1. MANUSIA MONYET
Puluhan ribu tahun lalu, dimasa yang masih gelap gulita
untuk ingatan kita sekarang, ketika mungkin kepulauan Indonesia masih besartu
antara satu dengan lainnya, juga dengan Filipina dan benua Asia bahwa mungkin
juga dengan Australia, menurut seorang ahli hiduplah disini, dekat desa Trinil,
makhluk setengah hewan setengah manusia, yang oleh ilmu dinamakan
pithecantropus erectus, manusia monyet. Di belahan bumi lain seperi di Tiongkok
Utara, Afrika Selatan, serta Eropa Selatan dan Tengah ditemukan juga mahluk
semacam itu.
Semenjak Charles Darwin, banyak sekali para ahli biologi
(ilmu hayat) mendapatkan pandangan dan kesimpulan baru yang bertentangan dengan
kepercayaan yang ditaati oleh agama selama ini tentang asal-usul dan hari akhir
manusia di bumi kita yang kecil dan sama sekali tak berarti, kalau dibandingkan
dengan besarnya pelbagai bintang diantara jutaan bintang di alam raya kita ini,
di Universe kita ini.
2. INDONESIA SEDERHANA
Kita kembali kepada alam kita di Indonesia tadi serta kembali
mengamati penghuninya! Maka sekarang pun Indonesia masih dapat menyaksikan
manusia pada tingkat yang serendah-rendahnya, yang berada di antara jenis hewan
yang paling tinggi derajatnya, seperti orang utan, dengan pelbagai penduduk
manusia di gunung serta hutan rimba raya Indonesia.
Orang Kubu yang masih berkeliaran di hutan rimba Sumatera
Selatan, orang Semang di Malaya dan banyak orang Dayak di hutan Kalimantan
seperti banyak orang Irian (Papua) masih bisa mendapatkan semua keperluan
hidupnya daripada Alam sekitarnya. Mereka belum lagi terpaksa mengerahkan
otaknya dan tenaga untuk bertanam, bertukang atau berdagang, untuk mendapatkan
makanan dan pakaian yang diperlukannya atau untuk memperoleh senjata buat
membela diri mereka terhadap hewan atau pun manusia buas yang lainnya. Buah
dari pohon di berlainan tempat dan musim, binatang liar dan ikan yang terdapat
di sana-sini cukup untuk menjamin hidup mereka. Kulit dan daun kayu cukup untuk
menutupi bagian badan yang perlu mereka tutupi. Dahan, ranting, dan daun kayu
yang dibikin seperti sarang, tinggi di atas pohon, cukup pula untuk memberi
sekedar perlindungan terhadap hujan, panas dan bahaya musuh.
Gambaran di atas kurang lebih memang masih terdapat pada
beberapa bagian di kepulauan Indonesia. Ini saya majukan untuk memberi
penjelasan, betapa dekat dan eratnya hubungan alam dan manusia. Alam Indonesia
yang kaya raya ini tidaklah mendorong manusianya membanting tulang serta
memutar otak terus-menerus untuk mendapatkan makanan dan pakaian serta memperoleh
senjata dan perlindungan untuk membela diri terhadap binatang buas atau alam
yang kejam. Di mana keadaan alam belum lagi memaksa, maka tenaga, kepandaian
dan pengetahuan manusia itu tinggal tetap seperti awalnya. Tetapi dimana
keadaan alam dan masyarakatnya mengalami perubahan, disana tenaga dan otak
penduduk Indonesia menunjukkan juga kesanggupan penuh terhadap segala macam
kemajuan jasmani dan rohani yang dikehendaki oleh alam dan masyarakat yang
berubah itu. Sungguh besar perbedaan alam jiwanya orang Indonesia asli, seperti
orang Kubu, Semang, Dayak, dan Irian seperti tergambar di atas tadi dengan
alam-jiwanya seorang Indonesia desa kota seperti tani, buruh, doker, insinyur,
atau pengacara. Tetapi dengan tiada sangsi dan bukan pula dengan maksud memuji
atau menghina, saya berani mengatakan bahwa orang Dayak atau Irian pun jika
berada dalam keadaan sama akan sanggup belajar sampai mencapai apa yang bisa
dicapai oleh suku bangsanya yang berada di desa dan kota. Perbedaan orang
Indonesia berada dengan yang sederhana (primitive) bukanlah disebabkan oleh
perbedaan sifat dan kesanggupan sebagai manusia, melainkan disebabkan oleh
perbedaan sekitar dan keadaan. Dengan kata lain, disebabkan oleh kodrat
pendorong.
3. ANIMISME.
Rupanya perbedaan alam sekitar kita itulah yang menjadi alat
adanya perbedaan Pandangan Hidup (Weltanschauung) Indonesia beradab dengan
Indonesia primitif itu. Buat mengerti hal ini, maka sebaiknya sekejap kita
mengandaikan berada di tengah-tengah hutan rimba Sumatera, Kalimantan, atau
Irian! Bagi penduduk kota, ataupun hampir buat seluruh penduduk pulau Jawa,
agak susah mengerti betapa dahsyatnya suasana hutan rimba yang sesungguhnya itu
menekan jiwa kita.
Pohon yang besar tinggi menjulang ke angkasa; cuaca yang
selalu gelap-gulita karena sang matahari tak sanggup menembus dinding daun kayu
yang rindang itu; suara hewan yang mempengaruhi jiwa kita; kecurigaan kepada
semua semak dan belukar, karena mungkin menyembunyikan biantang buas atau
berbisa, semua itu menimbulkan perasaan kecil, hina tak berdaya sebagai manusia
menghadapi kebesaran dan kedahsyatan alam.
Bagi manusia yang sejak awal berpikir, yang sejak awal
sekali mencerminkan alam-luar itu kepada alam-dalamnya, kepada jiwanya, cocok
benarlah paham bahwa tekanan atas jiwa dalam dirinya disebabkan olah jiwa yang
berada di Alam-Luar, yakni yang berada dalam hutan rimba raya itu. Buat pikiran
orang serba sederhana itu jiwa cuma bisa dipatahkan karena ditimpa oleh pohon
besar. Demikianlah di mata orang sederhana itu, semua benda yang dahsyat di
sekitarnya dianggap mengandung jiwa seperti dirinya sendiri. Pohon besar yang
rindang dahsyat, air mancur yang bergemuruh; binatang buas yang berbahaya;
bahkan batu dan kayu pun dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Sesungguhnya anti tesis antara buruk dan baik, yang
terpendam dalam pengalamannya sehari-hari belum lagi begitu terpisah dalam
pandangannya. orang sederhana memuja bukan yang baik asal baik saja, tetapi
juga yang jahat. Mereka memberikan korban kepada keduanya, yang baik maupun
yang jahat. Hantu yang jahat tak kurang menerima pujaan atau korban orang
sederhana daripada hantu yang baik, yakni hantu kawan manusia. tentulah di mana
alam sangat dahsyat di sanalah hantu jahat, harimau si raja hutan atau sang
buaya mendapat perhatian lebih dari pada yang baik.
Teranglah sudah bahwa zaman serba permulaan itu pandangan
bangsa Indonesia, dalam keadaan serba-serbi itu pula, berdasarkan paham yang
oleh para ahli dinamai kepercayaan animisme. Semua yang ada di alam ini
dianggapnya berjiwa, bernyawa.
Berkenaan dengan manusia sederhana bangsa kita tadi dengan
alamnya di mana mansuia itu berlaku pasif, menerima, bahkan menderita ketakutan
saja, di masa inipun berlakulah hukum dialektika, yakni perubahan bilangan
sedikit demi sedikit, lama-kelamaan menjadi pertukaran sifat (quantity into
quality).
Dalam pencarian hidupnya sehari-hari menghadapi pelbagai
bahaya di hutan, di gunung, di air dan menderita bermacam-macam penyakit, lama
kelamaan tahu-tahu tertumpahlah segala pengorbanan dan pemujaan kepada salah
satu yang paling ditakuti di antara banyak-yang-ditakuti. Di antara macan,
buaya, hantu pohon, hantu air, atau hantu pemburu, akhirnya jatuhlah
Maha-Pujuaan kepada Maha-Hantu, yang paling penting-cocok dengan penghidupan
dan pengalaman sehari-hari. Dimana pencarian dan pekerjaan berburu sangat
dipentingkan, maka hantu pemburulah yang sengat dipuja. Di sinilah
hantu-pemburu akhirnya mendapat kehormatan sebagai Maha-Hantu.
Dimana pergaulan sudah agak maju, dan alam-sekitar sudah
agak ramah-tamah, maka yang baik mendapat perhatian agak lebih dari yang jahat.
Konon kabarnya ada satu suku bangsa Irian yang menganggap pohon aren atau enau
sebagai Tuhan dalam arti Maha-Dewa. Bukankah pohon aren juga antara segala
pohon dan segala yang ada di alam sekitar mereka yang telah memberikan
segala-galanya yang diperlukan buat kehidupan mereka? Sagu dari pohon Aren
adalah makanan yang sehat dan mengandung banyak kegunaan. Ijuknya dapat dipakai
buat atap rumah. Batangnya bsia juga dipakai sebagai tombak penangkap ikan dan
alat membela diri terhadap musuh.
Seorang Irian asli cuma membutuhkan tujuh pohon Aren yang
berurutan dari satu sampai tujuh tahun. Tebanglah pohon ketujuh yang berumur
tujuh tahun, yang sudah masak itu. Tanamlah satu pohon penggantinya. Inilah
pekerjaan yang perlu dilakukan seorang anggota, yakni memotong sepohon sagu
sekali satun dan menanam sepohon sagu sekali setahu. Selainnya itu dia boleh
memancing atau berburu, berkelahi atau bersuka ria. Dalam pergaulan semacam itu
Dewi Sagu-lah yang dianggapnya pencipta segala-galanya dan yang berkuasa dalam
segala-galanya. Demikianlah dalam Swarga-Loka di Irian.
Sederhana, Dewi Sagu menjunjung segala kemegahannya ke
angkasa sambil memberi bahagia kepada makhluk manusia di sekelilingnya.
4. KEPERCAYAAN INDIA.
Melompat kita sekarang ke bagian lain di bumi kita ini, ke
masyarakat lain, yakni India! Salah satu kesimpulan yang kita peroleh setelah
membaca buku suci Mahabarat, Ramayan, dan Upanishad, serta tulisan tentang
hidupnya Sidharta Gautama, Sang Budha, dan agama Budha, yakni bahwa pertama
kali India mempunyai penduduk asli dan penduduknya terdiri dari bermacam-macam
bangsa yang masuk menyerbu dari Utara dan mungkin pula dari Timur atau Selatan!
Kedua, bahwa mayarakat India di masa semua buku tersebut
dikarang sudah mengenal alat perkakas produksi yang dibuat dari logam.
Ketiga, bahwa masyarakat India sudah meningkat dari komunis
asli ke tingkat feodal yang mengenal beberapa raja dan maharaja, sedangkan
aturan desanya berdasarkan komunis asli.
Keempat, dan inilah pula yang perlu diperhatikan disini,
bahwa kebudayaan dan agama India yang tertulis itu cukuplah mencerminkan
masyarakatnya di masa itu buat mereka yang berpedoman dialektisme materialistis,
jadi bukan dialektisme idealistis.
Memang dalam kitab suci India itu sukar diperoleh fakta
sejarahnya (historical facts) dan sukar pula didapat konsistensinya, yakni
persamaan dasar antara bagian dengan bagian dan semua kecocokan dengan bukti
serta hukum Common-Sense. Malah tarikh pun, yakni salah satu syarat yang
penting bagi sejarah, sukar, kalau tak mustahil akan didapat.
Maksudnya di sini tidaklah akan bisa mengambil suatu
kesimpulan secara pasti dari Buku-Suci yang tidak berdasarkan historical facts
itu. Cuma sekedar menimbulkan kesamaan petunjuk buat ahli pemeriksa.
Berhubungan dengan dongeng Ramayana, maka dengan sendirinya
timbul dalam hati kita pertanyaan, apakah monyet putih atau Hanoman itu benar
penjelmaan manusia, berdasarkan ilmu gaib ataukah tiada lebih tepat bahwa
Hanoman si Monyet Putih itu adalah seorang Panglima Aria, yakni bangsa Kaukasia
yang berkulit putih? Tidakkah mungkin pula bahwa perkataan monyet itu adalah
satu ejekan dari bangsa India asli, yang berkulit hitam, seperti bangsa Keling?
Kita pun di Indonesia ini mengenal kata ejekan terhadap orang asing-putih,
penjajah, yakni kebo bule, siwer matan.
Namun bagaimanapun juga, bagi saya dongeng Monyet Putih itu
adalah suatu petunjuk buat memeriksa sejarah India yang sebenarnya. Tetapi
pegangan yang sedikit kuat, yang kita peroleh dari dongengan Monyet itu ialah:
India terdiri dari bermacam-macam bangsa, baik yang asli atau pun yang masuk
menyerbu.
Mungkin sekali perbedaan kasta itu – yang belum pasti
terbentuk dalam kitab suci itu, tetapi terlaksana sampai menjadi kurang lebih
3000 kasta pokok, cabang, dan ranting di masa imperialisme Inggris – bersandar
mulanya kepada perbedaan bangsa.
Yang tiada pula kurang memberi sugesti kepada saya ialah
adanya Trimurti, adanya tiga Mahadewa Hindu, yakni Wisnu Sang Pembangun, Shiwa
Sang Perusak, dan Brahma Sang Pemelihara.
Banyak orang yang melihat pelaksanaan dialektika dalam
kepercayaan Hindu Asli itu. Memang banyak ahli dialektika yang memandang
semangat Hindu berdasar atas dialektika idealistik, bukan dialektika
materialistik, meskipun Hegel menganggap dialektika Hindu itu kurang kaitannya
antara satu faktor dengan faktor yang lain, yakni antara tesis dan anti tesis.
Bagaimanapun juga Trimurti dari mahadewa Pembangun, Perusak dan Pemelihara, itu
cocok sekali dengan Pandangan Hidup yang menyelami proses dalam segala yang ada
baik lahir ataupun batin. Tidak sukar membelokkan proses tersebut kepada
trimurti Hegel, yakni tesis, anti tesis, sintesis. Cuma buat Hegel, seorang
ahli dalam ilmu filsafat, proses itu berlaku dalam otak manusia. sedangkan buat
orang Hidnu, Trimurti itu adalah Mahadewa yang menguasai seluruhnya alam raya
kita termasuk juga hidup dan matinya manusia.
Bagi saya asal-usul, serta sifat ketiga Mahadewa Hindu itu
cukup tergambar dalam masyarakat Hindu yang kabur dan tiada logis-kronologis
tercantum dalam Kitab Suci Hindu.
Tiada sukar bagi kita menggambarkan Hindustan yang pada
mulanya terdiri dari berbagai-bagai kerajaan kecil, yang setelah lama bertempur
satu sama lain akhirnya mendapatkan tiga maharaja atau pun satu maharaja yang
terutama. Terhadap tiga mahadewa itu pun ada tingkat kekuasaan dan kehormatan
yang diterima oleh ketiganya atau masing-masingnya yang berbeda dari tempo ke
tempo dan tempat ke tempat.
Demikianlah di Hindustan sendiri pada satu tempo dan satu
tempat Wisnu-lah yang dipuja. Pada lain tempo dan lain tempat Syiwa-lah yang
diutamakan.
Tidak saja pelbagai dewa dan mahadewanya Hindu di dunia gaib
itu mendapatkan penyesuaian pada pelbagai raja dan maharaja di dunia lahir,
yakni dunia politik, tetapi juga mendapatkan penyesuaian penuh pada
dunia-sosial Hindu. Pelbagai kasta dalam masyarkat Hindu itu berpuncak pula
pada tiga kasta pokok, yakni Kasta Brahma, Kasta Satria, dan Kasta Waisya, atau
Kasta Pendeta, Kasta Ningrat, dan Kasta Saudagar. Semua kasta itu berpuncak
kepada Kasta Brahma. Jikalau sesudah mati, kembali ke dunia ini dan mendapatkan
kemajuan, maka menurut hukum karma dan reinkarnasi seseorang harus melalui
kasta dari bawah ke atas, setingkat demi setingkat. Dalam hal itu seorang Kasta
Brahma sajalah yang berhak masuk ke dalam surga, sedangkan Kasta Sudra dan
Paria (kelas rendah) mendengarkan bacaan kitab suci pun di dunia fana ini tiada
diizinkan.
Masyarakat Hindu, terutama di bawah imperialisme Inggris, menjadi
pecah belah dan beku, terpaku pada ribuan Kasta yang tiada boleh bercampur gaul
satu dengan lainnya. Lama sebelum Masehi rupanya pemisahan masyarakat Hindu
dalam beberapa kasta itu sudah menggelisahkan para ahli pemikirnya yang jujur
dan mengandung pri-kemanusiaan.
Reaksi terhadap masyarakat berkasta-kasta itu datang dari
pemikir besar Sidharta Gautama, putera mahkota dari raja Kapilawastu. Sidharta
Gautama atau Budha membantah keras pembagian manusia ke dalam beberapa kasta
itu dan mempropagandakan bahwa bukan anggota Brahmana saja yang dapat memasuki
Nirwana sesudah mati, tetapi siapa saja yang menjalankan agamanya dengan
sungguh-sungguh.
Proses untuk mendemokratisasi masyarakat Hindu yang dimulai
pada kurang lebih 500 tauhn sebelum Masehi itu berakhir dengan kemenangan Agama
Budha pada kurang lebih 500 tahun pula sesudahnya Nabi Isa, yakni dibawah
pemerintah Ashoka. Tetapi aksi yang dilakukan oleh Sidahrta Gautama beserta
para pengikutnya yang berakhir dengan kemenangan sesudahnya 500 tahun itu
diikuti pula oleh reaksi dari pihak Hindu. Reaksi itupun memperoleh kemenangan
penuh dan sampai sekarang Hinduisme masih bersimaharajalela di dalam masyarakat
Hindu.
Setelah abad ke-14 masuklah dari jurusan Utara, agama baru
yang terkenal sebagai agama Islam, yang lahir di antara masyarakat Arab di
Arabia. Agama Islam segera mendapatkan penganut di Hindustan baik dengan
propaganda secara damai ataupun dengan jalan peperangan. Sebelum imperialisme
Eropa memasuki India, orang Islam-lain yang menjadi Maharaja di Hindustan.
5. INDONESIA-INDIA
Gerakan Pandangan-Hidup di India sepeti ditinjau selayang
pandang di atas itu, menjalankan lakonnya pula di Indonesia kita ini. Di sini
pun kita mengenal berlakunya diberlainan tempat dan diberlainan tempo Trimurti,
Mahadewa Brahma, Wisnu, dan Shiwa. Kita pun mengenal pengembangan dan perluasan
agama Islam.
Dengan berkembang dan berkuasanya perdagangan Hindu di Indonesia
setahun demi setahun, berkembang dan berkuasa pula bansga Hindu (dibelakang
hari juga bangsa Arab) atas masyarakat dan politik bangsa Indonesia asli.
Dengan begitu berkembang dan berkuasalah pula semua agama Hindu dan Arab
(Islam) itu dalam masyarakat Indonesia.
Dalam hal itu pada puncak kekuasaan masing-masing agama,
Hindu ataupun Arab (Islam), kepercayaan Indonesia asli, kepercayaan yang timbul
dari alam Indonesia sendiri, yakni animisme, tak pernah dapat dilenyapkan dari
hati dan otaknya sebagian besar bangsa Indonesia. Sekarang pun para Hantu yang
bersemayam di pohon besar, di hutan rimba atau air terjun yang terus-menerus
menuangkan airnya itu masih menekan jiwa orang Indonesia yang melihat dan
mendekatinya.
Perbandingan dalam dunia kepercayaan di zaman Hindu itu
sesuai pula dengan perbandingan yang terdapat dalam dunia perekonomian bangsa
Indonesia di zaman tersebut. Perdagangan dan perusahaan asing walaupun
berkembang dan berkuasa dalam masyarakat Indonesia, belumlah pernah Indonesia
lepas dari tangannya. Tegasnya, sawah, ladang, serta hutan, sungai dan lautan,
ringkasnya tanah, air, dan udara masih tetap di dalam genggaman bangsa
Indonesia asli. Dengan demikian masih terjamin bagi bangsa Indonesia asli hari
depan yang lebih baik dan lebih gemilang daripada di waktu yang telah lampau.
Mata pencaharian yang masih erat pada genggamannya, tanah,
air, udara yang teristimewa kaya-pemurah yang bagaimanapun juga hebatnya
perasaan dan penindasan asing dan bangsa sendiri, di zaman Hindu itu, masih
bisa menjamin kehidupan, walaupun sederhana sekali.
Seperti halnya dengan kekayaan dan kemurahan alam yang tiada
memaksakan umat manusianya berebut-rebutan dan bunuh membunuh untuk mendapatkan
nafkah, para arca dari bermacam-macam Mahadewa pun bisa duduk dalam satu gedung
berhala.
Berbeda dengan keadaan di negara asalnya sendiri maka di
Jawa-Swarga-Loka, kita dapat menyaksikan Arca Perusak, Shiwa, berdekatan dengan
Arca Pembangun, Wishnu, sambil bersenyum-senyuman.
6. DI SEKITAR NABI MUSA.
Marilah kita sekarang melayangkan pikiran kita ke arah
sungai Nil di Mesir, ketika di bawah pemerintahan Maharaja Fir’aun.
Di sekitar bagian bumi sanalah kita mendapatkan bukti
sejarah yang banyak sekali dan paling tua sekali di antara bukti sejarah yang
sudah diperoleh di bagian bumi mana pun juga.
Egypt alias Mesir di zaman ribuan tahun yang lampau itu
mengenal bermacam-macam dewa pula. Di antara berbagai Dewa itu maka Dewa Rah,
yakni Dewa Matahari yang mendapatkan kehormatan dan pujaan sebagai Mahadewa.
Maka menurut kepercayaan bangsa asli di Mesir itu Dewa
Rah-lah yang memfirmankan bumi, langit, sungai Nil dan gurun pasir beserta
hewan dan manusia. Semua itu terbentuk sekaligus dengan mengucapkan sepatah
kata saja, yakni Ptah. Jadi berlainan dengan pandangan Kant, Laplace atau Darwin,
maka menurut kepercayaan di Mesir dahulu kala itu dunia dengan isinya ini
menjelma dalam kurang sekejap mata lamanya dari dunia kosong, oleh ucapan Ptah.
Demikian pengertian Mahakuasa, yang sanggup menciptakan Yang
Ada, atau benda dari Yang Tak Ada atau kosong, sudah tersebar pada masa
hidupnya Nabi Musa.
Pengertian Mahakuasa ini pun sudah termasuk ke dalam
kepercayaan bangsa Yahudi, yang pada zaman Fir’aun itu adalah bangsa budak
terhina, berhijrah di kerajaan Fir’aun.
Karena tiada tahan lagi menderita pemerasan, penindasan
serta penghinaan sebagai bangsa asing di tengah-tengah bangsa Mesir asli itu,
maka suatu waktu bangsa Yahudi itu memutuskan, hendak pindah ke “Tanah susu dan
madu” yang menurut kepercayaan yahudi sudah dijanjikan oleh Tuhan kepada bangsa
Yahudi itu. Tanah makmur penuh dengan susu dan madu yang dimaksudkan itu, ialah
tanah Palestina yang sekarang menjadi tanah-rebutan antara Yahudi dan Arab itu.
Buat bangsa budak, yang penghidupannya bergembala dalam
suasana kemelaratan dan penghinaan terus menerus, maka satu daerah bumi dimana
“susu dan madu berlimpahan” serta kemerdekaan penuh dijanjikan kepadanya,
tentulah satu besi berani yang mengandung kekuatan penarik yang sangat besar.
Orang yang memimpin pemindahan besar-besaran (exodus) ke Palestina
itu yang dilakukan secara ilegal dan rahasia sekali, dalam pengembaraan yang
dijalankan dengan mengandung bahaya kemusnahan sebagai bangsa, karena dikejar
oleh tentara Maharaja Fir’aun yang bersenjata lengkap patutlah disebut seorang
pemimpin dalam arti kata sesungguhnya. Bangsa Yahudi akan musnah atau akan
terpaksa kembali ke bawah penindasan Fir’aun, kalau yang memimpinnya bukanlah
seorang pemimpin seperti Nabi Musa.
Walaupun sudah berumur tinggi sekali, menghadapi pelbagai
bahaya yang oleh orang biasa dianggap suatu yang mustahil akan dapat diatasi
oleh jenis manusia; memimpin rombongan yang terdiri dari orang tua-muda, bayi,
lelaki, perempuan, sehat dan sakit yang sering bercecok satu sama lainnya
lantaran 1001 macam kesulitan; membimbing rombongan yang sebagian terdiri dari
mereka yang sudah patah hati dan mau kembali menyerah kepada Maharaja Fir’aun,
yang dengan tentara berkudanya sudah dekat mengejar di belakang, dalam keadaan
demikian cuma seorang pemimpin yang lahir sekali dalam 1001 tahun pula yang
dapat terus memegang pimpinannya.
Pengetahuan yang luar biasa tentang sifatnya manusia serta
keadaan alam sekitarnya, yang dimiliki oleh Nabi Musa. Pandangan tepat tentang
kejadian yang mungkin terjadi di hari depan. Kebijaksanaan, kesabaran dan kecerdikan
Nabi Musa melayani rombongan manusia yang terdiri dari pelbagai umur, pelbagai
pengalaman dan keinginan, serta akhirnya tetapi tidak kurang artinya,
kepercayaan yang tidak dapat dilunturkan oleh bahaya dan pertolongan yang
dijanjikan oleh Jehovah kepada leluhur bangsa Yahudi dalam menuju ke “Tanah
susu dan madu” yang dijanjikan itu. Semua syarat penting bagi seorang pemimpin
dalam keadaan demikian yang terdapat pada Nabi Musa dapat mengatasi segala
kesulitan, dan membawa bangsanya ke tempat yang aman dan bahagia, dengan tidak
berkompromi sedikit pun dengan musuhnya yang 1001 kali lebih kuat.
Pimpinan ulung dari satu orang yang cuma mempunyai satu
tujuan dan satu tekad, sebagaimana menurut kepercayaan Yahudi, Nabi Musa dalam
keadaan kesusahan dan bahaya sering sendiri saja menjumpai Tuhan Yang Maha-Esa,
pimpinan satu orang, yang berkeyakinan atas adanya satu Tuhan itu, …pimpinan
yang membawa bangsa Yahudi ke zaman kejayaan itu, memperdalam kepercayaan
Yahudi kepada keesaan dan kemahakuasaan Tuhan itu lebih daripada yang
sudah-sudah. Bagi bangsa Yahudi di zaman itu, benar-benar the proof of the
pudding is the eating (bukti enak atau tidaknya kue itu baru terbukti setelah
dimakan).
Dengan sempurna jayanya pimpinan satu orang atau beberapa
suku Yahudi, yang dahulu kala juga mengenal beberapa dewa, menurut sukunya,
maka sempurna jayalah pula kepercayaan monotheisme, percaya kepada ke-esaan
Tuhan di antara semua suku bangsa Yahudi.
7. DI SEKITAR NABI ISA.
Inkonsistensi, kontradiksi logika, pertentangan bagian
dengan bagian, pertentangan dalam hal tarikh, pertentangan kejadian dengan
hukum alam dan common sense, yang ditemukan oleh para ahli dan saya sendiri
dalam kedua kitab suci, yakni kitab Injil Tua dan Injil Baru, tidak menjadi
pusat perhatian saya di sini. Saya pikir dalam tingkat pengetahuan teknik dan
ilmu, bukti di masa Nabi Isa itu, semua kegaiban alam dan kesaktian manusia
seperti tertulis dalam kitab sudah pada tempat dan temponya. Yang menjadi pusat
perhatian saya di sini ialah moral (kesusilaan) dan ketuhanan yang termaktub
dalam kitab suci itu. Pertentangan arti dalam hal susila dan ketuhanan, yang
saya rasa terdapat dalam kitab suci itupun dapat disesuaikan dengan pikiran
kita, kalau kita berpendirian seperti ahli, bahwa kitab suci tertulis lama
sesudahnya Nabi Isa wafat dan banyak mengandung faham yang sudah diucapkan oleh
para pujangga Yunani lama sebelum Nabi Isa lahir ke dunia.
Bagaimanakah bisa dipersatukan dalil pokok dari agama
Kristen yang berbunyi : “Kalau pipi kirimu dipukul orang berikanlah pipi
kananmu kepadanya buat dipukul pula” dengan ucapan Nabi Isa yang berbunyi :
“Saya tidak datang untuk berdamai, melainkan untuk berperang”.
Itu dalam hal kesusilaan. Dalam hal ketuhanan pun bagaimana
pula bisa menyesuaikan Yang Maha-Esa, yang diutamakan Injil-Lama dan oleh nabi
seperti kita bentangkan di atas dengan Trinitas-nya, dengan Trimurti-nya,
karena Katholik, ialah kesatuan Yang Tiga, kesatuan Bapa (Tuhan), Anak (Yesus)
dan Roh Suci.
Buat saya sendiri semuanya itu sudah semestinya, kalau
diseluk-belukkan dengan tempo dan tempat. Dengan demikian maka kuranglah pula
penting buat saya apakah pernah hidup seorang Yahudi, yang menamai dirinya Anak
Tuhan. Buat saya sudahlah cukup jelas pelajaran yang diberikan oleh agama
Kristen dan Ideal Keluruhan Jiwa yang dijunjungnya, seperti tergambar pada Nabi
Isa. Sudah pula memuaskan pikiran saya, kalau ada para ahli sejarah, yang
mendapatkan kesimpulan bahwa di mana bangsa Yahudi di bawah penjajahan bangsa
Romawi, maka bangkitlah soerang pemberontak dari daerah Galilea, bernama Yesus
dan terang-terangan membela kaum Murba menghadapi kaum pendeta (Rabbi) Yahudi,
yang menjadi kaki tangannya kekuasaan Romawi di masa itu. Pemimpin pemberontak
dari Galilea itu menamai dirinya raja Yahudi, Mahdi, Yezus Nazarenus Rex
Judiorum!
Jika dipandang dari sudut ini, maka hilanglah sudah semua
pertentangan di dalam pikiran kita. Nabi Isa melimpahkan segala kasih sayang serta
mengorbankan jiwanya terhadap kaum Murba, yang memang melarat hidupnya di masa
itu dan memang bersemangat pemberontak, terutama di daerah Galilea. Kalau dia
menganjurkan sikap bermaaf-maafan menganjurkan sikap “pipi kiri dipukul,
berikanlah pipi kanan” maka sikap itu terutama dimaksudkan bagi segenap Murba.
Terhadap kaum pendeta dengan jelas Nabi Isa memajukan sikap menentang, yakni
kalau perlu dengan senjata di tangan menghancurkan kaum Rabbi, penindas bangsa
Yahudi dan kaki tangannya penjajah Romawi di masa itu.
Tentulah ada tafsiran lain yang rasional tentang dua susila
yang bertentangan itu. Salah satunya dikatakan bahwa kaum Murba Yahudi di masa
itu tidak berdaya pula menghadapi kaum Rabbi, penindas dan pemeras yang
langsung berurusan dengan Murba Yahudi.
Jadi menurut tafsiran itu sikap pasif, sikap menerima yang
dianjurkan oleh nabi Isa itu berasal dari perasaan tidak berdaya menghadapi
kekuasaan Romawi serta para Pendeta (Rabbi) kaki-tangannya, “inlanders-alatnya”
kekuasaan Romawi itu.
Bagi saya tafsiran yang belakangan ini memang, mengandung
alasan tetapi kurang sempurna. Bangsa Yahudi, terutama kaum Murba-nya,
dibelakang kota seperti di Yerussalem dan teristimewa pula di daerah Galilea,
daerah asal Nabi Isa sendiri, jauh daripada sikap pasif atau nrimo.
Pemberontakan besar dan kecil untuk melepaskan diri dari pemerasan dan
penindasan Romawi dengan kaki tangannya acap kali terjadi. Jadi cocok pula
dengan Nabi Isa sendiri ketika berhadapan dengan para Rabbi, para
inlanders-alat itu, seperti di atas tadi.
Di masa “hidupnya” Nabi Isa sendiri tak tampak perbedaan
dengan Tuhan Nabi Musa. Tuhan di masa Nabi Isa itu tetap Yang Maha Esa.
Filsafat ketuhanan, bahwa 1+1+1=3 itu timbul dan tumbuh lama setelah Nabi Isa
meninggalkan dunia fana. Tentulah banyak persoalan duniawi yang memungkinkan
timbul dan tumbuhnya 3=1 itu. Dibelakang harinya di masa Revolusi Perancis
banyak pula anasir masyarakat manusia ini yang menumbangkan filsafat 3=1 itu!
Tetapi bagi saya filsafat semacam ini tidak menjadi soal pokok.
8. DI SEKITAR NABI MUHAMMAD.
Yang lebih menarik hati saya ialah ketika 600 tahun lebih
setelah Nabi Isa, maka kembalilah 1=1 itu. Bersamaan dengan itu kembalilah pula
susila yang biasa, yang praktis, bagi masyarakat manusia, yakni yang salah
dihukum setimpal dengan kesalahannya, dimaafkan salah seorang yang mengakui
kesalahannya dan mengubah tingkah lakunya di hari depan dengan sungguh dan
jujur. Yang mengembalikan itu ialah Muhammad bin Abdullah, seorang Arab dari
suku Qurays. Karena bangsa Arab dan Yahudi tiada berapa bedanya menurut ilmu
kebangsaan, dan kedua bangsa itu disebutkan bangsa Semit, maka sebetulnya
ketiga nabi besar itu, yakni Nabi Musa, Isa dan Muhammad itu sebangsa dan
seketurunan pula. Dalam kitab Injil sendiri disebutkan, bahwa bangsa Yahudi dan
Arab turun temurun dari Nabi Ibrahim.
Jika kita melayangkan pandangan kita pada keseluruhan muka
bumi yang kita kenal, pada permulaan abad ketujuh itu, maka yang kelihatan pada
kita ialah cuma keruntuhan dalam hal politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.
Sebaik-baiknya kita hanya dapat menyaksikan stagnasi, malaise, madegnya,
tergenang-mogoknya masyarakat dalam semua hal.
Romawi Barat dengan jajahannya di Eropa Barat dan Utara, di
Afrika Utara dan Asia Barat sedang menderita keruntuhan akibat desakan dan
serangan pelbagai bangsa Jermania dari Utara. Romawi Timur hanya dapat melayani
bangsa baru yang perkasa (Bulgaria dan lain-lain) yang menyerbu ke dalam
daerahnya itu, sebagai tamu yang terpaksa diterima dan dijadikan anggota
keluarga sendiri. Dalam hal kebudayaan, Romawi Timur hanya sanggup
memamah-mamah pengetahuan yang dipusakakan oleh Yunani dan Romawi almarhum.
Mesir, Syria, Persia, Judea dan lain-lain negara bekas
penguasa di sekitar Semenanjung Arabia, semuanya berada dalam keadaan hidup
enggan mati tak mau. Sedangkan semenanjung Arabia yang mungkin sudah mempunyai
cacah jiwa, lima juta, yang boleh dianggap tinggi di masa itu; sudah mencapai
kemakmuran, karena perdagangan dengan negara luar, dengan perantaraan para
saudagar yang pintar, berani dan bersandar pada kalifah yang kuat bersenjata,
tersusun sebagai laskar teristimewa pula, belumlah pernah Semenanjung Arabia
menderita penindasan dari bangsa asing. Dengan demikian maka bangsa Arab masih
bersemangat tegak gagah perkasa dan percaya atas kekuatan diri sendiri. Cuma
antar suku masih bertentangan dan perang memerangi. Sejajah dengan pertentangan
dalam pergaulan itu, maka kepercayaan pun belumlah lagi bersatu, melainkan
terpecah belah dalam pelbagai kepercayaan, yang setelah Nabi Muhammad dinamai Kafir-Jahiliyah.
Mempersatukan pelbagai kepercayaan Jahiliyah yang tergambar
pada pelbagai patung di masa itu; mempersatukan ideologi sebagai sintesis dari
pertentangan pelbagai ideologi yang ada di masa itu, inilah usaha yang pertama
sekali dan terutama sekali dilakukan oleh Nabi Muhammad menjelang persatuan
bangsa, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan.
Persatuan itu tidak terdapat pada satu maha-patung, di
antara beberapa patung yang ada di Arabia dan berpusat di Mekkah di masa itu
melainkan pada ke-Esaan Tuhan dan Kemahakuasaan-Nya, yang tiada lagi takluk
kepada tempat dan tempo, seperti patung dimanapun juga, yang dibikin oleh
tangan manusia dari benda apapun juga di dunia ini.
Buta huruf bukanlah berarti buta kecerdasan, buta keberanian
ataupun buta kejujuran. Sebaliknya pula, pendidikan pun tidaklah menjamin
keberanian, keuletan, kejujuran, kecakapan memimpin, ketangkasan memandang ke
hari depan dan mengambil sesuatu putusan dengan cepat serta tepat.
(resourcefulness)
Sungguh banyak kebenaran yang terkandung dalam pepatah
Indonesia “jauh berjalan banyak dilihat, lama hidup banyak dirasai”. Perjalanan
yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdullah ke negara-negara di sekitar Arab,
bersama-sama dengan kafilah memberikan semua pengalaman dan pengetahuan yang cukup
buat seorang pemimpin, jenderal, pujangga dan Nabi di hari depan, saat
Semenanjung Arabia dan sekitarnya kelak akan sangat membutuhkan pemimpin
semacam itu.
Nafsu ingin tahu, yang meluap dalam otak pemuda Muhammad bin
Abdullah, yang ingin mengetahui asal-usul semua yang ada di alam dan masyarakat
itu dapat dipenuhi oleh masyarakat di sekitar Arabia, yang sudah mencapai
kebudayaan tinggi di masa lampau. Pendeta dan Rabbi dapat memberikan petunjuk
ataupun cara berpikir beserta bahan berpikir buat menjawab semua soal yang
timbul dalam otak yang ingin tahu dalam segala-galanya.
Bumi dan langit Semenanjung Arabia yang memberi kesan yang
tidak dapat dilupakan oleh seorang yang mengamatinya akan menyempurnakan
pengetahuan yang diperoleh dengan percakapan dalam pulang pergi dari Mekah ke
luar negeri itu. Pengalaman yang diperoleh ketika mengikuti kafilah, yang acap
kali menghadapi pelbagai musuh telah mendidik, melatih semua sifat pemimpin
yang terpendam dalam jiwa Muhammad bin Abdullah.
Terlatih tergembleng dalam “University of Life” (Universitas
hidup) itu, maka apa bila Semenanjung Arabia membutuhkan persatuan dalam
segala-galanya maka tampillah Muhammad bin Abdullah ke depan masyarakatnya,
mengambil pimpinan sebagai propagandis, jenderal, pembesar negara, pemimpin
masyarakat dan Nabi.
Tempo dan tempat amat sesuai dengan keesaan dan
kemahakuasaan pada permulaan abad ketujuh itu. Perhatikanlah sekali lagi
Semenanjung Arabia dan sekitarnya di masa itu.
Masyarakat di Semenanjung Arabia sangat membutuhkan kesatuan
dalam pimpinan, yang sanggup menjalankan kekuasaannya, di atas pelbagai
kekuasaan dari pelbagai suku. Lagi pula masyarakat itu memerlukan adanya satu
kaum, yakni kaum Muslimin, yang berdiri di atas segala bangsa di Dunia. Semua
keperluan itu sungguh dapat dipenuhi oleh kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa dan Yang Maha Kuasa, yang menguasai serba sekalian alam dan manusia,
bidadari dan malaikatnya.
Semangat Islam, yakni semangat menyerah kepada Kodrat Tuhan,
semangat menerima putusan Tuhan itu dengan suka cita, semangat Islam itu
sebagai pusat, jiwa dan filsafat serta prakteknya suatu kepercayaan, memang
belum lagi dikenal dalam sejarah manusia. Agama baru yang bertentangan dengan
kepercayaan pelbagai suku Arabia itu tidaklah akan dibatalkan ataupun disembunyikan
oleh Nabi Muhammad. Apabila dalam suatu hari keluarga Nabi Muhammad meminta
dalam satu rapat, supaya propaganda Islam itu dihentikan saja, karena sangat
menimbulkan pertengkaran, dan sangat mengancam jiwa Nabi Muhammad, maka Nabi
Muhammad menjawab : Bahwa walaupun matahari di kiri dan bulan di kanan melarang
yang sedemikian, larangan itu tak akan diindahkan.
Syahdan, dengan semangat bersatu padu di antara kaum
Muslimin yang kian hari kian bertambah banyak juga anggotanya; dengan semangat
bertawakal menyerahkan jiwa raganya kepada Yang Maha Kuasa, dengan semangat tak
mengenal damai dengan kepercayaan Kafir Jahiliyah, maka dibawah pimpinan Nabi
Muhammad akhirnya setelah kira-kira dua puluh tahun berjalan propaganda Islam,
persiapan dan pertempuran sengit berulang-ulang, maka tercapailah persatuan
seluruh Semenanjung Arabia.
Dengan persatuan yang kuat-kokoh di antara semua suku Arab,
dengan semangat pantang menyerah, Islam, zonder (tanpa) janji kepada takdir
Tuhan, seimbang dengan semangat menyerang zonder mengenal damai terhadap negara
dan rakyat di sekitar Arabia, untuk memperoleh kemenangan lahir dan batin, maka
dalam kurang lebih 100 tahun dapatlah bangsa Arab menguasai hampir seluruh Laut
tengah di Asia, Afrika dan Eropa.
Seharusnya lebih daripada penghargaan resmi, yang diberikan
oleh dunia Kristen kepada Arab Islam, di Abad Pertengahan sampai sekarang pun,
jasa Arab-Islam, tentang filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, sesungguhnya
belum mendapatkan penghargaan yang sepatutnya!
Dengan bangsa Arab, maka selesailah sudah circle edaran
dialektika! Dengan Nabi Musa majulah ke depan filsafat ketuhanan 1=1 sebagai
tesis. Setelah Nabi Isa, maka timbullah tentangan berupa 3=1, sebagai
anti-tesis. Dengan Nabi Muhammad terbentuklah sintesis, yakni kembalinya filsafat
1=1 dengan lebih sempurna dan lebih kaya isinya daripada semula.
Sedikit saja filsafat Ketuhanan Islam yang tercantum dalam
takdir, kemauan Tuhan, yang tak dapat dielakkan itu menoleh ke dunia lama,
yakni masyarakat Yunani, maka filsafat Islam mendapatkan bahan serta petunjuk
yang berharga. Filsafat Islam dapat mengangkat kembali filsafat Yunani yang
ratusan tahun terpendam di bawah haribaan kerajaan Romawi. Filsafat Islam dapat
memisahkan padi yang berisi dari padi yang hampa, menanam yang berisi sampai
tumbuhnya di Abad Pertengahan.
Dengan demikian sepatutnyalah kita menoleh ratusan tahun ke
belakang masyarakat Islam yang jaya-mulia-makmur di Spanyol, Mesir, dan Bagdad
dan kembali sebentar menoleh ke masyarakat Yunani asli.
9. YUNANI ASLI.
Bagi kebudayaan Eropa-Amerika modern, maka kebudayaan Yunani
asli masih dianggap Kebudayaan Ibu. Plato, sebagai ahli filsafat, masih menjadi
sumber bagi filsafat Idealisme. Filsafat Heraklitos masih dianggap uratnya
materialisme dan dialektika. Aristoteles masih dianggap moyang pelbagai ahli
ilmu pengetahuan empirik (scientis dalam sudut pandang positivisme) modern.
Demikianlah bermacam cabang kebudayaan modern dapat dicari uratnya pada
Kebudayaan Yunani asli. Tidaklah mengherankan, kalau bahasa Yunani asli itu
sampai sekarang masih perlu diajarkan kepada mahasiswa yang harus menyelami
semua ilmu modern itu lebih dengan dalam, sampai keuratnya.
10. AGAMA, FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Kalau sekarang kita memusatkan perhatian kepada dunia Barat,
yakni Eropa dan Amerika, maka tampaklah di mata kita tiga garis pokok
kebudayaan. Semenjak 2500 tahun sejarah Dunia Barat, yakni dari kurang lebih
tahun 500 SM sampai sekarang tiga garis pokok itu adalah garis agama, garis
filsafat dan garis ilmu pengetahuan empirik. Semua cabang kebudayaan yang lain
termasuk ke dalam atau bersandar kepada tiga garis pokok itu.
Syahdan, tiga garis pokok dalam sejarah dunia barat yang
2500 tahun itu, banyak sekali mengalami kemajuan, kemunduran serta pertukaran
nilai dan kedudukan.
Dalam garis besarnya, maka dari tahun 500 SM sampai tahun
1500 M, agama memperoleh nilai kedudukan tertinggi. Di masa itu maka ilmu
filsafat cuma mengabdi kepada agama serta ilmu pengetahuan empirik boleh
dianggap melalaikan otak dan pikiran belaka. Saat itu meliputi zaman Yunani,
Romawi dan Abad Pertengahan, yang dikuasai oleh masyarakat Islam dan masyarkaat
Nasrani. Pada zaman Yunani dan Romawi ahli filsafat sudah mengambil bagian
terkemuka dalam masyarakat dan negara.
Boleh dikatakan pula, dalam garis besarnya maka dari tahun
1500 sampai 1850 masehi, ilmu filsafatlah yang memperoleh nilai dan kedudukan
yang tertinggi dalam masyarakat Barat tadi. Di masa ini maka mulailah agama
terdesak ke belakang. Bahkan pada masa Revolusi Perancis agama mendapat perlawanan
yang sekeras-kerasnya.
Sedangkan ilmu pengetahuan empirik makin mendesak dan sudah
menjadi sandaran utama bagi ilmu filsafat. Pada saat itu, bukan lagi kaum
pendeta yang memegang pimpinan masyarakat dan negara, melainkan mereka yang
mempunyai pengetahuan filsafat dan ilmu pengetahuan empirik, ilmu nyata.
Akhirnya kira-kira dari tahun 1850 sampai sekarang, maka
ilmu pengetahuan empirik (science)-lah yang memperoleh nilai dan kedudukan
tertinggi dalam masyarakat serta negara Eropa dan Amerika modern itu. Agama
yang di masa Revolusi Perancis mendapat tentangan yang sekeras-kerasnya bisa
bangun kembali, tetapi tidak lagi mendapatkan nilai dan kedudukan seperti
sebelum Revolusi Perancis.
Pada pertengahan abad ke-19 ilmu filsafat dalam arti aslinya
mulai turun dari singgasananya seperti terdapat di zaman sebelumnya. Satu
golongan ahli filsafat, yakni filsafat materialisme dialektis, di bawah
pimpinan Marx dan Engels memproklamirkan : “Hari Akhir Filsafat”. Semenjak itu
ilmu kemasyarakatan pun sudah didasarkan atas hukum ilmu pengetahuan empirik.
Ilmu pengetahuan empirik dalam pelbagai pokok, cabang dan ranting sudah
mengambil nilai serat kedudukan yang tertinggi sampai sekarang.
Ahli ilmu pengetahuan empirik memakai perkataan filsfat
tetapi artinya berlainan dari semula. Artinya sekarang, terutama ialah weaving
up general principles (penyusupan prinsip umum), seperti dikatakan Francis
Bacon, salah seorang ahli ilmu pengetahuan empirik besar.
Jelas kiranya bahwa dalam tiga zaman yang kita kemukakan
buat Dunia Barat seperti tersebut di atas salaing beralihan nilai dan kedudukan
yang diambil oleh tiga garis pokok kebudayan itu: agama, filsafat, dan ilmu
pengetahuan empirik. Adapun peralihan ketiga garis pokok yang sejajar pula
dengan peralihan kedudukan yang dialami oleh para penguasa masyarakat dan
negara (Social-political regime) adalah berurat pada peralihan yang dialami
oleh sistem produksi yang berdasarkan teknik yang ada.
11. PERALIHAN SISTEM PRODUKSI.
Pada masa pendeta dan ningrat memegang tampuk pimpinan
masyarakat dan negara baik di Yunani, Romawi maupun di Eropa Barat di zaman
pertengahan (kurang lebih tahun 1500 sampai 1850 M), produksi sudah lebih
dipusatkan pada manufaktur. Di akhir masa itu, pengoperasian pabrik sudah mulai
dijalankan dengan mesin uap.
Pada masa borjuis (yang dibantu atau ditentang oleh kaum
sosialis) di mana kaum borjuis memegang tampuk pimpinan masyarakat dan negara
di Eropa-Barat dan Amerika, (berkisar sejak tahun 1850 sampai 1948), produksi
sudah dikuasai finance capital (modal bank) dan monopoli. Tekonologi maju
cepat, dari tenaga uap sampai tenaga listrik, minyak dan sekarang tenaga atom.
12. SOAL AGAMA.
Adapun soal agama, kita semua kurang lebih sudah
mengetahuinya. Soal itu berpusat kepada : Dari mana asalnya dan bagaimana
akhirnya Bumi, Bintang, dan langit pendeknya alam raya ini?
Dari mana asal dan bagaimana akhirnya manusia? Tiga agama
ketuhanan, yakni agama Yahudi, Nasrani, dan Islam mendasarkan semua asal dan
akhir itu kepada kodrat Tuhan. Alam raya itu sekaligus difirmankan oleh Tuhan
Yang Maha Kuasa. Manusia adalah ciptaan Tuhan. Nasib manusia oleh tiga agama
diserahkan kepada kemauan Tuhan. Nasib itu dipertimbangkan pula oleh amal dan
ibadahnya. Amal dan ibadahnya itulah setelah hari kiamat yang akan ikut
menentukan, apakah pahala atau hukuman yang akan diterimanya di akhirat. Yang
beribadah dan bernasib baik akan diampuni dosanya dan masuk surga. Yang
bersalah atau bernasib malang akan dimasukkan ke dalam neraka. Ringkasnya
ketiga agama itu tidak saja menetapkan awal dan akhir manusia tetapi juga
menetapkan jalan buat mendapatkan surga dan menghindarkan neraka.
Agama Hindu dan Budha mempunyai pengertian lain tentang awal
dan akhir manusia itu. Budha, Sidharta Gautama, mengemukakan lima jalan untuk
mendapatkan surga. Berbeda daripada tiga agama tersebut diatas, agama Budha
lebih menggantungkan akhir manusia itu kepada tanggung jawab diri sendiri dan
perbuatan diri sendiri.
Semua itu sudah kita ketahui. Mana yang betul tentulah
terserah kepada masing-masing penganut agama itu sendiri. Yang benar menurut
satu belum tentu benar menurut yang lain. Bagi saya agama itu tetap “eine
Privatsache” atau kepercayaan masing-masing orang. Dengan majunya ilmu
filsafat, logika, dan matematika maka ahli agama pun memakai ilmu ini buat menjelaskan
sendi agamanya. Tetapi, yang jelas bagi penganut satu agama belum tentu jelas
bagi penganut agama lain. Agama tinggal tetap sesuatu kepercayaan bagi
masing-masing orang.
13. FILSAFAT
Seperti soal agama, maka soal filsafat juga banyak tergantung
kepada sudut pandangnya. Tetapi bagi kami sudut pandang yang bisa berhasil
memuaskan dan yang tepat, yang bsia memberi penyelesaian ialah soal yang sudah
dimajukan oleh Fredrich Engels pada abad lampau. Menurut Engels, ahli filsafat
bisa dibagi dua golongan, yakni golongan materialis dan golongan idealis. Di
antara dua golongan besar yang merupakan dua-kutub yang saling bertentangan itu
terdapatlah pelbagai golongan, yang kalau dikupas lebih dalam sebenarnya
termasuk ke dalam salah satu golongan, materialis atau idealis. Ahli-ahli
filsafat itu terpecah dua sebagai akibat pertentangan jawaban yang diberikan
oleh mereka atas soal filsafat, yang berbunyi : “Manakah yang asal (primus) dan
manakah yang turunan (derivative) diantara benda (matter) dan paham (idea)? Di
alam raya terdapat soal benda dan kodrat yang menggerakkan benda itu. Di dalam
jenis hewan soal itu berubah menjadi soal badan dan jiwa (nyawa-naluri). Di
dalam jenis manusia, soal itu berubah-bertukar menjadi soal jasmani dan
rohani-pikiran. Ahli filsafat bertanya, manakah yang asal, benda atau kodrat,
badan atau jiwa, dan jasmani atau rohani?
14. KAUM MATERIALIS DAN IDEALIS
Kaum materialis menjawab bahwa benda dan jasmani itulah yang
asal, yang pokok : “Tak ada kodrat zonder benda. Manusia haruslah dapat makan,
supaya dapat berpikir”. Syahdan sebelum manusia itu ada di bumi ini, maka bumi
dan bintang itu sudah ada, kata kaum filsafat materialis.
Menurut kaum idealis, maka ide, kodrat atau rohani itulah
yang asal (primus) dan benda jasmani itulah yang turunan (derivative). Kata
idealis ekstrem, maka yang ada di alam raya ini cuma ide saja, yakni ide yang
ada dalam otaknya ahli filsafat itu sendiri. Memang paham ini ada hubungannya
dengan kekuasaan mahadewa Rah, yang mengisi dunia-kosong pada awal dunia ini
dengan binatang, bumi, langit, sungai, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia
dalam sekejap mata setelah kata “Ptah” difirmankan (lihat Madilog)
Bagaimanapun juga perbedaan paham itu, teranglah sudah bahwa
ejekan yang ditujukan oleh kaum idealis kepada kaum materialis, bahwa kaum
materialis cuma memikirkan makan-minum serta kesenangan hidup saja, tidaklah
pada tempatnya sama sekali.
15. AHLI FILSAFAT YUNANI
Bahwasanya setelah para ahli pikir Yunani mulai melepaskan
diri dari tali pusat kepercayaan yang bersandar kepada dogma semata-mata, dan
mulai kritis menghadapi alam raya kita ini, kita mengenal juga jawab yang
diberikan oleh mereka itu. Mereka sampai kepada empat anasir asli, yakni tanah,
air, udara dan api. Terkurung dalam rohaninya sendiri sebagai penyelidik alam
raya ini serta terganggu oleh benda dan gerakan benda di luar pikirannya
sendiri, maka Zeno, idealis Yunani, mengambil kesimpulan bahwa: “Gerakan
(benda) itu cuma bayangan panca indera manusia saja (illusion of the
sense)."
Pemikir ulung masyhur dari bangsa Yunani juga, yakni Plato
setelah memakai cara berpikir yang memisahkan benda dengan kodrat, serta
memisahkan jasmani dengan rohani, mendapat kesimpulan bahwa yang asal itu ialah
ide-mutlak (absolute idea). Dengan cara berpikir yang abstrak, pilah-memilah
(analisis), dia sampai kepada Dunia Logos, Dunia Roh. Banyak persamaan Logos
Plato itu dengan Atma-nya Hindu.
Sebaliknya, seorang pemikir tandingannya yang dengan dua
kakinya bersandar atas benda yang nyata, serta gerakan benda, yakni Heraklitos,
mengucapkan kesimpulan yang sampai sekarang masih besar artinya bagi kita,
yaitu :”Sesuatu itu ada dan tak ada karena semua itu cair, luntur, senantiasa
berubah, selalu timbul dan lenyap”. Heraklitos mengakui adanya benda, bahkan
memajukan hipotesis molekul, yang lebih dari dua ribu tahun kemudian baru
dibenarkan oleh ilmu pengetahuan empirik. Lagi pula dalam pertentangannya
dengan Zeno, Heraklitos mengemukakan bahwa gerakan, sebagai sifat benda dan
yang menyebabkan benda, senantiasa mengalami perubahan (Nich ist, alles wird)
menurut hukum gerakan, yakni Hukum Dialektika.
Di antara kaum di samping kedua golongan ahli filsfaat
tersebut hidup raksasa pemikir Yunani, yakni Aristoteles. Sebagai seorang tabib
yang senantiasa mengenal adanya benda dan jiwa, sebagai bapak dari beberapa
ilmu, terutama ilmu hayat (biologi), maka Aristoteles memusatkan perhatiannya
kepada suatu susunan, suatu sistem. Aristoteles lebih daripada Zeno dan Plato
dalam memperhatikan benda. Tetapi hukum berpikir yang diutamakannya ialah hukum
logika dan hukum dialektika yang dikemukakannya tidak sama dengan hukum
dialektika yang dipakai oleh Heraklitos dan Demokritos.
16. AHLI FILSAFAT ABAD PERTENGAHAN
Besar sekali pengaruh para ahli filsafat Yunani pada
umumnya, serta pengaruh Aristoteles dan Plato khususnya terhadap masyarakat di
zaman pertengahan, yakni masyarakat Islam dan Nasrani. Dunia filsafat Barat
memuncakkan pujiannya pada Ibnu Rusyd, yang terkenal sebagai Averoes, atau
Ariestoteles-nya bangsa Arab. Dan memang bendera filsafat Ariestoteles yang
sudah terbenam ratusan tahun itu diangkat kembali oleh Ibnu Rusyd, diperbarui
dan diserahkannya sebagai warisan masyarakat Yunani. Plato pun banyak mendapat
penghargaan di masyarakat Islam dan Nasrani di zaman pertengahan. Pada kedua
masyarakat itu kita kurang mendengar nama Heraklitos dan Demokritos. Tetapi
mungkin pengaruhnya juga cukup besar atau lebih besar daripada keterangan
sejarah yang diwariskan kepada kita.
Masyarakat Islam di Abad Pertengahan mengenal satu golongan
pemikir yang dinamai Mu’tazilah. Mereka terdapat di kota-kota besar kerajaan
Islam dan dianggap ilegal sebagai pemberontak, sebagai anarkis dan ateis.
Keterangan lebih lanjut tentang paham dan kehidupan mereka tidaklah sampai
kepada kita, selain daripada bahwa mereka itu dianggap murtad oleh agama resmi.
Ibnu Rusyd sendiri, kalau saya tidak salah adalah seorang Mu’tazilah dan
kebebasan pahamnya itu sangat ditakuti oleh para pendeta di Eropa, sehingga
para murid Eropa (Nasrani) yang kembali dari Spanyol Islam ke Eropa itu sangat
diawasi gerak-geriknya. Tetapi tidak mengherankan kalau mereka kaum Mu’tazilah
adalah Murba-Kota yang berpaham revolusioner dan penganut materialisme
dialektis walaupun masih serba sederhana (rudimentary).
Tidaklah mengherankan kalau di Eropa Barat di zaman
pertengahan itu, kita sedikit sekali mendengar nama Heraklitos dan lebih banyak
mendengar nama Plato dan Ariestoteles.
Hidup amat sukar sekali bagi kaum budak-serf di zaman
pertengahan Eropa Barat itu. Hawa yang dingin, kabut yang tebal, alat yang
serba sederhana, ringkasnya kesengsaraan hidup lantaran pemerasan dan tindasan
yang kejam atas budak-serf oleh kaum ningrat dan pendeta, tidaklah memberikan
kesempatan mereka memikirkan soal filsafat. Soal ini diserahkan kepada para
pendeta yang tinggal di pekarangan gereja yang besar, dikelilingi oleh pohon
dan dilayani oleh rakyat budak disekitarnya. Terpisah dari masyarakat pekerja
seperti Logosnya Plato, terpisah dari benda yang kasar fana itu, maka para
rahib dan pendeta mendapat kesempatan penuh untuk menguji filsafat Plato dan
Ariestoteles. Logos dan rohani mutlak Plato cocok benar dengan sifatnya God
(Tuhan) yang berada lepas dari segala-galanya dan berada di atas segala itu.
Paham mereka, para rahib dan pendeta, merupakan pelaksanaan Logos dan God itu
di duniawi ini.
Klasifikasi Ariestoteles, tentang tumbuhan, hewan dan
lain-lain yang terpisah dari tumbuhan dan hewan yang sesungguhnya sangat digemari
oleh schoolmen, scholasticus, ahli buku, di Abad Pertengahan. Karena ahli buku
yang memang hidup terpisah dari Murba itu, memisahkan diri pula dari hewan dan
tumbuhan yang sesungguhnya! Demikianlah pengetahuan buku ahli filsafat di Abad
Pertengahan itu tergantung di awang-awang saja, seperti hidupnya sendiri
terpisah dari rakyat Murba yang sesungguhnya, yang menghasilkan semua kebutuhan
hidup para ahli filsfaat di Abad Pertengahan itu.
Dari tahun 500 SM sampai tahun 1500 M, maka filsafat masih
bersandar kepada agama dan ilmu pengetahuan empirik yang sederhana. Kaum
idealis masih memakai kepercayaan agama sebagai premis (bukti-dasar) dalam
pembentukan sistem (karangannya). Tetapi kaum materialis tidak lagi memakai
anasir kepercayaan agama itu sebagai premis. Mereka ini memakai bukti yang
nyata saja sebagai premis.
Keduanya, idealis dan materialis mempergunakan matematika,
ilmu alam dan ilmu hayat yang sederhana sekali dalam penjelasannya. Dengan
semakin majunya ilmu pengetahuan empirik, maka kian ditinggalkan penjelasan
yang berdasarkan kepercayaan yang tak dapat dibuktikan itu (petitio principi).
17. AHLI FILSFAT DI SEKITAR REVOLUSI PERANCIS.
Di sekitar zaman Revolusi Perancis, maka ilmu pengetahuan
empirik sudah jauh sekali mendapat kemajuan, kalau dibandingkan dengan zaman
Plato, Heraklitos dan Aristoteles. Di Perancis kita mengenal raksasa matematika
dan ilmu-ilmu alam (physic) serta mekanika seperti Maupertuis, Clairut,
D’Alembert, Lagrage, Laplace, Fourier, Carnot, Pascal dan lain-lain. Di Inggris
bangkit seorang raksasa matematika ilmu alam dan fisika, yakni Isaac Newton.
Dalam dunia ilmu Kimia hadirlah seorang berkebangsaan Perancis bernama Lavoiser
yang menyusun secara sistematis ilmu kimia, yang merupakan pengembangan lebih
lanjut dari pemikiran Ibnu Sina, ahli kimia Arab!
Sedangkan Cuvier mengembangkan pemikiran Aristoteles.
Perbandingan Phytagoras dilanjutkan oleh Newton, begitu juga pemikiran
Archimedes oleh Pascal. Masih banyak yang bisa disebut, namun itu semua ibarat
memperbandingkan anak bayi dengan orang dewasa.
Tidaklah mengherankan kalau kemajuan ilmu pengetahuan
empirik, yang telah membikin jarak zaman kuno dan Abad Pertengahan seolah-olah
puluhan ribu tahun lamanya itu memberikan bahan yang tidak ternilai pada ahli
filsafat. Tetapi para ahli filsfaat tetap terpecah dua, yakni golongan idealis
dan materialis. Bahkan masing-masing golongan itu mempergunakan kemajuan ilmu
pengetahuan empirik itu sebagai penjelasan (proof) kebenaran masing-masing
teori mereka.
Di Inggris muncul dua ahli filsafat yang terkemuka, yakni
pendeta Berkeley dan David Hume. Berdasarkan atas kerohanian si pemandang, maka
David Hume dengan tekad konsekuensi seorang ahli filsafat berkata bahwa setelah
final analysis (kupasan terakhir) maka segala yang ada dalam alam raya ini
tidak lain hanyalah a bundle of conceptions (gabungan paham) tentang alam raya
itu. Bahkan Hume mengatakan bahwa “kamu-pun” buat dia (Hume) hanyalah satu
“gambaran” dalam otak Hume semata-mata. Sesungguhnya dengan begitu maka Hume
meniadakan dirinya sendiri. Karena kalau Hume mengatakan bahwa orang lain, buat
dia cuma satu “gambaran” dalam otak Hume saja, maka orang lain itu pun bisa
berakat bahwa Hume sendiri tidak akan ada bagi orang lain itu saja, selain
daripada satu gambaran dalam otak orang lain itu saja. “Kamu” buat Hume adalah
“saya” buat orang lain itu. Sebaliknya “saya” buat Hume adalah “kamu” buat
orang lain itu.
Imanuel Kant ahli filsafat Jerman yang banyak dipengaruhi
oleh David Hume tidak berani menarik kesimpulan nekat layaknya David Hume itu.
Kant berdiri ditengah-tengah! Dia tidak bisa meniadakan yang ada di alam raya
ini. Tetapi selain mengakui yang ada itu, dia lari pula kepada “Ding An Sich”
“benda pada dirinya sendiri”, yang belum diketahuinya. Dengan hadirnya Imanuel
Kant di Jerman, maka timbul-tumbuhlah juga filsafat idealisme yang kemudian
diteruskan oleh para ahli seperti Fichte dan Hegel.
Berkeley dan Hume, kedua ahli filsafat idealis Inggris di
sekitar revolusi borjuis itu mendapat kritikan yang keras sekali dari ahli
filsafat materialis Perancis yang termashur seperti Diderot dan Lamartine.
Bersandarkan matematika, ilmu alam dan fisika yang maju pesat pada masa itu,
maka mereka meniadakan kemahakuasaan kerohanian di alam raya ini. Tenggelam
pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan kerohanian di alam
raya ini. Tenggelam pada paham sebaliknya, maka mereka mengakui kemahakuasaan
Matter in move, benda bergerak. Seolah-olah manusia tak memiliki daya
berhadapan dengan benda dan hukum gerakan benda di alam raya ini. Manusia itu
adalah mesin yang pasif, menerima saja. Kalau ada kodrat penggerak bergeraklah
dia, kalau tidak berhentilah dia. Jadi seperti mesin yang pasif, penerima itu,
demikianlah pula manusia itu takluk tanpa syarat apa-apa kepada alam
disekitarnya. Materialisme yang semacam ini kami namai Mechanical-matterialism,
yakni materialisme yang menganggap manusia itu seperti mesin yang menerima
nasibnya dari kodrat yang ada di luar dirinya saja. Seolah-olah manusia itu
tidak berdaya untuk mengubah suasana dan keadaan alam disekitarnya. Rupanya
masih ada sisa semangat lama yang melekat pada semangat kaum materialisme
mekanis itu. Seperti manusia sederhana merasa tak berdaya terhadap takdir
Tuhan, demikian pula kaum materialis di masa Revolusi Perancis merasa tidak berdaya
terhadap kebendaan itu (mechanism of matter).
18. MATERIALISME DIALEKTIS.
Suara ahli filsafat materialisme, seperti juga suara ahli
filsafat idealisme bisa diterima dengan baik di kalangan pemikir Jerman. Ludwig
Feurbach, seorang profesor Jerman, mengadopsi filsafat materialisme dari
Perancis, tetapi terutama yang menyangkut pada apa yang dinamakan menschalische
taotigkeit (perbuatan manusia). Marx dalam 11 tesis bantahan terhadap Feurbach,
menyatakan bahwa pemikiran Feurbach itu menyangkut “Perbuatan manusia itu pada
idealisme”, sedangkan bagi Marx “Perbuatan manusia masuk ke dalam golongan
kebendaan”. Setelah Feurbach dipecat oleh kaum borjuis dari pekerjaanya sebagai
mahaguru lantaran dianggap terlampau radikal, maka feurbach terpaksa hidup terpisah
di desa Jerman dan kian hari kian luntur dalam pandangan revolusioner dan dalam
cara berpikir menurut cara dialektika materialistis.
Pemikiran yang bersandar kepada dialektika dilanjutkan oleh
Marx dan teman sezamannya, yakni Frederich Engels. Di samping pujangga, kedua
orang ini adalah ahli dan penggemar matematika yang kerap mempergunakan utopis
sosialisme Perancis dan Inggris. mereka juga memanfaatkan teori Evolusi dari
Charles Darwin, serta teori ekonomi Adam Smith dan David Ricardo dalam pembentukan
teori mereka. Dengan mendapatkan cause atau lebih tepat condition (keadaan),
yakni sebab kemajuan masyarakat itu, maka sosialisme, yang berdasarkan impian
(utopia) seperti dicetak oleh Thomas Moore, Saint Simon, Fourir, dan Robert
Owen, berubah menjadi scientific socialism, yakni sosialisme ilmiah. Adapun
yang dianggap menjadi sebab (cause) perubahan, termasuk perubahan masyarakat,
dari tingkat ke tingkat itu ialah perubahan sistem produksi ilmu sejarah yang
didasarkan pada benda yang nyata dinamai historical materialism (materialisme
sejarah), yakni teori materialisme tentang sejarah. Pandangan hidupnya yang
berkenan dengan kebendaan yang bergerak itu dinamai juga Materialisme
Dialektis.
Disebut materialisme karena matter, bendalah yang dianggap
primus, pokok, asal di alam raya ini. Disebut pula dialektis karena cara
menghampiri soal benda serta kejadian di alam raya ialah dalam keadaan
bertentangan dan bergerak, yakni dalam keadaan timbul, tumbuh, dan tumbang.
Setelah Marx dan Engels mendapatkan cause atau condition,
sebabnya dari perubahan dan pertukaran sesuatu masyarakat manusia itu, maka
berubah-bertukarlah pula sejarah manusia, dari satu kebetulan, dari satu nasib
yang tiada bersebab dan tiada pula mengakibatkan sesuatu yang nyata, menjadi
sesuatu peristiwa yang berpangkal, berujung, bersebab dan berakibat. Dengan
begitu, maka berpindahlah pula ilmu sejarah itu dari dunia-gaib ke dunia nyata.
Demikianlah asal dan tujuan, serta lakonnya suatu masyarakat itu mulai dapat
diselami oleh akal. Setelah segala kebendaan dan semua gerakannya dalam alam
raya ini dipecah-pecah, dikupas, diselidiki, dan dipastikan hukumnya semenjak
ahli filsafat Yunani, maka berubah bertukarlah pula filsafat, yang berbunyi
what does this all mean (apakah arti semuanya ini), menjadi soal kaum ahli ilmu
pengetahuan empirik yang mengupas, menyelidiki serta membentuk pelbagai ilmu
pengetahuan empirik.
19. ILMU PENGETAHUAN EMPIRIK.
Tepat juga kesimpulan Engels yang mengatakan bahwa dalam
perkembangan ratusan tahun itu, maka ilmu filsafat sudah berpecahan dan
berpisahan menjadi ilmu pengetahuan empirik, Wissenschafft, Science, yakni
pelbagai ilmu tentang sejarah dan pelbagai ilmu tentang alam raya (natura).
Sisa dari filsafat itu menurut Engels, ialah logika dan dialektika.
Kembali lagi kita kepada ilmu pengetahuan empirik awalnya,
ke zaman Yunani dan dari sini secepat kilat kita berlari ke zaman modern.
Kemudian dapatlah kita menoleh sebentar kepada logika dan dialektika yang oleh
Engels disebut sebagai sisanya filsafat itu.
Sumber : http://www.tanmalaka.estranky.cz/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar