PENGANTAR
SATU DUA PERKARA yang perlu saya sebutkan di sini sebagai
kata pengantar.
Pertama sekali saya dengan ini terpaksa menyerukan “AWAS”
terhadap beberapa orang yang menyamar sebagai Tan Malaka. Seorang di antara
penyamar itu sudah saya jumpai di Surabaya. Menurut keterangan teman
seperjuangan di sana si Penyamar ini mempunyai beribu-ribu pengikut. Menurut
pengakuan si Penyamar sendiri, dia sudah lama bekerja buat Pemerintah Belanda
almarhum. Berhubung dengan itu dia sudah banyak mempunyai hubungan dengan orang
yang mempunyai kedudukan tinggi di bawah Belanda di antara Pangreh Praja dll.
Apalagi dengan mereka dari kalangan pergerakan di berbagai tempat yang tertipu
mentah- mentah.
Tak perlu disebutkan lagi bahwa Tan Malaka palsu banyak
menimbulkan kekalutan di kalangan pergerakan revolusioner umumnya dan
pergerakan komunis khususnya. Tiadalah susah menghubungkan aksi Tan Malaka
Palsu ini dengan provokasi yang lazim dilakukan terhadap pengikut PARI di zaman
Belanda terutama sejak tahun 1935-1936. Provokasi itu amat bermaharajalela dan
banyak mengirimkan orang PARI ke Digul. Ini malam orang PARI didatangi oleh
seorang provokator, besoknya orang itu diDigulkan. Selain daripada itu Tan
Malaka Palsu “made in Batavia” (Vrijmetslaarweg) itu berhasil pula melekatkan
sangkaan yang tidak- tidak terhadap Tan Malaka yang sebenarnya, berhubung
dengan keributan pada tahun 1926 dan pergerakan rakyat di belakangnya.
Semua sangkaan itu satupun tak bisa dikupas dengan tiada
mengupas yang berhubungan dengan aksi dan organisasi komunis di mana-mana
negara. Persangkaan itu tiada akan saya kupas! Muka saya cukup tebal buat
melunturkan persangkaan palsu. Hati saya sebagai revolusioner tak bisa
digoncangkan oleh tuduhan palsu. Sejarah hampir belum pernah mungkir mengakui
kebenaran!
Dalam hal Tan Malaka Palsu yang sudah dijumpai ini bolehlah
dikata saya beruntung juga. Sekiranya Penyamar ini berjalan terus, maka akan
teruslah ia membohongi para pemimpin. Di antaranya yang sudah kena dibohongi
banyak pula yang terkemuka. Tak mengherankan, karena mereka masih “bayi” ketika
saya meninggalkan Indonesia bulan Maret tahun 1922. Untunglah beberapa pemimpin
muda bisa saya jumpai di Surabaya dan lain-lain tempat dan dengan mudah saya
buktikan kesilapan mereka. Alangkah kalutnya pergerakan Indonesia seandainya
saya tak menyaksikan peristiwa ini. Sudahlah tentu susah akan menyaring sejarah
saya yang sebenarnya, apalagi kalau lebih mendalam.
Sebetulnya sudah amat dalam. Sudah lebih dari cukup buat
melemparkan saya ke neraka para pengkhianat. Pembaca tentu tak heran kalau saya
terkejut mendengarkan banyak orang bercerita pada saya bahwa Pemimpin Besar ini
atau itu ketika Jepang masuk menerima “perintah” dari saya buat “bekerja
bersama dengan Jepang”. Siapa yang sangsi akan adanya pemberi perintah itu,
yakni saya Tan Malaka, dibawa ke Sukabumi, atau Madiun atau Cirebon atau ke
lain tempat buat dijumpakan dengan Tan Malaka Palsu.
Jepang piawai dalam politik “double crossing” (menipu kedua
pihak) sebagai warisan dari Belanda. Tan Malaka Palsu dipakai oleh Belanda buat
memikat dan melenyapkan Tan Malaka tulen. Jepang menjalankan politik semacam
itu pula. Dengan lenyapnya pemerintah serdadu Jepang, rupanya pekerjaan
pemalsuan politik itu diteruskan pula oleh para murid Jepang, ialah buat mencari
pengaruh dan pangkat.
Siapakah yang rugi, siapakah yang beruntung sampai sekarang,
Tan Malaka atau musuhnya?
Siapakah yang akan rugi dan akan beruntung di hari depan?
Kenapakah Tan Malaka yang dipakai buat merusak partainya Tan
Malaka?
Tetapi tuan-tuan yang arifin tentu juga bisa menjawabnya.
Saudara yang masih memihak kepada kebenaran saya persilahkan
membaca brosur saya Naar de Republik Indonesia tahun 1924 dan Semangat Muda
serta Massa Aksi in Indonesia. Semangat Muda ditulis di Manila dan dicetak di
Manila, sebelum keributan permulaan tahun 1926. Massa Aksi ditulis dan dicetak
di Singapura sebelum keributan tahun 1926 pula. Maksud buku itu ialah buat
menjelaskan cara partai komunis mengadakan organisasi, menyaring pengikutnya,
dan menjalankan aksi yang cocok dengan paham massa-aksi, yang bertentangan
dengan cara aksi militer sematamata. Saya yang bertanggung jawab atas
pergerakan komunis di Indonesia dan bagian lain di Asia di masa itu merasa
wajib menjaga supaya Partai Komunis jangan tergelincir disebabkan provokasi,
supaya Partai Komunis Indonesia khususnya terus berjalan di atas rel
massa-aksi.
Tulen palsunya seorang pemimpin tiadalah bisa diukur dengan
tuduhan orang lain terhadap dirinya semata-mata. Palsu tulennya itu bisa juga
diukur dengan perkataan dirinya itu sendiri dahulu dan sekarang. Palsu tulennya
itu juga bisa diukur dengan seberapa cocoknya perkataan si Pemimpin dengan
perbuatannya sendiri. Kalau di sini didapat perbedaan atau pertentangan, maka
barulah tuduhan itu mendapatkan bukti yang sah.
Saya tak akan naik perahu bermingu-minggu lamanya diombang-
ambingkan gelombang menuju ke Sumatera dan Jawa, satu dua bulan sesudah Jepang
masuk, kalau saya takut memimpin pergerakan revolusioner yang sebenarnya. Tak
perlu saya sembunyi bekerja sebagai buruh di Bayah Kozan sampai Jepang lenyap,
kalau saya percaya pada lain kemungkinan selain “Massa Aksi” di Indonesia. Saya
percaya bahwa saya sekurangnya mesti dapat memasuki Gedung seperti Chuo Sangi
In dan mendapat gedung besar di bawah perlindungan Hinomaru, kalau saya mau
“sehidup semati” dengan serdadu kempetai Jepang, yakni tak percaya akan
timbulnya "Aksi Rakyat" yang sebenarnya. Aksi Murba yang meluap
mendidih inilah yang saya tunggu-tunggu.
Massa-Aksilah yang saya kehendaki lebih kurang 18 tahun yang
lalu. Massa-Aksi pulalah yang saya kehendaki sekarang! Ujian buat perkataan
saya itu kalau mau diuji dengan paham, bolehlah dibandingkan dengan isi lima
atau enam buku yang terpaksa saya keluarkan di masa ini. Terpaksa, karena Massa-Aksi
itu saya rasa belum cukup juga dimengerti, pun sekarang! Memang sekarang sudah
ada Aksi Massa, ialah aksinya massa (murba), tetapi belum lagi Massa-Aksi.
Kalau perbuatanlah yang mesti dijadikan batu ujian itu pula, maka saya harap
sejarah akan memberi penerangan cukup, kalau kelak sejarah itu sudah sampai
waktunya bersuara!
Tegasnya, bandingkanlah dasar, suara, dan semangat tulisan
saya kini dengan dasar, suara, dan semangat tulisan saya 24 tahun yang lalu.
Sedikit panjang saya menulis buat membatalkan bermacammacam
sangkaan yang berhubung dengan haluan dan aksi saya di luar negeri, sebenarnya
terpencil dari teman dan jauh dari negeri bertahun-tahun. Keadaan sekarang
membutuhkan kejelasan, seberapa bisa sudah saya berikan. Kalau ada lagi di
antara teman seperjuangan yang ingin tahu, kenapa belum juga saya memajukan
diri, maka sekali lagi saya ulang apa yang saya sebut dalam brosur Politik:
Cukup sebab maka Tan Malaka memilih tempat, tempat, dan teman buat menyaksikan
dirinya sendiri ke depan mata rakyat Indonesia.
Puluhan tahun lebih dahulu saya majukan “garis” yang saya
anggap harus ditempuh oleh Rakyat Indonesia dalam perjuangan sekarang dengan
semua brosur ini. Apabila “garis” ini disetujui dan yang menyetujui ikhlas
takluk kepada susunan dan disiplin organisasi itu, maka kalau masih
“diperlukan” pimpinan dari saya sendiri, tentulah saya akan tampil ke muka
dengan tiada menghitung-hitung korban yang perlu diberikan. Tetapi tiada akan
kekurangan kepuasan hati saya kalau seandainya “garis” itu disetujui oleh
mereka yang lebih muda dan sendiri mau melaksanakan “garis” itu dengan jujur,
ikhlas, dan tetap tabah.
Tiga paham yang sekarang berjuang bahu-membahu: paham
keislaman, kebangsaan, dan sosialistis. Semuanya pada tingkat merebut
KEMERDEKAAN NASIONAL ini berhak buat diakui. Marilah kita berharap supaya
ketiga paham itu bisa mengadakan persatuan yang teguh-tetap.
Tetapi tak bisa disingkirkan kemungkinan bahwa kelak sesudah
Kemerdekaan Nasional tercapai, boleh jadi ketiga paham itu, yang dalam garis
besarnya mewakili kelas tani, borjuis-tangan, dan proletar, bercekcokan satu
sama lainnya. Berhubung dengan itu maka perlulah dicari “persamaan” sebagai
semen yang mempersatukan batu tembok. Persamaan itu didapat pada persamaan
keperluan. Persamaan keperluan itu saya kira didapat dalam satu Rencana Ekonomi
yang Sosialistis.
Inilah maksud brosur ini, yakni membentangkan paham saya
tentang Rencana Ekonomi yang sekarang bisa dan perlu dijalankan oleh semua
golongan yang ada di Indonesia. Juga dibentangkan rencana ekonomi yang bisa dan
perlu dijalankan sesudah kemerdekaan 100% tercapai. Tiadalah perlu dilupakan
kritik atas Kapitalisme, atas Rencana Ekonomi Fasis dan Demokratis.
Mudah-mudahan brosur ini bisa menambah pengetahuan warga
negara Republik Indonesia tentang ekonomi.
Surabaya, 28 November 1945
Pendakwa modern kita, DENMAS, MR. APAL, TOKE, PACUL, dan
GODAM sekarang duduk di beranda sebuah rumah, sedang besarnya, dilindungi oleh
pohon jeruk yang rindang. Suasana tenang meliputi lima-seperjuangan ini.
Pabrik raksasa yang berdiri di seberang jalan yang tadi
siang menderu-deru sekarang berhenti diam, sepert seekor gajah beristirahat
sesudah melakukan pekerjaannya. Tak ada pekerja yang lalu lintas, menarik dan
mengangkat barang di sekitar pabrik itu.
Di keliling pabrik terbentang sawah luas ditabur warna hijau
dan kuning oleh pokok padi yang muda dan sudah masak. Di sana-sini tampak
kampung yang diselimuti pohon buahbuahan. Terbelintang sepanjang cakrawala
barisan gunung kehijau- hijauan, di antaranya ada yang diselimuti oleh awan
putih seolah-olah kemalu-maluan. Sang bulan mengintip dari celah daun kelapa
yang berdiri tegak di suatu desa.
Suasana yang aman tenang ini terganggu oleh suara salah
seorang di antara lima-seperjuangan tadi.
I. Kritik atas Kritik
A. KAPITALISME MERAMPOK
SI PACUL : Kapan juga, Dam, kau mau membentangkan Rencana
Ekonomi yang sudah kau janjikan itu?
SI TOKE : Politik perjuangan, seperti kita perundingkan
tempo hari, rasanya sudah meresap betul dalam pikiranku. Tetapi rasanya belum
cukup kalau kita belum mempunyai RENCANA EKONOMI. Karena tindakan ekonomilah
kelak yang akan menentukan kemakmuran rakyat dan keamanan republik kita.
SI GODAM : Dari penjuru manapun juga kupandang, uraianku
akan terlampau panjang. Jadi akan melewati maksudnya satu brosur.
Menggampangkan mempopulerkan satu ilmu seperti Ekonomi rasanya di luar
kesanggupanku. Kalau terlampau pendek tak akan cukup dimengerti atau salah
dimengerti. Kalau terlampau panjang akan membosankan dan susah membulatkannya.
Bukankah kita mau memberi sekadar pada Murba yang ingin tahu?
MR. APAL : Tak perlu engkau membentangkan menurut sejarah
Ilmu Ekonomi. Bentangkan sajalah perkara yang terpenting dalam ilmu ekonomi dan
garis besar dalam Rencana Ekonomi buat Indonesia.
DENMAS : Rencana Ekonomi yang sempurna saya pikir cuma bisa
dijalankan dalam suasana aman-sentosa bagi Rakyat Indonesia. Seperti sudah
pernah kau bilang, dalam suasana Merdeka 100%. Cukuplah sudah kalau kau
bentangkan Rencana dalam keadaan sekarang dan bayangkan saja Rencana yang
sempurna tadi.
SI PACUL : Pendeknya bentangkan saja RENCANA EKONOMI
BERJUANG.
SI GODAM : Walaupun Rencana Ekonomi Berjuang yang terutama
akan kubentangkan, tetapi tak boleh lupa memberi contoh tentang kapitalisme dan
sedikit kritik tentang kapitalisme itu. Bukankah sistem kapitalisme yang
menindas kita selama ini dan yang mendorong kita berjuang?
SI TOKE : Memang contoh yang tepat itu lekas dimengerti dan
dipahamkan. Betul pula keburukan kapitalisme itu mesti dikupas habis-habis.
SI GODAM : Kuambil contoh tambang arang di Bayah Banten
Selatan, di masa Jepang dan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Di sini kita
berjumpa kapitalisme yang benarbenar berdasarkan perampokan telanjang bulat.
Marilah kita sebutkan lebih dahulu semua syarat produksi. Terutama ialah:
l. bumi dan iklimnya; ada atau tidaknya sungai danau atau
laut buat lalu lintas,
2. pabrik, bengkel, kereta, kapal, gedung dll,
3. tenaga yang tukang atau tidak, kuat dan lemah, lakilaki
dan perempuan.
SI TOKE : Jadi dalam garis besarnya: l) alam, 2) tenaga, 3)
perkakas atau mesin.
SI GODAM : Benar, marilah kita periksa bagaimana berjalannya
produksi itu sesudah tiga syarat itu ada. Si penghasil sesudah mengadakan hasil
pertama menghitung harga hasil yang didapatnya, yakni hasil bulat. Kemudian dia
hitung ongkos yang keluar. Harga hasil bulat dikurangi ongkos itulah untungnya.
Seperti seorang berdagang, dia juga hitung kelebihan jualan dari pokok.
SI TOKE : Cobalah kita hitung dahulu harga hasil sehari.
SI GODAM : Sehari bisa dihasilkan pukul rata sedikitnya
(menurut taksiran kasar) 100 ton arang. Harganya ditaksir murah sekali, ialah f
100,- satu ton (Nilai rupiah di masa itu lebih kurang cuma 1/10 harga rupiah
sebelum Jepang). Jadi harga 100 ton arang itu ialah 100 x f 100,- = f 10.000,-
SI TOKE : Ongkos keluar berapa?
Sewa tanah = f 0.00,- (Tanah-logam di Bayah umumnya tanah
gedoran).
Kelunturan mesin = f 0.00,- (Semua mesin ialah mesin
gedoran).
Bahan dipakai = f 0.00,- (Bahan di Bayah sebenamya tak ada.
Kain mempunyai bahan berupa benang. Tetapi arang tak ada bahannya).
Gaji = f 0.000,-
Romusha 10.000 x f 0,40 = f 4.000,-
JUMLAH ONGKOS = f 4.000,-
Jadi untung bersih saban hari f 10.000 - f 4.000 = f 6.000,-
Dipandang begitu untung Jepang satu hari adalah 1,5x dari pokok. Kalau dihitung
menurut aturan biasa, yaitu untung satu tahun, maka untung kongsi Jepang di
Bayah itu 365 x 150% = 54.750%. Ini bukan lagi untung, melainkan curian! Kongsi
Jepang, BAJAH KOZAN SUMITOMO KABUSHIKI KAISHA itu bukan perusahaan lagi,
melainkan perampokan.
SI GODAM : Tunggu dulu, Kek! Aku cuma memberi gambaran saja.
Perhitunganmu masih belum beres. Gaji yang f 4.000,- sehari tadi ialah kertas
koran yang digedor oleh Tentara Tenno Heika di KOLF, Jakarta. Jadi harganya
uang Jepang itu ialah harga kertas itu saja. Belum f 40,- lagi kalau diukur
dengan mas umpamanya. Cuma harga mencapkan saja yang mesti dihitung. Yang
dinamai dekking (penutup kertas) itu, seperti bank biasa memang tak ada. Tetapi
ongkos pencapnya pun dibayar dengan kertas pula. Beras yang dijualkan kepada
romusha itupun beras gedoran.
SI TOKE : Kalau semuanya itu digedor, bagaimana
menghitungnya? Tenaga sendiripun tenaga gedoran.
SI GODAM : Ringkasnya yang 100 ton arang itu diperoleh
dengan makian “bagero” saja. Tanah digedor, mesin digedor, dan tenaga romusha
pun digedor.
SI PACUL : Benar katamu, kapitalisme yang dijalankan oleh
Tentara Jepang dalam 3 tahun di Indonesia ialah Kapitalisme MERAMPOK melulu!
Perhitungan untung 54.750% itu masih rendah sekali! Tak ada ukuran yang
sebenarnya boleh dipakai, kalau semua syarat menghasilkan itu barang rampasan.
Kalau pokok f 0.00 dan jumlahnya sehari f 10.000,-, dalam ilmu hitung
persenannya boleh dikatakan tak berhingga. Boleh 1.000.000% atau lebih karena
jualan mesti dibandingkan dengan pokok Jepang yang f 0.00 dan tenaganya si
kapitalis Jepang yang keluar cuma tenaga menyemburkan "bagero" saja.
SI TOKE : Sering juga dia bertenaga banyak!
SI PACUL : Kapan umpamanya?
SI TOKE : Umpamanya kalau dia sudah main tampar, atau asyik
menyiksa seperti kucing menyiksa tikus. Si Kempetai sibuk mencari api pembakar
mangsanya atau membanting dan menendang mangsanya sepuas-puasnya .
MR. APAL : Betul sekali anak Dewa Turunan Ameterasu Omikami
itu di sini merusak dan memusnahkan tenaga Indonesia. Jepang itu mau lekas kaya
dengan tiada mempedulikan sumber kekayaan di Indonesia. Kita ingat pada cerita
di sekolah rendah, cerita ayam bertelur emas. Si empunya ayam yang tak
mempunyai kesabaran dan bodoh itu potong ayamnya supaya sekali lalu dia dapat
semua emasnya. Tentulah akhirnya dia tak mendapatkan apa-apa.
DENMAS : Dalam ekonomi yang betul-betul dijalankan buat
kemakmuran Rakyat Murba, sudahlah tentu “tenaga” itu mesti dipelihara
baik-baik. Sebisa mungkin ditambah nilainya dengan menambah kodrat dan
sifat-baiknya. Dipelihara makan minumnya si pekerja, dipelihara rumah dan
kesehatannya serta digembleng otak dan tenaganya. Dengan begitu tenaga itu naik
banyak (quantiteit) dan sifatnya. Inilah yang memakmurkan Negara.
SI TOKE : Tentulah sumber hasil yang lain-lain mestinya
dipelihara pula. Bagaimana si Jepang membikin kurus sawah dan merusak mesin
kereta dan auto tak perlu pula kita bicarakan di sini. Umur mesin yang
sepatutnya sisa 10 tahun di tangan si Jepang tak sampai 5 tahun.
SI PACUL : Semua mesin “bagus” yang bisa berumur panjang
habis diangkut Jepang ke negerinya. Benarlah, dia menjalankan EKONOMI MERAMPOK.
B. KRITIK MARX
1. Timbulnya "Nilai-Lebih"
SI TOKE : Saya juga sudah pernah baca, bahwa “untung” itu
ialah “pencurian”.
MR. APAL : Kalau saya tak salah lebih cari satu abad lampau
Weitling, pujangga Jerman sudah menyatakan bahwa “untung” itu ialah bagian
hasil yang dicuri si kapitalis dari buruhnya.
DENMAS : Saya pun punya teman seorang jurnalis Tionghoa yang
bilang bahwa pujangga Tionghoa Guru Kung, muridnya Guru Ming, katakan bahwa
“untung” itu memang “pencurian”.
MR. APAL : Yang mengupas kapitalisme dan “untung” itu
sebagai pencurian ialah seorang pujangga, ahli filsafat Jerman bernama Karl
Marx. Orang bilang Marx mempelajari Ekonomi itu dalam tempo lebih kurang 20
tahun, di negara yang semasa hidupnya paling terkemuka dalam perindustrian,
yakni Inggris. Marxlah yang mengupas kapitalisme itu secara ilmu selama ia
hidup sebagai pelarian politik di Inggris itu.
SI TOKE : Kami persilahkan Mr. Apal memberi penerangan
tentang kupasan Karl Marx itu secara populer.
MR. APAL : Secara populer, terus terang kubilang aku kurang
sanggup. Biarlah Godam saja menerangkan.
SI PACUL : Memang Godamlah yang sehari-harinya bergaul
dengan Pekerja Murba dan guru kursus buat mereka. Lebih pada tempatnyalah kalau
Godam yang memberikan kupasan itu.
SI GODAM : Tetapi saudara sekalian di sini bukan pekerja
murba!
SI TOKE : Benar, tetapi kami juga sanggup, dan di masa
pekerja murba masih serba kekurangan tenaga seperti sekarang, kami wajib
memberi penerangan pula pada pekerja murba. Isi yang patut diterangkan dan
caranya menerangkan, tentulah kau lebih paham, Dam!
SI GODAM : Karl Marx ialah bapak dari satu teori, satu paham
yang masyhur di dunia ekonomi dengan nama “Nilai-Lebih”. Dalam bahasa Jermannya
ialah Mehrwert; Inggrisnya Surplus-Value. Maafkan saja kalau saya terjemahkan
dengan “Nilai-Lebih”, Marx mengupas timbul, ada, dan tumbangnya “Nilai-Lebih”
tadi dalam tiga buku tebal yang masyhur di dunia bernama Das Kapital. Benar
tidak semuanya Marx yang menulisnya, karena dia meninggal dunia sebelum Das
Kapital itu rampung. Teman sepembangunnyalah, bernama Frederich Engels yang
meneruskan pekerjaan raksasa itu. Tentulah Engels meneruskannya dalam semangat
teman sepembangunnya itu pula.
SI PACUL : Jadi kepada dua Bapak Proletar inilah sebenarnya
dunia-proletar seharusnya berterima kasih. Marilah kita mengheningkan cipta
buat arwah dua Maha Guru itu!
SI TOKE : Engkau masih ketinggalan semangatnya Pemuda Tenno
pemuja arwah di Cureido Jakarta dan Kuil Ise di Tok dan Kuil Yasukuni Jinja
tempat arwah serdadu Tenno Heika bersemayam, bersuka-ria!
SI GODAM : Memang Marx Engels tak meminta, malah tak
mengizinkan kita sesama manusia memuja mereka. Mereka lebih berbesar hati kalau
teori mereka diterjemahkan dengan sebaiknya, ialah menurut tempat dan menurut
tempo. Mereka menghendaki supaya teori mereka menjadi pahamnya Pekerja Murba di
seluruh dunia !
SI PACUL : Sesungguhnyalah rasa menghormati dan cinta itu
ada pada saya. Saya pikir juga ada pada kebanyakan orang. Tetapi kalau tak baik
caranya menghormat seperti yang saya majukan di atas bagaimana; kita
menunjukkan rasa hormat, penghargaan dan cinta kita kepada pemimpin proletar
yang mempergunakan semua tempo, tenaga, dan jiwanya buat kelas proletar itu,
puluhan tahun lamanya?
SI GODAM : Ada jalan, Cul! Pertama sesudah kelak teori Marx
diuji dan dipahamkan, laksanakanlah paham itu serajin-rajinnya dan
sejujur-jujurnya terutama di antara kelasmu sendiri, kelas proletar tanah.
Kedua, buat menerangkan “Nilai- Lebih” tadi akan kuambil contoh yang diberikan
oleh Marx sendiri dalam bukunya Das Kapital tadi. Contoh itu masih bisa dimengerti
dan dipakai. Dengan begitu kita panggil kembali Karl Marx di depan pikiran
kita!
SI PACUL : Ya, benar, itulah cara yang sebaik-baiknya buat
menghormati guru itu. Mulailah, Dam! Terangkan dari mana asalnya “Nilai-Lebih”
yang oleh Weitling dan Guru Kung tadi dinamai pencurian.
MR. APAL : Sekarang juga sering dinamai “tenaga yang tidak
dibayar”. Inggrisnya, unpaid labour.
SI GODAM : Sekarang marilah kita masuki satu pabrik pemintal
benang. Di depan si pemintal ada mesin. Di kanannya ada kapas sebagai bahan. Di
kirinya ada benang sebagai hasil tenaganya dan kekuatan mesin. Kita timbang
benang hasilnya tadi, adalah 10 kg, ialah hasil sehari bekerja umpamanya 6 jam.
SI TOKE : Berapakah harga 10 kg benang itu?
SI GODAM : Marilah kita hitung dengan harga yang diberikan
oleh Marx. Sekarang, karena harga uang Indonesia tak keruan turun naiknya ini,
harga di masa Marx baik terus kita pakai saja. Tetapi uang Inggris kita tukar
dengan uang yang kita kenal saja, dengan tak begitu mempedulikan harga
tukarannya itu. Maksud kita cuma buat memberi contoh supaya paham, “bagaimana
timbulnya Nilai-Lebih” tadi bisa kita mengerti.
SI TOKE : Silahkan!
SI GODAM : Harga 10 kg kapas sebagai bahan benang tadi ialah
10 x 25 sen 250 sen
Harga kelunturan mesin dalam 6 jam kerjanya 50 sen
Harga tenaga kerja dalam 6 jam kerja itu (upah sehari) 75 sen
JUMLAH 375 sen
Jadi pokok 1 kg benang = 37½ sen
SI TOKE : Kalau dia jual umpamanya 75 sen 1 kg benang, jadi untungnya 100%.
SI GODAM : Tunggu dulu, Kek! Jangan terlalu cepat. Kita
mesti anggap kaum kapitalis seluruhnya. Bukan kapitalis benang ini saja. Kita
mesti menganggap kapitalis kain yang membeli benang umpamanya, seperti kaumnya
kapitalis benang tadi juga, bahkan seperti dirinya sendiri. Dia sendiri biasa
jadi kapitalis kain yang memakai benang sebagai bahan. Kalau dia ambil untung
lebih dari dirinya sendiri itu, pada satu pihak, maka ini berarti ia merugikan
dirinya sendiri pada lain pihak. Ini mesti dimengerti, Kek!
SI TOKE : Aku belum mengerti, Dam!
SI GODAM : Umpamanya si Kapitalis Benang kita tadi mempunyai
dua kas. Kas yang kesatu berisi 37½ sen saja. Kas kedua 75 sen. Jumlah uangnya
112½ sen. Sekarang kas kesatu bukan berisi uang 37½ sen lagi, melainkan diisi
dengan benang senilai 37½ sen. Yang 37½ sen tadi menjelma menjadi benang 1 kg.
Jumlah nilainya kedua kas tadi bukanlah tetap 112½ sen? Seandainya benang 1 kg
dari kas kesatu tadi dia tukarkan dengan kas kedua ialah 75 sen tadi. Jadi
sekarang benang senilai 37½ sen bertukar tempat. Benang itu sekarang berada di
kas kedua yang dahulu berisi uang 75 sen. Dan uang 75 sen sekarang pindah ke
kas kesatu. Jumlah nilainya benang dan uang bukanlah tetap 112½ sen?
SI TOKE : Memang jumlah nilainya tetap 112 sen. Cuma
tempatnya benang 1 kg dan uang 75 sen yang bertukar.
SI GODAM : Andaikan sekarang kas kedua berisi 75 sen bukan
kepunyaan satu orang. Dia kepunyaan kapitalis lain, tetapi kapitalis juga. Jadi
jumlah nilai pada dua orang kapitalis itu bukanlah tetap 112½ sen juga? Jadi
kalau nilai 37½ sen itu dilipat dua bukankah ini berarti dia merugikan diri
sendiri atau kelasnya sendiri? Di sinilah terselipnya peraturan (kesolideran)
para kapitalis sebagai kelas. Merugikan seorang kapitalis lain berarti
merugikan dirinya sendiri sebagai seseorang dari kelas kapitalis pula.
SI TOKE : Terlampau panjang aku mengambil tempo. Tetapi hal
ini mesti terang betul buat kami. Sekarang barulah terang betul buat saya,
bahwa dengan jalan menukar kapas memakai tenaga dan mesin begitu saja tak menimbulkan
“untung”. Jadi dari mana mestinya timbul untung itu?
SI GODAM : Sekarang begini Kek! Si Buruh yang karena tak
berpabrik, bermesin, atau berpacul itu, pendeknya Si Proletar, Si Tak Berpunya
itu bukankah terpaksa menyerahkan, mempersekotkan, tenaganya kepada si
kapitalis yang punya mesin?
SI TOKE : Benar, karena dia tak punya perkakas lagi seperti
di zaman lampau. Dia sudah di-“merdeka”-kan oleh Pemberontakan Borjuis dari
perkakasnya. Yang ada padanya sekarang hanyalah “tenaganya” saja yang dia peroleh
dari Alam dari ibu-bapaknya.
SI GODAM : Benar, dengan harga 75 sen inilah yang dinamai
upah Kek! Sekarang dia akan dibeli buat kerja sehari ialah 24 jam. Tadi kita
andaikan dia bekerja cuma 6 jam saja sehari. 18 jam dia bebas! Sekarang si
kapitalis merasa keberatan melihat dia bebas selama itu. Si kapitalis kerjakan
si buruh, yang sudah mempersekotkan tenaganya, mengkontrakkan tenaganya itu,
bukan 6 jam, melainkan umpamanya 12 jam! Apakah hasilnya?
SI TOKE : Ingin juga aku mau tahu, hasil 12 jam kerja itu
dengan bayaran 75 sen sehari, karena dia dibayar buat satu hari.
SI GODAM : Perhatikan sulapan kapitalis, Kek! Tenaga itu
sekarang bukan seperti mesin lagi melainkan menjelma menjadi barang yang bisa
menyulapkan hasil yang dikehendaki si kapitalis.
SI PACUL : Sekarang engkau Dam, yang berlaku seperti tukang
sulap yang membikin kami bingung! Cobalah beri perhitungan bagaimana si
kapitalis menimbulkan Nilai-Lebih tadi!
SI GODAM : Bukankah tadi kita andaikan si pemintal benang
bekerja 12 jam?
SI TOKE : Benar!
SI GODAM : Dalam 6 jam tadi dia pintal 10 kg artinya itu
kapas dia sulap menjadi benang! Inilah keajaiban pertama dari tenaga manusia.
Dia bisa tukar bentuknya barang. Bentuk kapas bertukar menjadi benang. Dalam 12
jam berapa kilogramkah benang yang bisa dipintal?
SI TOKE : Tentulah 2 x 10 kg = 20 kg.
SI GODAM : Berapakah harganya 20 kg benang, penjelmaan 20 kg
kapas tadi?
SI TOKE : Sekarang aku sendiri bisa hitung, 20 kg harganya 2
x 375 sen tadi, ialah 750 sen.
SI GODAM : Tetapi berapa “pokok” si Kapitalis?
SI PACUL : Aku saja, Dam! Aku sudah mengerti. Harga 20 kg
kapas 20 x 25 sen 500 sen
Harga kelunturan mesin 2 x 50 sen 100 sen
Harga tenaga tetap 15 sen
JUMLAH 675 sen
Jadi “untung” 750 sen - 675 sen = 75 sen. Dan “untung” ini terang didapatnya
dari tenaga. Inilah yang tiada dibayar, inilah yang secara ilmu oleh Marx
dinamai “Nilai-Lebih”.
SI GODAM : Inilah sulapan kedua yakni sulapan yang
menimbulkan Nilai-Lebih dengan jalan memakai tenaga buruh, lebih dari harga
tenaga yang dipersekotkannya oleh Buruh. Dari “tenaga”-lah timbulnya
Nilai-Lebih itu. Hitung sajalah persen untungnya, kalau 12 jam kerja itu
diperpanjang sampai 15 jam, sampai 16 jam, seperti sungguh terjadi di Inggris
semasa Marx!
SI TOKE : Bagaimana mesin? Bukankah mesin mengambil bagian pula
dalam Nilai-Lebih tadi. Apakah artinya kelunturan mesin yang masuk perhitungan
di atas?
SI GODAM : Mesin itu asalnya bermula dari “tenaga” juga
bukan? Tenaga yang menukar besi jadi baja dan baja menjadi mesin. pikiran
cerdas, pikiran si penemu (inventor), yang mesti dianggap sebagai tenaga
istimewa, seperti kata Marx tenaga berlipat, sudah masuk pula ke dalam mesin
tadi. Bagaimana juga mesin itu bukannya barang gaib.
SI TOKE : Kelunturan mesin itu apa pula?
SI GODAM : Seandainya mesin itu bisa dipakai 10 tahun.
Pokoknya mesin itu umpamanya f 1.000,00. Jadi umurnya sang mesin itu ialah 10
tahun. Jadi tiap-tiap tahun dipakai umurnya berkurang satu tahun, dan harganya
berkurang f 1000,00 : 10 = f 100,00. Yang f 100,00 itulah yang saya namakan
kelunturan. Yang f 100,00 itulah yang dihitung oleh kapitalis sebagai ongkos.
Di sini hal itu kupopulerkan saja. Biarpun mesin itu bisa hidup terus 10 tahun,
tetapi kalau sesudah 5 tahun umpamanya didapati mesin yang lebih kuat, maka
mesin yang tadi biasanya dilemparkan saja. Tak dipakai 5 tahun lagi! Tetapi hal
ini di sini agak sedikit menyimpang. Yang penting buat diketahui ialah: si
kapitalis yang mempunyai mesin dan uang pergi ke pasar tenaga. Di sini dia
berjumpakan tenaga yang tak bisa dipakai oleh si empunya, karena tak ada
kapital. Tenaga itu amat murah, karena persaingan satu penjual dengan yang
lain. Karena yang empunya tenaga mesti makan, membayar sewa rumah buat diri dan
keluarganya, tenaga murah itu dibeli murah. Ajaibnya tenaga itu bisa menukar
bentuk barang dari kapas ke benang dan dari benang ke kain. Tenaga itu boleh
dipakai lebih lama dari nilai upahnya, seandainya upahnya bisa dibayar dengan 6
jam pekerjaannya. Tetapi karena dia berkontrak buat sehari, maka dia bisa
dipekerjakan lebih dari 6 jam itu. KERJA LEBIH itulah yang menimbulkan
Nilai-Lebih, ialah tenaga yang tak dibayar.
SI PACUL : Kalau begitu masyarakat kita ini berdasarkan
kedustaan belaka. Kata si kapitalis, dialah yang memberi kehidupan pada si
buruh. Sebenarnya bukankah si buruh yang senantiasa menambah kekayaan si
kapitalis? Bukankah pula si buruh yang mempersekoti si kapitalis? Bukan
sebaliknya si kapitalis yang mempersekoti si buruh!!
SI GODAM : Memang begitu Cul! Si buruh baru menerima upahnya
sesudah membanting tulang dan mengeluarkan peluh keringat sekurangnya seminggu.
Baru biasanya dia menerima upah. Jadi tenaganyalah yang keluar dahulu. Di
belakang baru mendapat upahnya.
SI TOKE : Kalau begitu makin lama si buruh dipekerjakan
makin besar pula “Nilai-Lebih” si kapitalis. Bukankah tak lebih untung buat si
kapitalis, kalau dipekerjakan 24 jam sehari.
SI GODAM : Ada batasnya Kek! Nantilah kuterangkan.
2. Mempertinggi “Nilai-Lebih”
SI GODAM : Engkau Kek, tadi sudah bilang, bahwa makin lama
si buruh bekerja makin besar untung si kapitalis. Umpamanya upahnya sehari bisa
ditebusnya dengan kerja 6 jam hari itu, maka seandainya ia kerja terus sampai
10 jam, maka 4 jam tempo lebih itu ialah buat si kapitalis. Empat jam tempo
lebih itu menimbulkan 4 jam “Nilai-Lebih” pula. Kau sangka bahwa si kapitalis
akan lebih beruntung kalau buruhnya bisa dipekerjakan 24 jam sehari.
SI TOKE : Logisnya memang begitu, bukan?
SI GODAM : Si Jepang juga pernah menjalankan begitu, atau
serupa itu. Dengan mataku sendiri kusaksikan ribuan romusha dikerjakan di hujan
dan panas berhari-hari buat membikin lapangan kapal terbang. Di Inggris di abad
yang lampau, di zaman Revolusi Industri, hal itu memang hampir umum terjadi.
Tetapi lambat- laun, karena akibat kelamaan kerja itu amat menyedihkan dan
terutama disebabkan perlawanan kaum buruh sendiri, maka cara mempertinggi
“Nilai-Lebih” dengan jalan memperpanjang lamanya kerja semau-maunya kapitalis
itu tiada bisa dilakukan. Bukankah manusia perlu tidur selama 7 atau 8 jam
sehari? Bukankah si buruh perlu mengaso, makan, membersihkan diri dan melayani
anak istri, walaupun dalam sedikit tempo saja? Bukankah si buruh perlu menambah
kebudayaannya buat menambah hasil pekerjaannya pula?
SI PACUL : Lagipula hasil kerja 8 jam sehari belum tentu
kurang dari hasil 12 jam sehari. Boleh jadi pada permulaan satu atau dua hari
bekerja, hasil 8 jam bekerja kurang dari bekerja 12 jam sehari. Tetapi kalau
sudah berhari-hari dilakukan, maka semangat bekerja dan tenaganya sendiri pasti
akan berkurang. Jadi akhirnya hasil pekerjaannya kurang dari si pekerja 8 jam
sehari. Si pekerja 8 jam, kesehatannya, kalau terjaga, tentu lebih kuat dan
lebih bersemangat.
SI GODAM : Tuntutan kaum buruh dunia yang sudah diorganisir,
tuntutan 8 jam kerja sehari, memang cocok dengan ilmu dan kemanusiaan. Jadi
lama kerja itu memang ada batasnya. Pertama sebab tenaga manusia memang
terbatas. Kedua sebab organisasi proletar di mana-mana memaksa majikan
mengurangi lama kerja.
SI PACUL : Si kapitalis itu bukankah selalu mencari akal
buat memperbesar untungnya?
SI GODAM : Memangnya begitu, jalan yang lain buat si
kapitalis ialah menambah kuatnya bekerja (lebih intensif). Seandainya ia mesti
memukul 100 x 1 jam, maka sekarang dia disuruh memukul 200 x dalam 1 jam.
Seandainya dia mesti berjalan 6 km satu jam, sekarang dia disuruh berjalan 8 km
dalam satu jam. Ada pula jalan lain!
SI PACUL : Jalan apa pula, Dam?
SI GODAM : Seandainya ukuran hidupnya yang cocok dengan
hidupnya dalam kesosialan adalah hasil pukul rata 8 jam bekerja, maka dia
sekarang diupah dengan 6 jam kerja saja, Tetapi marilah kita andaikan muslihat
ini tak dijalankan oleh si kapitalis. Ada lagi muslihat lain yang tak begitu
kentara di mata kaum buruh.
SI PACUL : Ada-ada saja akal si kapitalis ini. Sungguh
pintar ia memikirkan jalan yang menguntungkan dirinya sendiri.
SI GODAM : Seandainya seorang buruh kerja 10 jam sehari.
Buat penebus upahnya umpamanya perlu ia kerja di hari itu 6 jam lamanya.
Sekarang ia dan ahli pembantunya si penemu (inventor) memikirkan jalan
menurunkan kerja 6 jam itu sampai 5 jam umpamanya. Kalau bisa begitu maka kini
buat menebus upahnya sendiri, dia perlu bekerja 5 jam sehari. Sisanya yang 5
jam lagi dipakainya buat majikannya. Jadi dengan tetap jumlah kerja 10 jam
sehari si kapitalis sekarang bisa menaikkan “Nilai-Lebih” sebanyak kerja satu
jam sehari, jadi 25% tambahnya dari hasil 4 jam kerja lebih dahulunya.
MR. APAL : Buat ini perlu perubahan kemesinan dan sosial.
Buat itulah seorang insinyur atau penemu selalu ada di samping si kapitalis.
Mereka ini selalu memutar otak buat mempertinggi kekuatan “efisiensinya” mesin.
SI PACUL : Celaka 13 kalau begitu mesin itu! Mesin yang bisa
menguntungkan masyarakat seluruhnya sekarang dipakai buat mempertinggi
“Nilai-Lebih”-nya si kapitalis saja!
MR. APAL : Mesin itu mencoba memurahkan harga kain, makanan
dan keperluan sehari-harinya si Buruh. Mesin tenun yang lebih kuat, cepat,
banyak dan traktor yang lebih efisien bisa melipatgandakan hasil seperti
pakaian dan makanan. Hasil yang berlipat ganda banyaknya itu tentulah turun
pula harganya. Karena hasil yang turun harga itu merendahkan takaran hidup
(standar hidup) buruh. Maka dia sekarang bisa kurang lama kerja menebus upahnya
sehari-hari. Seandainya dulu perlu kerja 6 jam sehari, sekarang dengan 5 jam
sehari atau kurang, bisalah ditebus upahnya itu. Sisanya yang 5 jam masuk ke
kantong majikannya.
SI GODAM : Begitulah maka si kapitalis berlomba-lomba
mendapatkan mesin baru, setahun demi setahun modal yang terkandung oleh mesin
bertambah naik dan modal yang terkandung oleh upah sehari demi sehari bertambah
turun.
SI TOKE : Ada saja paham yang berlainan dengan paham ahli
ekonomi-borjuis, Dam! Jadi kalau begitu menambah modal yang ditanam dalam mesin
itu memang sudah terbawa oleh kemajuan kapitalisme.
SI GODAM : Begitulah yang sebenarnya. Selalu saja modal
mesin naik!
SI PACUL : Coba kasih contoh, Dam!
SI GODAM : Camkanlah contoh dari Guru Marx juga, Cul! Tapi
saya kutip dari ingatan saja. Maafkan kalau ada berbeda angkanya! Andaikan 5
Modal Modal Rupiah Modal dalam Mesin Modal Gaji Buruh Jumlah
Modal Nilai Lebih 50% Gaji Untung Nilai Lebih
1 50 50 100 25 25
2 70 30 100 15 15
3 80 20 100 10 10
4 84 16 100 8 8
5 90 10 100 5 5
JUMLAH 374 126 500 63 63
Andaikan 5 modal tadi kepunyaan seorang kapitalis. Yang ke 1 ialah modal kebun
kapas. Yang ke 2 modal buat membersihkan biji kapas. Yang ke 3 modal buat
memintal benang. Yang ke 4 buat menenun kain. Yang ke 5 buat mencat atau
mencelup. Jumlah modal itu adalah f 500,00. Jumlah untungnya f 63,00. Jadi
untungnya dipukul rata adalah f 12,60. Kalau begitu, maka ada modal yang
untungnya mesti diturunkan ke untung pukul rata, yaitu untung yang lebih tinggi
dari untung pukul rata. Ada pula modal yang boleh dinaikkan sampai setinggi
untung pukul rata. Modal ke 1, yang mesinnya berharga f 50,00 kekurangan untung
f 12, 40 (f 25,00 - f 12,60). Modal ke 2, yang mesinnya berharga f 70,00
kekurangan untung f 2,40 (f 15,00 - f 12,60). Modal ke 3, yang mesinnya
berharga f 80,00 kelebihan untung f 2,60 (f 12,60 - f 10, 00). Modal ke 4, yang
mesinnya berharga f 84,00 kelebihan untung f 4,60 (f 12,60 - f 8,00). Modal ke
5, yang mesinnya berharga f 90,00 kelebihan untung f 7,60 (f 12,60 - f 5,00).
Modal ke 1 dan ke 2 kekurangan sejumlah f 12,40 + f 2,40 = f l4,80. Modal ke 3,
ke 4, dan ke 5 kelebihan sejumlah f 2,60 + f 4,60 + f 7,60 = f 14,80, dengan
kenaikan modal buat mesin dari 80 ke 84 dan ke 90, maka naik pula kelebihan
untung dari untung pukul rata f 2,60 ke f 4,60 dan ke f 7,60.
SI TOKE : Kalau begitu akan terus menerus modal dipendamkan
ke dalam mesin akhirnya tak ada lagi kapitalis yang mau memendamkan modalnya ke
gaji buruh, ke tenaga buruh. Tegasnya penghasilan kelak akan ditimbulkan oleh
mesin semata-mata. Tenaga manusia tak akan berguna lagi.
SI GODAM : Jangan terlampau cepat berlari, Kek. Dalam
teorinya memang begitu. Tetapi pemakaian mesin tentulah pula ada batasnya.
Modal yang ditanam di mesin tak bisa sampai ke f 100,-, ialah kesemuanya pokok
f 100,-. Buruh akan tetap perlu buat mengawasi mesin. Tak semua pekerjaan bisa
dikuasai oleh mesin saja. Tetapi dalam kenaikan terus menerus dalam lingkungan
terbatas itu sebenarnyalah kenaikan modal-mesin itu berarti kenaikan kelebihan
untung dari “untung pukul rata”.
SI PACUL : Herannya pula “untung pukul rata” itulah yang
penting buat masyarakat kapitalis. Bukan keuntungan seorang kapitalis, tetapi
untung pukul ratalah yang menjadi pedoman.
SI GODAM : Tepat, Cul! Lihatlah saja modal ke 1, sebetulnya
buat diri sendiri ialah buat kebun kapas untung itu f 25,- Tetapi karena pukul
ratanya cuma f 12,60, jadi kebun kapas itu sebenarnya kehilangan f 12,40. Awas,
Cul, Marx membedakan “Nilai-Lebih” dengan “Untung” seorang kapitalis! Dan
“untung pukul rata” kaum kapitalis seluruhnya! Di atas tadi dimisalkan 5 modal
itu kepunyaan seorang kapitalis saja. Akibatnya sama juga kalau lima modal itu
dipunyai oleh lima orang kapitalis. Yang lima kapitalis ini pun kalau dipandang
dari penjuru kepentingan kelas, adalah satu kamus, satu kelas.
SI TOKE : Jadi rupanya seorang kapitalis pada satu pihak
bersatu kalau menghadapi buruh. Sama-sama mereka itu menghisap buruh. Sama-sama
pula mereka itu diukur oleh untung pukul rata, ialah hasil persaingan satu sama
lainnya kapitalis. Yang tinggi buat diri sendiri turun kalau diukur dengan
untung pukul rata dan yang rendah naik menerima sisa sampai ke untung pukul
rata. Inilah pula sebabnya tiaptiap kapitalis berlomba-lomba menaikkan modal
yang ditanam dalam mesin. Nah, sekarang mesin memperbanyak hasil. Kalau hasil
itu kebanyakan, maka harganya turun sampai merosot sama sekali. Kalau sampai
merosot begitu rendah, bukankah kapitalis tak bisa dapat untung lagi? Akhirnya
pabrik ditutup! Kaum pekerja dilepas berduyun- duyun. Ini namanya krisis bukan?
SI GODAM : Baiklah kita bicarakan pula perkara krisis itu di
lain tempat!
II. Krisis
SI GODAM : Marx mempunyai perhitungan yang pasti pula
tentang krisis itu. Dia jalankan aliran KRISIS itu dengan angka. Tetapi aku
sangsi apakah perhitungan itu bisa diperlihatkan di sini.
SI TOKE : Kenapa pula tiada bisa, Dam?
SI GODAM : Sebelum Marx mengeluarkan itu sudahlah tentu ia
lebih dahulu memberikan bermacam-macam penerangan. Lagipula mempunyai bahasa
sendiri dan cara memeriksa sendiri. Kalau kita belum memahami filsafatnya
Hegel, ialah Gurunya Marx, susah kita mengikuti uraian Marx. Akhirnya saya
sangsi, apakah saya masih ingat seluruh perhitungan Marx tadi, karena sudah
lama betul saya pelajari hal itu. Celakanya lagi saya tak mempunyai buku
karangan Marx sudah bertahun-tahun.
SI PACUL : Asal aliran pikirannya benar, Dam! Selama ini
kami bisa mengikuti aliran pikiran Marx yang kau bentangkan.
SI GODAM : Maaf kalau salah! Sebenarnyalah, di tengah-tengah
perjuangan Surabaya ini, di antara api, terbakar di kampung ini dan kampung
itu, di antara tembakan dari pihak musuh dan pihak kita, manakah kita bisa
mencari, apalagi mempelajari teori krisisnya Karl Marx.
SI PACUL : Seadanya saja, Dam!
SI GODAM : Marilah kita mulai. Semua yang berhubungan dengan
perkakas menghasilkan, ringkasnya mesin, ditaruh oleh Marx pada garis atas.
Semua yang berhubungan dengan pemakaian (konsumsi) dibubuhnya di garis bawah.
Mesin Modal mesin f 4.000,- Modal gaji buruh mesin f
1.000,- Nilai-Lebih (modal mesin) f 1.000,-
Pemakaian Modal (mesin) pemakaian f 2.000,- Modal Buruh (pemakaian) f
500,- Nilai-Lebih (modal pemakaian) f 500,-
Oleh Marx modal yang ditanam dalam “mesin” itu, baik buat pembikin mesin
ataupun pembikin barang pakai, dinamainya “kapital tetap atau constant
capital”. Karena mesin itu tak berubah nilainya selama dipekerjakan, selama
menghasilkan. Modal yang ditanam dalam tenaga itu dinamainya “kapital-berubah”
atau variable capital. Karena seperti sudah diterangkan di atas memang nilainya
berubah selama dipekerjakan. Ingatlah kapas yang dilayani “tenaga” itu yang
mulanya berharga f 675,- menjadi benang yang berharga f 750,-.
SI TOKE : Tetapi sudah kau bilang lebih dahulu, mesin itu
luntur juga.
SI GODAM : Memang begitu, tetapi kalau dibandingkan dengan
tempo bertahun-tahun. Bukan kalau dibandingkan dengan masanya mesin bekerja.
SI PACUL : Terangkanlah perhitungan di atas!
SI GODAM : Lihatlah dahulu angka di baris kedua! Yang f
500,- buat tenaga, atau gaji itu mesti seimbang dengan “Nilai-Lebih” f 500,-
yang berupa kain, dan lainlain barang yang dipakai. Itulah pertukaran antara
buruh dan kapitalis. Mulanya si kapitalis memindahkan modalnya kepada buruh
berupa gaji. Tenaga buruh menukar modal tadi menjadi barang-pakai. Kemudian
barang-pakai itu dibeli pula oleh buruh buat dipakai.
SI TOKE : Pendeknya jumlah gaji buruh mesti cocok dengan
jumlah harga barang. Kalau barangnya berlebihan menjadi tertumpuk tak bisa
dijual. Kalau kekurangan, maka kaum buruh kekurangan pula, tak ada barang buat
dibeli.
SI GODAM : Begitulah dalam garis besarnya. Diandaikan di
sini dalam masyarakat itu cuma ada dua golongan saja, ialah golongan buruh yang
terbanyak dan golongan kapitalis yang sedikit itu. Sekarang yang amat penting
pula! Lihat f 2000,- di garis bawah f 2000,- ini. Ialah modal yang ditanam pada
mesin buat barang-pakai manusia (kain dan lain-lain). Lihat pula di garis atas
f 1000,- ialah modal buat gaji buruh mesin yang akan bertukar rupa menjadi
mesin dan “Nilai-Lebih” berupa mesin pula seharga f 1000,- Jumlahnya f 2000,-
Sekarang mesin seharga f 2000,- di garis bawah mesti sama dengan jumlah gaji
dan “Nilai-Lebih”, jadinya f 1000,- + f 1000,- = f 2000,- (Gaji f 1000,- dan
“Nilai-Lebih” f 1000, itu keduanya menjadi berupa mesin). Seperti sudah
dibilangkan lebih dahulu, garis atas berhubungan dengan pembikinan mesin. Garis
bawah berhubungan dengan pembikinan barang-pakai. Mesin yang dibikin di atas
mesti cocok harganya dengan mesin yang dipakai buat pemakaian. Jika mesin itu
dibikin terlampau banyak, maka mesin itu kelebihan, menjadi bertumpuk-tumpuk,
tak bisa dijual lagi. Mesin tambahan itu menambah pula banyaknya hasil buat
dipakai, kain dan lain-lain. Tertumpuk pulalah kain dan sebagainya itu.
SI PACUL : Inilah namanya krisis. Si kapitalis terlampau
banyak menanam modalnya di mesin yang membikin mesin. Untung terlampau banyak
mengalir ke kantong si kapitalis. Dan untung yang berupa uang itu ditanam di
pabrik ini dan pabrik itu, sampai hasil melimpah. Timbullah krisis, banjirlah hasil.
SI GODAM : Tepat, Cul! Tetapi sebaliknya kalau modal mesin
buat pemakaian, jadi jumlah f 2000,- di atas kurang dari f 2000,00 maka hasil
kurang. Rakyat pembeli kehausan barang!
SI TOKE : Pendeknya harga mesin yang dibikin oleh Kapitalis-
Mesin mesti sama dengan banyaknya mesin yang perlu dipakai oleh
Kapitalis-Barang-Pakai. Karena barang-pakai ini terutama dibeli oleh kaum buruh
maka hasil barang-pakai mesti cocok dengan jumlah gaji, yakni jumlah uang
pembeli barang-pakai tadi.
SI GODAM : Begitulah sebenarnya, Kek! Tetapi aku insyaf
bahwa penerangan di atas belum cukup. Memang seluk beluk uraian Marx tentang
kapitalis itu tiadalah bisa dimengerti begitu saja. Malah banyak orang
terpelajar yang tak mengerti Das Kapital itu. Barangkali penerangan yang lebih
populer akan bisa menambah yang kurang. Janganlah putus asa!
SI PACUL : Kasihlah juga penerangan yang populer, kalau
penerangan di atas amat susah dimengerti atau belum cukup, maka pada sesuatu
kursus kami bisa memakai penerangan yang populer itu.
SI GODAM : Paul Memberts, nama seorang ahli ekonomi,
berkata: Hasil dan pemakaian atau produksi dan konsumsi mesti seimbang.
Memberts ini adalah seorang ahli ekonomi borjuis. Tetapi dalam hakikatnya dia
sama pahamnya dengan Marx, ahli ekonomi proletar, yakni terhadap perkara krisis
tadi.
SI TOKE : Cobalah beri satu simpulan tentangan wataknya
KRISIS, Dam! Si godam : Benar pula, Kek! Selama ini kita belum sampai ke sana.
Memang perlu satu simpulan yang pendek dan jitu. Aku ingat akan simpulan yang
pendek jitu itu.
SI TOKE : Keluarkan, Dam!
SI GODAM : Krisis ialah keadaan yang merupakan serba
kekurangan di satu kutub dan serta kelebihan di kutub yang lain.
SI TOKE : Memang di pihak yang banyak orangnya serba
kekurangan. Sedangkan di pihak yang sedikit orangnya serba kelebihan. Ialah
kelebihan mesin, auto, pakaian, makanan dan lain-lain.
SI GODAM : Ada pula beberapa simpulan dari pihak sosialis
yang terkemuka di Jerman yakni Hilferding. Sosialis ini menulis satu buku yang
masyhur sekali di kalangan kaum sosialis. Nama buku itu ialah Finanz Kapital.
Hilferding pernah menjadi menteri di Jerman.
SI PACUL : Manakah simpulan Hilferding itu?
SI GODAM : Barangkali Denmas atau Mr. Apal bisa
memberikannya. Aku bisa mengaso sebentar.
MR. APAL : Kalau saya tak salah Hilferding memberikan tiga
simpulan penting berhubungan dengan krisis tadi. Saya terpaksa mengutip di luar
kepala. Maksudnya kira-kira begini :
l. Lebih besar dan lebih cepat mesin itu dibutuhkan demi
lebih besarnya permintaan (demand). Yang bertambah besar buat baja umpamanya,
membutuhkan mesin penimpa baja yang lebih kuat dan lebih cepat. Tetapi mesin
yang senantiasa bertambah besar itu lebih susah mencocokkan dirinya dengan
permintaan dari pabrik di zaman manufaktur, pertukangan. Artinya itu hasil baja
lebih besar daripada permintaan baja. Demikianlah baja melimpah! Ingatlah apa
yang diterangkan oleh Godam tadi perkara harus seimbang jumlah harga f 2000,- di
garis bawah.
2. Jurang di antara apa yang seharusnya dipakai oleh kaum
buruh dengan apa yang mereka bisa pakai, semakin hari semakin bertambah besar.
Karena jumlah gaji buruh yang sebenarnya sehari demi sehari berkurang- kurang
dan hasil barang sehari demi sehari bertambah- tambah, maka kekuatan buruh itu
membeli tiadalah seimbang dengan naiknya banyak barang. Ingatlah apa yang
diuraikan oleh Godam perkara usaha kaum kapitalis mengurangkan jam kerja buat
menebus upahnya! Dalam contoh yang diberikan tadi ialah dari 6 jam ke 5 jam.
3. Produksi itu tidak saja senantiasa bertambah maju
kuatnya, efisiensinya, tetapi juga bertambah sulit. Paman kita di Kalimantan
umpamanya kalau perlu makanan, dia menengok saja ke sana-sini. Kalau terlihat
ular, dengan tangan saja dia tangkap ular itu masukan ke mulut. Tetapi
sebelumnya roti sampai ke mulut banyak tingkat yang mesti dilalui. Supaya
jangan ada krisis, tiap-tiap tingkat itu mesti memenuhi syarat. Tidak saja si
tukang roti mesti mengadakan roti tak kelebihan dan tak kekurangan buat para
pemakan. Tetapi juga pabrik batu tembok tak boleh mengurangi atau melebihi batu
temboknya buat pabrik roti. Tak pula boleh melebihi atau mengurangi perkakas
dan mesin buat pabrik roti tadi.
Jadinya hasil tambang tanah liat dan tanah besi mesti tak
lebih dan tak kurang dari yang dibutuhkan oleh pabrik batu tembok dan pabrik
besi atau baja. Hasil pabrik besibaja tak pula boleh lebih atau kurang dari
yang dibutuhkan oleh pabrik pembikin perkakas memasak roti. Hasil pabrik batu
tembok dan pabrik pembikin perkakas memasak roti tak pula boleh lebih atau
kurang dari kebutuhan pabrik roti sendiri. Pabrik roti akhirnya mesti mencukupi
tak boleh mengurangi atau melebihi keperluan pemakan roti.
SI PACUL : Mana seimbangan itu bisa diperoleh, kalau begitu
banyak kapitalis tambang tanah liat dan tanah besi. Begitu banyak pula majikan
pabrik batu tembok dan pabrik besi dan baja. 1001 pula banyaknya dan
perhitungannya kapitalis pabrik membikin perkakas memasak roti. Akhirnya berapa
pula persaingan, konkurensi di antara pabrik roti di tiap-tiap kota. Satu sama
lain para kapitalis pada bermacam- macam tingkat dari tambang tanah liat atau
besi sampai ke roti sebagai hasil akhirnya tak berunding atau menghitung hasil
dan pemakaian lebih dahulu. Mereka berlomba- lomba mendapatkan dan memakai
perkakas yang sebaik- baiknya, supaya bisa menjual semurah-murahnya dan
mendapat untung sebesar-besarnya!
SI GODAM : Tepat, Cul! Itu namanya anarkisme dalam produksi,
Cul. Memang engkau ahli mamah dan tukang sekali dalam hal melaksanakan suatu
paham! Tetapi engkau sekarang agak terlampau lewat melompat. Tiga simpulan
Hilferding yang dimajukan oleh Mr. Apal tadi memang cukup buat penjelasan
perhitungan Marx. Tetapi barangkali Denmas, yang selama ini diam-diam saja
barangkali ada pula punya pelor buat ditembakkan menuju penghasilan secara
kapitalis itu.
DENMAS : Memang aku sudah sediakan pelor itu. Sebenarnya
pelor itu datangnya dari pihak kaum borjuis pula. Sudahkah saudara sekalian
mendengar satu aliran di Amerika bernama “teknokrasi”?
SI TOKE : Sudah! Seorang terkemuka sekali dalam aliran itu
ialah seorang profesor dari Columbia University bernama Hesley. Aliran itu
timbul di masa krisis yang hebat sekali di Amerika, negara kapitalisme terbesar
dan katanya paling makmur itu. Kaum “teknokrat” tak percaya pada sistem
parlementer. Mereka berpendapat bahwa kaum tekniklah yang berhak mengurus
Negara. Karena kaum tekniklah yang menyelenggarakan produksi. Sebab itulah
aliran itu mereka namai “teknokrasi”. Almarhum Presiden Roosvelt ialah seorang
penganut teknokrasi yang mencoba melaksanakan aliran itu. Tetapi, Denmas,
apakah paham kaum teknokrasi tentang krisis?
DENMAS : Dalam hakikatnya mereka membenarkan simpulan Marx
dalam garis besarnya. Mereka mengakui penuh bahwa mesin dan hasil barang-pakai
pada pihak kapitalis dari hari ke hari bertambah-tambah saja. Tetapi kemajuan
hasil tak berbanding dengan kekuatan si pembeli. Kata mereka kaum teknokrat
tadi, kalau dibandingkan dengan majunya hasil, maka kurang kian berkuranglah
banyaknya kaum buruh yang menerima gaji sepadan dengan takaran hidup dalam
masyarakat Amerika. Maksud mereka adalah hasil bertambah banyak tetapi pembeli
bertambah kurang. Si kaya bertambah kaya, si miskin bertambah miskin.
SI GODAM : Rasanya sudah cukup penjelasan KRISIS itu dari
segala pihak: dari pihak Marxis ialah dari Marx sendiri, pihak sosialis, dan
pihak borjuis. Semuanya mufakat mengatakan bahwa krisis timbul disebabkan oleh
gangguan seimbangnya produksi dan konsumsi, penghasilan dan pemakaian.
Keuanganpun bisa menimbulkan atau memperhebat krisis, tetapi akan terlampau
panjang kalau perkara ini diusik-usik pula. Baiklah saya tanya, apakah saudara
sekalian ingin mendengarkan beberapa simpulan dari Maha Guru, sahabat dan teman
sepembangunan Marx sendiri? Dari Frederich Engels, yang selalu setia dengan
teman seperjuangannya, Marx, selalu tepat-jitu dalam simpulannya dan gampang
pula dimengerti.
SI PACUL : Tentu, Dam! Otakku masih kuat menerimanya! Aku
tak akan meminta saudara sekalian mengheningkan cipta buat menghormat Maha-Guru
kita Engels. Aku cuma minta beberapa simpulan Engels yang berhubungan dengan
krisis.
SI GODAM : Dalam Dasar Komunisme Engels kira-kira:
l. Alat menghasilkan yang luar biasa (mesin) kita peroleh
dari kapitalisme. Tetapi kapitalisme pulalah yang menimbulkan pertentangan di
antara produksi dan konsumsi, di antara penghasilan dan pemakaian.
2. Untuk kemajuan alat (mesin) menghasilkan perlulah pula
dinaikkan hasil. Kenaikan hasil ini tidak mempedulikan para penghasil dan para
pemakai hasil itu. (Jadi maksud Engels, kalau ada seorang kapitalis mendapatkan
mesin baru, maka dia naikkan saja hasilnya dengan mesin baru itu. Dia tiada
mempedulikan apakah hasilnya sendiri ditambah hasil para kapitalis lain
melebihi keperluan pemakai. Juga tiada dia pikirkan apakah hasilnya yang banyak
dan murah itu membunuh perusahaan para kapitalis temannya).
3. Entah dapat atau tidaknya pasar, mesin raksasa zaman
sekarang mesti meneruskan produksi buat menghindarkan kelunturan mesin (Di masa
sekarang, memang diakui sungguh ahli ahli ekonomi dan teknik, bahwa mesin yang
telantar itu amat merugikan kalau dipandang dari pihak kelunturan saja).
SI PACUL : Habislah pembicaraan kita ini tentang krisis
kalau Mr. Apal mau membentangkan bagaimana lakonnya Krisis itu.
MR. APAL : Baik saya pendekan saja.
l. Barang melimpah, sebab itu harganya turun dan untung
merosot.
2. Pabrik terpaksa ditutup sebab tak menguntungkan lagi.
Penganggur memuncak.
3. Kaum saudagar juga memperhentikan berdagang.
4. Para pemegang saham, yang sudah merosot kurs sahamnya
berebut-rebut menjual sahamnya, dari industri berat dan ringan.
5. Para bankir menuntut piutangnya.
SI GODAM : Krisis itu dahulu terjadi sekali 10 tahun. Tetapi
sekarang bertambah cepat dan bertambah hebat lagi. Bukankah pula mesin itu
setahun demi setahun bertambah kuatcepat? Sepadan dengan itu putaran (cycle)
KRISIS itu bertambah cepat pula.
III. Produksi Anarkis
DENMAS : Kalau kulihat sepintas lalu, mesin itu “celaka 13”
buat masyarakat manusia. Kuakui penuh bahwa mesin itu banyak membawa kemajuan.
Banyak sekali, tak perlu kusebutkan semuanya. Ingatlah saja kelaparan di satu
daerah terpencil dan kurus tanahnya bisa ditolong dengan cepat. Karena kapal
atau kereta api dengan segera bisa mengangkut makanan dan obat ke tempat yang
ditimpa marabahaya. Persatuan dari beberapa bangsa yang dulunya tak kenal-
mengenal satu sama lain atau bermusuh-musuhan bisa ditimbulkan atau
ditambah-tambah. Tetapi bukankah pula majunya mesin mempercepat datangnya dan
memperdalam hebatnya KRISIS? Selain dari itu memperbanyak korban manusia dalam
peperangan? Perhatikan sajalah akibat bom atom dan mortir, bom dan peluru
Inggris di kota Surabaya kita ini. Tidakkah lebih aman masyarakat berdasarkan
tenaga belaka? Bukankah pula menurut angka-angka Marx tadi modal f 50,00
ditaruhkan pada modal-tetap untungnya lebih besar daripada modal f 90,00 modal
tetapnya? Yang pertama mendapat untung f 25,00, yang kedua cuma f 5,00 kalau
persennya sama-sama 50% dan jumlah modal f 100,00.
MR. APAL : Sekarang Denmas, baiklah saya yang menjawab. Tak
kusangka engkau makan dalam begitu! Memang “tenang itu menghancurkan” kata
pepatah Indonesia. Rupanya, Denmas, engkau masih terpaut oleh feodalisme!
DENMAS : Oh, jangan begitu, Pal!
MR. APAL : Kalau sebelum David Ricardo, ahli ekonomi Inggris
itu, engkau berkata begitu, memang cocok dengan zaman seperti Ningrat. Engkau
akan pertahankan mati-matian sistem memakai tenaga di bidang pertanian, karena
persen untungmu sebagai kapitalis-tanah-perseorangan yang memakai tenaga memang
lebih tinggi dari persen kaum industrialis yang memakai mesin, maka engkau akan
meminta perlindungan dan hak luar-biasa pada Negara. Engkau akan menjadi orang
yang berhak luar biasa! Dalam bahasa awak namanya ini Ningrat!
DENMAS : Ke mana aku kau bawa, Pal?
MR. APAL : Lihatlah kembali perhitungan Marx! Bukankah
keuntungan bertinggi berendah itu di pasar persaingan dipukul rata? Yang tinggi
direndahkan dan yang rendah ditinggikan? Di pasar “merdeka” (pasar bebas)
—yakni merdeka buat kaum borjuis—persaingan itu mesti berlaku atas semua modal.
Baikpun untungnya modal pabrik si industrialis ataupun untungnya modal Ningrat,
yang ditanamnya di tanah itu mesti “dipukul” sampai rata. Yang lari ke parlemen
itu ialah mereka yang tak mau dipukul-ratakan. Mereka memakai undang-undang
istimewa buat melindungi dirinya. Dalam politik itu namanya kekolotan,
konservatif.
DENMAS : Kekolotan?
MR. APAL : Memang kaum ningrat tulen itu kolot, mau memegang
yang lama. Dalam dunia politik itu berarti meminta perlindungan, meminta hak
istimewa. Dalam pertanian, itu berarti memakai tenaga saja atau perkakas yang
dijalankan oleh tenaga saja, pacul umpamanya, oleh budak atau setengah budak.
DENMAS : Lho! Kenapa sampai begitu, Pal!
SI PACUL : Memang pacul itu —bukan aku, lho!—lebih murah
harganya dari traktor! Jadi bukankah nyata modal yang ditanam pada perkakas
(pacul) itu lebih rendah persennya dari yang ditanam pada traktor?
DENMAS : Ya, tetapi.............
SI TOKE : Tetapi apalagi, Denmas? Aku pun sudah mengerti
betul bahwa negara berdasarkan perkakas dijalankan dengan tenaga itu kolot,
kaum ningratnya takut sama mesin. Tetapi bukankah itu mengenai pahammu yang
pertama?
DENMAS : Paham yang mana pula, Kek?
SI TOKE : Engkau memuji mesin, karena mesin bisa menolong
bahaya kelaparan dengan cepat. Tetapi bisakah kelaparan di Bojonegoro umpamanya
ditolong kalau seperti di zaman Ken Arok padi itu mesti dipikul dari Indramayu
oleh manusia atau oleh kerbau? Apakah kerisnya Ken Arok saja bisa melawan tank
baja atau kapal terbangnya Inggris?
DENMAS : Dalam semua hal ini aku mengalah. Tetapi aku tidak
kolot, lho! Dan aku mau tanya, apa baiknya mesin yang membawa penyakit krisis
tiap-tiap 10 tahun malah kurang dari itu?
SI GODAM : Rupanya Denmas mau memegang terus pendiriannya
walaupun sudah ke pinggir jurang.
DENMAS : Wah, ini hari rupanya panas sekali buat aku.
Mulanya Mr. Apal, kemudian Toke, sekarang engkau Dam yang mendorong aku. Baiklah,
kalau kau bisa kalahkan aku dalam perkara terakhir ini, aku akan bertekuk
lutut. Kuulang lagi: apa baiknya mesin yang membawa krisis tiap-tiap 10 tahun,
malah kurang dari waktu yang sebegitu?
SI GODAM : Ini pertanyaan memang tak bisa dijawab dengan
satu atau dua kalimat saja. Aku mesti sedikit memberi penerangan.
DENMAS : Itulah yang saya kehendaki, Dam.
SI GODAM : Sendirinya mesin itu adalah satu BAHAGIA buat
masyarakat manusia. Tetapi ditaruh dan dipakai dalam suasana kapitalisme, maka
mesin itu memperlihatkan keburukannya. Ditilik dari penjuru politik dan sosial,
maka dasarnya masyarakat borjuis, yang sedemokratis-demokratisnya pun ialah
perseorangan, “individualisme”. Dihubungkan dengan perekonomian, maka ini
berarti “hak milik perseorangan”. Seterusnya penghasilan perseorangan. Kalau
dihubungkan pula dengan kemerdekaan, maka dalam perekonomian, si borjuis
menuntut “kemerdekaan” buruh menjual tenaga, kemerdekaan seseorang majikan
mengatur gaji, kemerdekaan memilih membeli barang di pasar yang merdeka pula.
SI PACUL : Memang dunia demokratis borjuis itu penuh, penuh
dengan suara kemerdekaan di samping perseorangan. Kalau begitu tiap-tiap
kapitalis berlomba-lomba pula-mencari “untung” semau-maunya dengan tiada
mempedulikan nasib si buruh atau kebutuhan ramai atas hasil. Mereka itu
berlomba-lomba masing-masing menghasilkan dengan tiada menghitung keperluan
masyarakat seluruhnya dan berhubung dengan ini tidak berembuk lebih dahulu
dengan teman-temannya.
SI GODAM : Paling tepat, Cul. Yang kaubilang paling belakang
ini namanya Produksi Anarkis. Anehnya pula Sang Borjuis mempunyai kaum cerdas,
ada yang namanya profesor dalam ekonomi yang mempertahankan sistem yang lapuk
menyolok mata itu. Akan terlampau panjang kalau di sini saya mesti
membentangkan dan membantah semua “dalil” ilmu ekonomi mereka itu.
SI PACUL : Coba sebutkan tiangnya saja ilmu ekonomi mereka
itu!
SI GODAM : Menurut mereka, hasrat mencari untung itu (profit
motive) menghasilkan dengan merdeka secara anarkis-persaingan, kemerdekaan dan
biar-membiarkan (laissez-faire istilahnya). Semua inilah yang sebenarnya
menimbulkan yang dituju, yakni kemakmuran bersama.
SI PACUL : Apa yang dimaksudkan dengan kemakmuran bersama
itu?
SI GODAM : “Hasil banyak dan harga murah.”
SI PACUL : Adakah bahagia lain selain kemakmuran bersama
itu?
SI GODAM : Ada! Pertama kemenangan mereka yang cakap. Dalam
bahasa Charles Darwin ialah “the survival of the fittest”. Kedua, penemuan baru
(invention). Ketiga bahwa kemakmuran tiap-tiap orang menjamin kemakmuran
bersama. Maksudnya, kalau tiap-tiap orang menjaga kemakmurannya sendiri, maka
masyarakat seluruhnya akan sendirinya terjaga kemakmurannya.
SI PACUL : Tetapi apa gunanya “barang banyak dan murah”
kalau kaum buruh itu tak bisa beli lagi? Bukankah kalau barang kelak terlampau
banyak dan terlampau murah, si majikan tak beruntung lagi dan pabriknya
ditutup? Dengan begitu kaum buruh menganggur, tak cakap membeli apaapa lagi?
Akibatnya ialah barang banyak tadi dibuang saja. Masihkah ingat gandum di
Amerika yang dibutuhkan oleh kaum buruh miskin itu dibuang ke laut atau dibakar
dalam ketel lokomotif karena melimpah? Apakah yang terjadi dengan minyak tanah
di Indonesia di zaman krisis?
SI GODAM : Katanya pula “hasrat” keuntungan itu memberi
kemenangan pada yang cakap. Tetapi yang sebenarnya cakap itu cuma satu dua
orang saja. Biasanya yang digelari cakap itu ialah anak orang kaya yang
mempusakai harta bapaknya atau tamat sekolah tinggi karena bapaknya mampu
membayar. Banyak pula di antara yang tak cakap namanya atau buta huruf itu
ialah karena tak mempunyai apa-apa dan tak mampu membayar ongkos sekolah.
SI PACUL : Perkara bahagianya kapitalisme, yaitu kemakmuran
tiap-tiap orang itu menjamin kemakmuran bersama aku sudah lihat kebohongannya.
Ini memang benar dalam suasana kapitalisnie. Yaitu kalau tiap-tiap orang
mendapat kesempatan buat maju. Dalam hal ini memang kemakmuran tiap-tiap orang
akan menjamin kemakmuran bersama, yaitu kalau tiap-tiap anak diberi kesempatan
masuk sekolah yang cocok dengan wataknya. Dan tiap-tiap orang boleh mengerjakan
pekerjaan yang cocok dengan kecakapannya dan keperluan masyarakat seluruhnya.
Dengan begitu memang hasil akan berlipat ganda dan bermanfaat buat tiap-tiap
orang yang kerja.
MR. APAL : Sang Profesor Borjuis juga pintar. Ditaruhnya
kesalahan itu di pihak buruh. Katanya kalau Pakbon (serikat buruh) tidak
menuntut tambah gaji, maka undang-undang alam akan berjalan sendirinya dalam
ekonomi, kemakmuran tiap-tiap orang akan terjaga.
SI GODAM : Kalau dibiarkan si kapitalis bertindak
semau-maunya hidup buruh akan terdesak kembali ke hidup hewan atau setengah
hewan seperti di masa Revolusi Industri Inggris. Baca sajalah Das Kapital
karangan Marx dan buku karangan Engels tentang keadaan buruh di Inggris di masa
itu. Pakbon itu adalah senjata buruh buat membela nasibnya terhadap para
majikan yang bersatu dan dilindungi pula oleh undang-undang, polisi, dan
kehakiman Negara, dan yang selalu berniat merendahkan gaji buruh dan menambah
lamanya kerja.
MR. APAL : Kata profesor itu pula: Apa salahnya
terus-menerus si kapitalis menghasilkan mesin buat membikin barang-pakai.
Dengan begitu harga barang itu senantiasa turun. Semua orang bisa membeli.
SI GODAM : Pembagian hasil itu tak seimbang. Kebanyakan
hasil pergi ke kaum kapitalis. Kalau terlampau banyak pergi ke si kapitalis dan
sedikit pergi ke kaum buruh, dengan apakah kaum buruh beli hasil yang melimpah
itu? Bukankah ini asalnya krisis? Ialah disebabkan pembagian hasil tak
seimbang. Bagian si kapitalis yang berupa untung itu ditanam pada modal
membikin barang-pakai dan ditanam terus-menerus. Tetapi dengan apa dibeli kalau
bagian kaum buruh cuma sedikit, kian sedikit?
MR. APAL : Akhirnya kata si profesor: Kalau gaji buruh itu
rendah, ongkos rendah pula. Dengan begitu jualan rendah pula!
SI GODAM : Rupanya begitu! Tetapi jualan itu tiada
semata-mata bergantung kepada ongkos saja. Bagaimanakah kalau kaum kapitalis
kumpulan, monopoli namanya? Dengan monopoli itu dia bisa tetapkan jualan
semau-maunya saja!
SI PACUL : Umpamanya kita monopoli kina atau timah di dunia
ini, kalau seandainya kita tawarkan timah f 1000,00 sepikul, atau kina f 100,00
sebiji bagaimana! Saya pikir bangsa Indonesia tak mempunyai darah monopolis
itu!
DENMAS : Kalau kita kuat di laut, di darat, dan di udara,
tentu negara lain mesti beli!
SI GODAM : Itulah dia! Karena monopoli itu tahu bahwa dia
menguasai produksi suatu barang, maka dia kuasai pula harga barang itu. Dia
coba mencari untung yang sebesar-besarnya. Untung itu paling besar kalau banyak
barang disusutkan, jadi harganya bisa dinaikkan.
Sumber : http://www.tanmalaka.estranky.cz/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar