Pemberontak dari Alam Permai Minangkabau
Zulhasril Nasir - Guru Besar Komunikasi UI dan penulis buku
Tan Malaka dan Gerakan Kiri Minangkabau (Ombak, 2007)
----------------------------
BERDIRI di tempat tinggi, menadahkan kedua tangannya, Roger
Tol, peneliti dari lembaga Belanda KITLV, berseru, ”Mengapa di tempat yang
indah dan subur ini lahir seorang pemberontak?” Harry Poeze, sejarawan peneliti
Tan Malaka yang tegak di sampingnya, hanya membisu.
Adegan itu terjadi di Pandan Gadang, tempat lahir Ibrahim
Datuk Tan Malaka, 32 kilometer dari Payakumbuh, Sumatera Barat. Kedua peneliti
itu baru usai meresmikan ”Rumah Tan Malaka: Museum dan Pustaka”, pada 22
Februari 2008. Nagari Pandan Gadang tersuruk di Bukit Barisan, di antara lempit
bukit dan sawah hijau membentang, kicau burung berlompatan di buah-buah ranum.
Nagari memberikan kemerdekaan kepada penduduknya untuk
menjadi siapa saja. Tiada lapisan sosial. Yang ada hanya fungsi sosial.
Pemimpin hanya didahulukan selangkah, ditinggikan seranting. Lelaki dan
perempuan bicara dalam adat yang sama. Tan Malaka beruntung menjadi anak
seorang pegawai pertanian Hindia Belanda, selangkah lebih maju dari warga lain.
Kesempatan yang diperoleh di Sekolah Rajo, Bukittinggi,
tidak lepas dari kecerdasan sebagaimana yang dikatakan guru Belandanya,
Horensma, di sekolah guru (Kweekschool) itu, ”Rambutnya hitam-biru yang bagus
sekali, bermata hitam kelam seolah-olah memancarkan sesuatu.” Berkat gurunya
ini juga Tan Malaka kemudian sekolah ke Negeri Belanda, di usia 17 tahun. Di
negeri penjajah itu, Tan Malaka menyerap ideologi yang menjadi titik
perjuangannya sampai akhir hayat.
Nagari tidak tunduk kepada pemerintah pusat. Nagari diatur
oleh tiga tungku sejarangan: kepala adat, ulama, dan cerdik pandai. Segala
aspek pemerintahan Nagari, persoalan dan kemajuan masyarakat, diselesaikan
melalui musyawarah oleh ketiga unsur tadi di balairung. Kedaulatan rakyat
terwujud pada pemerintahan Nagari.
Pemerintahan pusat (Raja) tidak memiliki kewenangan ikut
campur. Masing-masing Nagari mempunyai kedaulatan yang sama, tanpa hubungan
struktural. Ketika Tan Malaka kesulitan uang di Negeri Belanda,
sanak-kaumnyalah yang berpatungan mengirimkan dana (Angkoefonds). Tan Malaka
menganggapnya sebagai utang, bukan sumbangan.
Tan Malaka mendahului sekolah ke Negeri Belanda daripada
Hatta, Nazir Datuk Pamuncak, Sjahrir, Abdul Rivai, Asaat, Ibrahim Taher,
Zaharin Zain, Abdul Muis, dan Abdul Rivai. Negeri Belandalah, sebenarnya, yang
membentuk wataknya: membaca, belajar, dan menderita. Dia menutupi kekurangan
uang dengan mengajar bahasa Melayu, sambil berusaha menyelesaikan sekolah, dan
berjuang melawan sakit bronkitis, yang bermula hanya karena tidak memiliki baju
hangat pada musim dingin.
Alam Minangkabau yang subur permai dan bebas tidaklah
lengkap membekali anak negerinya tanpa mengaji dan pencak silat. Mengaji dan
silat adalah pembentuk kepribadian dan kepercayaan diri: tak kayu jenjang
dikeping; musuh indak dicari bersua pantang dielakkan; induk cari dunsanak
cari, induk semang cari dahulu.
Suatu ketika Tan Malaka mencalonkan diri untuk Tweede Kamer
(parlemen) Belanda mewakili negeri jajahan. Orang sekarang mungkin tidak dapat
membayangkan, dalam keadaan serba terbatas Tan Malaka melanglang buana
membentuk dan membangun ideologi dalam perjalanan panjang dari Negeri Belanda,
Jerman, Rusia, kemudian naik kereta api Trans-Siberia melalui gurun es hingga
Wladiwostok di Timur, terus bolak-balik ke Amoy, Shanghai, Manila, Kanton,
Bangkok, Singapura, Semenanjung Malaya, dan Burma.
Di kota-kota itu, sembari membangun kekuatan antipenjajahan,
ia melahirkan percikan pemikiran melalui buku, brosur, di antara bayang-bayang
intelijen Inggris, Amerika, dan Belanda. Sepuluh tahun pada akhir kehidupannya
benar-benar dia sumbangkan untuk tanah air, membangun kekuatan perlawanan
rakyat melawan Jepang dan Belanda, meskipun berakhir di ujung peluru bangsa
yang diperjuangkannya. Bukankah itu suatu kedigdayaan yang tidak dimiliki oleh
semua orang?
Tan Malaka bukan seorang dogmatis sebagaimana Stalinis. Dia
berpikir menurut dialektika. Ketika Stalin mendakwa kesatuan Islam
(Pan-Islamisme) dan Khalifah sebagai bentuk kolonialisme, Tan Malaka
membantahnya. Baginya, kesatuan Islam tidaklah harus berada di Asia Barat saja,
Pan-Islamisme haruslah dibangun di setiap negeri muslim.
Islam, kata Tan Malaka, telah mengajarkan sosialisme dan
antipenjajahan dua belas abad sebelum Karl Marx lahir. Karena itulah
Pan-Islamisme harus membebaskan rakyat muslim terjajah di mana pun. Pandangan
semacam ini yang kemudian menarik kaum terdidik di Minangkabau pada awal abad
ke-20. Pusat kaum pelajar di Sumatera Barat pada masa itu berada di Padang
Panjang (Diniyah dan Sumatera Thawalib), Bukittinggi (Parabek Sumatera
Thawalib), Padang (Adabiyah Islamic School), dan sekolah sekuler Kweekschool di
Ford de Kock (Bukittingggi).
Penyebab utama tumbuhnya cikal-bakal pergerakan modern kaum
muda di Minangkabau adalah dibangunnya Sekolah Guru di Bukittinggi, sebagai
akibat politik etis Belanda pada awal abad ke-20. Penyebab lainnya ialah
kembalinya pelajar-pelajar Minang berpendidikan Kairo dan Mekah, yang mendorong
berdirinya lembaga pendidikan agama secara swadaya dan berakibat tumbuhnya
pemikiran baru di kalangan generasi muda Islam.
Pengaruhnya sangat terasa pada dua gelombang kedatangan
alumni Kairo dan Mekah, seperti Syekh Ahmad Wahab, Syekh Ahmad Chatib, Syekh
Taher Djalaluddin, Syekh Karim Amrullah, Syekh Djamil Djambek, Syekh Ibrahim
Musa Parabek, dan generasi alumni Mekah yang lebih keras, Haji Datuk Batuah,
Mukhtar Lufti, dan Ilyas Jacob.
Gelombang pertama kedatangan alumni Timur Tengah sebenarnya
terjadi hampir satu abad sebelumnya, yaitu pra-Perang Bonjol (1820-an). Mereka
adalah Tuanku Nan Renceh, Haji Miskin, Tuanku Piobang, Tuanku
Pamasiangan—tokoh-tokoh pergerakan di belakang Tuanku Imam Bonjol. Modernisasi
pemikiran Islam (ada yang menyebutnya sekularisme) yang dikemukakan Muhammad
Abduh dan Kemal Ataturk lebih melekat pada generasi terakhir pada awal abad
ke-20 itu. Pada masa yang bersamaan berkembang pula di Jawa dan Sumatera
gagasan antipenjajahan.
Kemajuan pendidikan di Minangkabau—yang disebut sebagai
salah satu suku yang tertinggi tingkat pendidikannya di Hindia Belanda (Kahin
2005, Poeze 1988, dan Naim 1979)—sebagai faktor kuatnya gerakan antipenjajahan
dibanding daerah lain. Kahin menulis, ”Orang Minangkabau sebagai orang-orang
yang gelisah, dengan tradisi pemberontakan dan perlawanan yang panjang. Selalu
merasa bangga dengan perlawanan mereka terhadap kekuatan luar, baik yang dari
Jawa maupun dari Eropa.” Kaum pergerakan kiri di Sumatera Barat selalu
mengingatkan Perang Paderi (1820-1837) dan Perang Belasting 1908 (yang
menentang pemberlakuan pajak langsung kepada rakyat), untuk menumbuhkan rasa
tidak puas kepada pemerintah Hindia Belanda.
Gerakan kiri—diterjemahkan sebagai perlawanan terhadap
kuasa, perlawanan rakyat, radikalisme, antikemapanan, komunisme,
antipenjajahan—bukan hanya milik Tan Malaka. Ia menjadi subur dan berkembang di
Minangkabau karena masyarakatnya menganut paham kesetaraan, kesamaan derajat,
hak dan tanggung jawab (egaliter) sebagai wujud demokrasi Nagari.
Banyak tokoh nasional yang lahir dari alam Minangkabau,
sejak prakemerdekaan sampai pascakemerdekaan, terutama hingga era demokrasi
liberal (1959). Pada penelitian saya yang bertajuk Tan Malaka, Gerakan Kiri
Minangkabau di Indonesia, Malaysia dan Singapura (Ombak, 2007), dapat
dibuktikan bahwa pejuang kemerdekaan Malaya (Malaysia) sebagian besar (21
orang) adalah keturunan dan pendatang dari Minangkabau.
Mereka pendiri dan pimpinan Partai Kesatuan Melayu Malaya dan
Partai Komunis Malaya. Di antaranya ialah Ibrahim Jaacob, Ahmad Boestaman,
Abdullah C.D., Rashid Maidin, Shamsiah Fakeh, dan Khatijah Sidek. Mereka bukan
berada di UMNO, partai kanan. Dari segala kepeloporan tersebut para pejuang
kiri Minangkabau dapat dikategorikan beraliran: Islam-komunis,
Islam-nasionalis, sosialis-demokrat, nasionalis kiri, dan komunis.
Kecenderungan gerakan kiri kaum muda Minangkabau tidak lain
karena pembekalan alam Minangkabau itu sendiri: demokrasi, egaliter, kemajuan
pendidikan, dan aktualisasi merantau. Roger Tol atau Harry Poeze mungkin
mendapat jawaban—negeri yang subur dan permai itu sebenarnya melahirkan
pemimpin rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar