Madilog: Sebuah Sintesis Perantauan
Rizal Adhitya Hidayat - Bekerja di Universitas Indonusa Esa
Unggul
-------------------------
SAMPAI kematiannya yang tragis sebagai tumbal revolusi,
lebih dari 20 tahun hidup Tan Malaka dihabiskan untuk merantau di negeri lain.
Dari agen Komintern untuk Asia di Kanton sampai menjadi free agent bagi dirinya
sendiri. Dari seorang pedagog tulen dengan jaminan finansial hingga hidup
merdeka seratus persen. Dan Madilog, buku yang ditulisnya dalam persembunyian
dari Kempetai, polisi rahasia Jepang (1943), adalah warisannya yang paling
otentik.
Tan menginginkan Madilog—singkatan dari Materialisme, Dialektika,
dan Logika—sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan
fleksibel. Inilah warisan perantauannya yang berasal dari pemikiran Barat untuk
mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultus takhayul yang,
menurut dia, diidap rakyat Indonesia. Mengapa? Sebab, Tan berpikir, mulai
periode Yunnan sampai imperialisme Jepang, bangsa Indonesia tidak mempunyai
riwayat kesejarahan sendiri selain perbudakan. Tak mengherankan bila budaya
bangsa ini berubah menjadi pasif dan menafikan sama sekali penggunaan asas
eksplorasi logika sains.
Madilog adalah solusinya. Inilah sebuah presentasi ilmiah
melalui serangkaian proses berpikir dan bertindak secara materialistis,
dialektis, dan logis dalam mewujudkan sebuah tujuan secara sistematis dan
struktural. Segala dinamika permasalahan duniawi dapat terus dikaji dan diuji
sedalam-dalamnya dengan menggunakan perkakas sains; yang batas-batasnya bisa
ditangkap oleh indra manusia.
Namun, lebih dari sekadar Barat, Madilog adalah juga
sintesis perantauan dari seorang Tan yang berlatar belakang budaya Minangkabau.
Ini terjabarkan ke dalam dua sense of extreme urgency point pemikiran Tan
Malaka demi membumikan Madilog dalam ranah Indonesia. Pertama, Madilog lahir
melalui sintesis pertentangan pemikiran di antara dua kubu aliran filsafat,
yaitu Hegel dengan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektika (tesis,
antitesis, dan sintesis) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya
dapat tercapai melalui perkembangan dinamis, dari taraf gerakan yang paling
rendah menuju taraf gerakan yang paling tinggi. Semua berkembang,
terus-menerus, berubah tapi berhubungan satu sama lain. Hegel lebih memfokuskan
pemikiran bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran (ide) lebih penting
daripada matter (benda).
Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih
cocok diterapkan dalam ranah matter melalui revolusi perpindahan dominasi kelas
yang satu ke kelas yang lain sampai tercapai suatu bentuk kelas yang
sebenarnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi matter bagi Marx-Engels lebih
penting daripada ide.
Nah, dalam Madilog, Tan Malaka mencoba mensintesiskan kedua
pertentangan aliran filsafat ini untuk mengubah mental budaya pasif menjadi
kelas sosial baru berlandaskan sains; bebas dari alam pikiran mistis. Melalui
sains, mindset masyarakat Indonesia harus diubah. Logika ilmiah dikedepankan,
pikiran kreatif dieksplorasi dengan langkah dialektis dari taraf perpindahan
gerakan kelas sosial dari tingkatannya yang paling rendah sampai paling tinggi
berupa kelas sosial baru yang berwawasan Madilog. Inilah proses ”merantau”
secara pemikiran karena berbagai benturan ide yang terjadi.
Kedua, identitas budaya Minangkabau tentang konsep rantau.
Nilai penting konsep rantau dalam budaya Minangkabau adalah mengidentifikasi
setiap penemuan baru selama merantau demi pengembangan diri. Karakter
masyarakat Minangkabau adalah dinamis, logis, dan antiparokial. Konflik batin
khas perantau ditepisnya dengan tradisi berpikir rasional, didukung dengan
basis pendidikan guru, yang mengharuskan Tan menanamkan cara berpikir yang
logis. Sementara itu, merantau adalah juga mencari keselarasan hidup; yang
tersusun dari dinamika pertentangan dan penyesuaian. Pandangan kebudayaan
Minangkabau yang umum berlaku di masa mudanya membuatnya memahami baik
dinamisme Barat maupun dinamisme alam Minangkabau di dalam suatu cara pandang
terhadap dunia yang terpisahkan (Mrazeck, 1999).
Sebagai sintesis hasil perantauannya, Madilog merupakan
manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan Malaka. Ia bukan dogma yang biasanya
harus ditelan begitu saja tanpa reserve. Menurut dia, justru kaum dogmatis yang
cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum bermental budak/pasif yang sebenarnya.
Di sinilah filsafat idealisme dan materialisme ala Barat dan konsep rantau
disintesiskan Tan Malaka. Lembar demi lembar ditulisnya di bawah suasana
kemiskinan, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrem. Namun Madilog-lah
yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang
dikumpulkannya dari Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah
pikirnya itu di Rawajati (1943).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar