisiplin. Pakaian sederhana. Berkemeja
dan bercelana pendek dan berkaos kaki panjang.
Nuansa ketidakpuasan menyelimuti kongres. Para peserta tak
sepakat dengan langkah diplomasi Soekarno-Hatta dan Perdana Menteri Sjahrir.
Tan geram dengan para pemimpin yang tak bereaksi atas masuknya Sekutu ke
Indonesia.
Tan mengajukan tujuh pasal program minimum: berunding untuk
mendapatkan pengakuan kemerdekaan 100 persen, membentuk pemerintah rakyat,
membentuk tentara rakyat, melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa
Eropa, menyita perkebunan musuh, dan menyita pabrik musuh untuk dikelola
sendiri.
Menurut Tan, kemerdekaan 100 persen merupakan tuntutan
mutlak. Sesudah musuh meninggalkan Indonesia, barulah diplomasi dimungkinkan.
Tan bertamsil: orang tak akan berunding dengan maling di rumahnya. ”Selama
masih ada satu orang musuh di Tanah Air, satu kapal musuh di pantai, kita harus
tetap lawan,” katanya.
Jenderal Soedirman tak kalah garang. Ia berpidato di
kongres: ”Lebih baik diatom (dibom atom) daripada merdeka kurang dari 100
persen.” Para peserta kongres akhirnya sepakat membentuk Persatuan Perjuangan.
Persatuan kemudian dideklarasikan di Balai Agung, Solo, pada
15 Januari 1946. Kongres Solo disebut Kongres I Persatuan Perjuangan. Dibuka
pukul 10 pagi, kongres ini dihadiri 141 organisasi. Panitia mengundang Presiden
Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan anggota kabinet. Tapi, yang datang
hanya Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo, Jaksa Agung Gatot Taroenamihardjo,
dan Panglima Besar Soedirman. Sultan Yogya dan Susuhunan Solo mengirimkan wakil
mereka. Peserta menginap di Hotel Merdeka, Solo.
Setelah bendera oposisi dikibarkan di Purwokerto, Tan
ditangkap. Ia lalu dipenjarakan di sejumlah tempat: Wirogunan Yogyakarta,
Madiun, Ponorogo, Tawangmangu, dan Magelang.
Ketika Tan dipenjara di Wirogunan pada 1946, anak muda Murba
bernama Anwar Bey, kini 79 tahun, besuk bersama Abdullah, guru Meer Uitgebreid
Lager Onderwijs Adabiyah Padang, juga orang Pari—Partai Republik Indonesia.
Anwar kelak menjadi wartawan Antara dan Sekretaris Wakil Presiden Adam Malik.
Mereka diutus pemuda Sumatera Barat. Perjumpaan itu cuma setengah jam dan
mereka tak banyak bicara karena diawasi sipir pendukung Hatta. ”Tan hanya
bilang teruskan perjuangan,” kata Anwar.
Konferensi itu sebenarnya direncanakan berlangsung di
Malang, Jawa Timur, Desember 1945. Ketika itu, laskar dan tentara meninggalkan
Surabaya setelah pertempuran 10 November 1945. Tapi, karena banyak wakil berada
di Jawa Barat dan Jakarta, konferensi dimundurkan. Tan ke Cirebon menemui
wakil-wakil organisasi dari pelbagai daerah. Selanjutnya, untuk pertama kalinya
Tan bertemu dengan wakil organisasi dari kota-kota di Jawa pada 1 Januari 1946
di Demakijo, Godean, Yogyakarta. Mereka sepakat bertemu di Purwokerto.
Kelak, pertemuan Purwokerto diakui memberikan sumbangan
besar. Ketika memperingati sewindu hilangnya Tan Malaka pada 19 Februari 1957,
Kepala Staf Angkatan Darat Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution mengatakan
pikiran Tan dalam Kongres Persatuan Perjuangan dan pada buku Gerpolek (Gerilya
Politik Ekonomi) menyuburkan ide perang rakyat semesta. Perang rakyat semesta
ini, menurut Nasution, sukses ketika rakyat melawan dua kali agresi Belanda.
Terlepas dari pandangan politik, ia berkata, Tan harus dicatat sebagai tokoh
ilmu militer Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar