PENGANTAR
DUA LUSIN TAHUN lamanya saya menunggu-nunggu kejadian yang
berlaku dengan pesat dahsyat di Indonesia sekarang ini. Berbahagialah rasanya
hidup saya karena bisa menyaksikan perjuangan di Surabaya selama satu minggu
lamanya (17 - 24 November 1945).
Sikap dan semangat proletar, tani, dan pemuda Indonesia
memuncak, sesuai semua karya dan pengharapan saya selama dalam perantauan. Di
Shanghai atau Berlin, di Mesir atau Moskow, saya tak menjumpai sikap dan
semangat yang lebih tepat-tangkas-tegap.
Tetapi rasanya masih ada kekurangan baik ditilik dari
penjuru ideologi ataupun organisasi.
Pengalaman seminggu lamanya di masa Surabaya dihujani dengan
pelor dan bom, ditambah pula dengan permohonan dari pihak pemuda yang sedang
berjuang dengan hati laksana baja, saya dalam perjalanan ini terpaksa menulis
beberapa brosur.
Yang sudah ditulis tergopoh-gopoh dalam perjalanan ini ialah
Politik ini, yang berhubungan dengan kemerdekaan. Brosur yang kedua ialah yang
berhubungan dengan Rencana Ekonomi. Yang ketiga akan berhubungan dengan
Muslihat mempertahankan Republik Indonesia. Kedua buku yang belakangan itu
diharap akan dihabiskan dalam perjalanan pula.
Percakapan tentang politik ini terjadi antara MR. APAL
(wakil kaum inteligensia), SI TOKE (wakil pedagang kelas menengah), SI PACUL
(wakil kaum tani), DENMAS (wakil kaum ningrat), dan SI GODAM (wakil buruh
besi).
I. ARTINYA “MERDEKA”
A. ARTI SEDERHANA
SI PACUL : Selamat pagi, apa kabar ?
SI TOKE : Terlampau panjang ini Saudara! Sekarang masa
perang dan masa berontak, ucapkan yang pendek dan tepat saja: “Merdeka” begitu.
Pendek, tepat, dimengerti, dan membangunkan perasaan bertarung. Ucapan yang
panjang tadi asalnya dari terjemahan Belanda. Kalau nanti berbaubau Nica, tentu
engkau dicari buat dibawa ke Batalyon X.
SI PACUL : Memang saya tak tahu yang demikian itu. Tetapi
sudah jadi kebiasaan saja. Di sekolah rendah dipelajari dan memang selalu
diucapkan begitu. Tetapi sekarang satu dua kali juga saya ucapkan “MERDEKA”
kalau berjumpa pengawalan di jalan-jalan. Tetapi terus terang saja, saya
sendiri juga belum tahu betul artinya “Merdeka” itu.
SI TOKE : Cul, saya pun tak paham betul akan arti perkataan
itu. Tetapi contoh ini bisa memberi penerangan. Engkau lihat itu burung
gelatik. Dia bisa terbang kesana kemari, dari pohon ke pohon mencari makan.
Alangkah senang hatinya. Di mana ada makanan di sana dia berhenti makan sambil
menyanyi. Kalau hari senja dia pulang ke sarangnya. Itu namanya merdeka. Tak
ada kesusahan. Selalu riang gembira.
SI PACUL : Betul senang kelihatan dari luar. Tetapi
kelihatan dari luar saja. Belum tentu hatinya sang gelatik sendiri selalu
senang. Belum tentu pula burung gelatik itu selalu menyenangkan orang lain.
Kemerdekaan semacam itu tak begitu memuaskan.
SI TOKE : Bagaimana tak memuaskan, Cul? Bukankah merdeka
seperti burung di udara itu selalu dipuji, selalu diambil sebagai contoh?
SI PACUL : Tadi saya bilang belum tentu hatinya sang gelatik
itu selalu senang. Bung Toke memang orang kota, memang punya perusahaan buat
hidup sendiri. Tak perlu banyak takut sama ini atau itu. Tetapi bung Toke
jangan lupa, bahwa sang gelatik selalu diintai musuhnya. Kucing atau berangan
ialah musuh besarnya. Burung elang ialah musuhnya yang lebih besar. Sang
manusia pun bisa sewaktu-waktu menangkapnya atau menembaknya.
SI TOKE : Sang gelatik toh bisa lari terbang?
SI PACUL : Ya, memang dia bisa lari terbang. Cuma kecakapan
yang diperolehnya dari Alam itu saja yang bisa melindungi jiwanya. Tetapi mana
ada adat atas undang-undang masyarakat yang melindunginya? Bahkan, mana
masyarakatnya sang gelatik?
SI TOKE : Benar juga Cul. Engkau memang dari desa, yang
masih hidup di Alam. Memang di Alam itu undang-undang yang berlaku ialah: Besar
hendak melanda. Tetapi dalam masyarakat pun begitu juga, bukan?
SI PACUL : Memang masyarakat kita juga belum sempurna.
Tetapi jauh lebih sempurna dari masyarakat burung atau hewan yang lain.
Barangkali kita manusia pun tak akan sampai kepada masyarakat yang sempurna. Tetapi
kita senantiasa, selangkah demi selangkah bisa menghampiri kesempurnaan ...
SI TOKE : Aku tak sangka kau seorang ahli filsafat, Cul.
Rupanya tadi engkau berlaku pura-pura bodoh saja. Tetapi tunggu dulu! Baik kita
kembali ke pokok perkara. Engkau sudah terangkan bahwa sang gelatik belum tentu
selalu berhati senang, karena musuh selalu mengintai. Tak ada undang-undang
atau adat masyarakat burung yang bisa melindungi masing-masing burung. Tetapi
engkau belum terangkan, bagaimanakah sang gelatik yang hina papa itu bisa tidak
menyenangkan orang lain, bisa mengganggu orang lan?
SI PACUL : Memang rupa sang gelatik itu hina papa. Tetapi
kalau satu rombongan saja gelatik itu sampai ke sawah kami, maka mereka itu
merdeka pula memusnahkan hasil pekerjaan kami. Dari masa meluku sampai masa
menanam padi, dari waktu padi masih hijau kecil sampai kuning matang, kami
mengeluarkan jerih payah dan peluh keringat. Sekarang sesudah jerih payah kami
memperlihatkan hasilnya datanglah rombongan gelatik yang tidak mengeluarkan
keringat setetespun dan susah gelisah sedikit pun atas hasil pekerjaan kami
tadi. Tetapi dengan tidak meminta izin lebih dahulu, dan dengan tak malu-malu
mereka bersuka ria, bersenda gurau di atas tangkai padi, memilih buah yang
matang dan bernas. Bukankah kemerdekaan semacam itu kemerdekaan orang tak
berusaha yang merampas hasil pekerjaan orang lain yang mengeluarkan tenaga?
Merdeka semacam itu berarti merdeka merampas. Inilah sebenarnya akibatnya
kemerdekaan liar itu. Apa gunanya “merdeka” semacam itu buat masyarakat
manusia?
SI TOKE : Wah, Cul. Ini gara-gara “selamat pagi” apa kabar
tadi. Tetapi memperbincangkan arti “Merdeka” itu bukan lagi perdamaian yang aku
peroleh dalam hatiku. Memang semua perkara yang engkau kemukakan tadi yang
berhubungan dengan “kemerdekaan” itu benar belaka. Sekarang saya sendiri dalam
kekacauan pikiran. Aku sendiri mau tahu pula “apa merdeka yang sebenarnya”.
SI PACUL : Marilah kita bertanya kepada mereka yang lebih
ahli.
B. ARTI LEBIH DALAM (Definisi)
SI TOKE : Sini, Denmas! Denmas, tuan sudah dengar kami belum
lagi mendapat kecocokan tentang arti MERDEKA. Tetapi saya sudah yakin, bahwa
MERDEKA itu tidak berarti boleh menjalankan kemauan diri sendiri saja, dengan
tiada mempedulikan hak dan kemauan orang lain. Bukankah begitu, Cul, sari
perundingan kita tadi.
SI PACUL : Memang begitu. Tetapi siapakah dan bagaimanakah
cara membatasi kemauan masing-masing orang? Cobalah Denmas kasih jawab! DENMAS
: Memang kemauan liar diri sendiri itu mesti dibatasi. Di zaman Majapahit
umpamanya kemauan liar tak terbatas itu dikendalikan ke jalan yang baik oleh
raja yang adil dan bijaksana.
SI TOKE : Belum terang benar perkataan Denmas itu pada saya.
DENMAS : Artinya dikendalikan itu ialah diarahkan ke jurusan yang benar. Kalau
seorang warga negara merusak atau mencuri harta warga yang lain, maka si
pencuri tadi dihukum. Dengan begitu dia sendiri dan warga lainnya terbatas atau
hilang keinginannya merusak atau mencuri harta orang lain. Lagipula, kalau
Negara diserang oleh Negara lain maka raja tadi memerintahkan semua warga yang
kuat sehat mengangkat senjata mengusir musuh. Kalau ada warga negara yang kuat
sehat itu ingkar, maka ia dihukum pula oleh raja.
SI PACUL : Jadi kalau begitu memang kemauan merusak,
mencuri, atau lari kalau musuh datang dibatasi atau dibatalkan oleh raja.
MR. APAL : Tetapi bagaimana kalau raja tadi sendiri mau
merusak, memperkosa, dan lari diserang musuh dengan tiada mengadakan perlawanan
suatu apa? DENMAS : Raja itu mestinya adil, bijaksana, dan berani gagah
perkasa.
SI PACUL : Baik kalau kita mendapatkan seorang Raja semacam
itu. Selama ada Raja semacan itu memang negara aman dan makmur. Tetapi
bagaimana kalau Raja semacam itu tak ada? Atau kalau adik seorang Raja atau
adiknya sebapak tetapi tak seibu lebih adil, lebih bijaksana, dan lebih gagah
mau menjadi Raja pula? Tentu timbul perang saudara bukan? Atau kalau Raja itu
tak punya keturunan sama sekali, tetapi di antara keluarganya yang dekat atau
jauh ada yang berani tetapi zalim, atau ada yang adil tetapi lembek penakut? Siapa
yang akan menjadi Raja? Tentu bisa timbul perang saudara pula, bukan?
SI TOKE : Rupanya engkau ini betul seorang ahli filsafat
jempolan, Cul. Sokrates sendiri akan bangkit dalam kuburnya mendengarkan
pertanyaanmu semacam itu. Memang keadaan begitu sering timbul di zaman
Sriwijaya ataupun Majapahit. Di masa itu memang Raja itu seringkali zalim,
tetapi tak ada aturan yang membatasi kezalimannya. Raja zalim itu cuma bisa
ditukar dengan jalan pemberontakan rakyat. Jadi negara pun kacau. Atau kalau
ada pertengkaran di antara para calon Raja, maka masing-masing calon memanggil
punakawannya buat perang saudara. Betul di bawah perintah seorang Raja, negara
bisa aman sentosa, kalau Raja itu sendiri sempurna dalam segala-galanya dan
semua Raja turun-temurun sempurna pula. Jadi keamanan dan kemakmuran negara
semacam itu bergantung kepada satu keluarga saja.
SI PACUL : Memang negara aman sentosa kalau keluarga Raja
itu sempurna, tak ada celanya. Tetapi celakalah Negara kalau keluarga Raja itu
tak sempurna atau jahat.
SI TOKE : Kembali kita sebentar pada pokok perkara. Pertama
tadi kita mau mengendali kemauan liar seorang warga negara. Si Pengendali itu
kita namai Raja. Tetapi di belakangnya kita lihat bahwa Raja itu manusia juga,
acapkali perlu dikendali pula. Memang susah mencari seorang atau serombongan
manusia buat mengendali Si Pengendali itu. Jadi apa mestinya yang mesti
mengendali kemauan warga negara itu, supaya yang dikendali jangan merusak dan
Si Pengendali sendiri jangan merusak pula.
MR. APAL : Sekarang kita sampai ke tingkat yang selama kita
berunding ini saya simpan saja dalam pikiran saya. Jadi Si Pengendali yang amat
sentosa itu ialah aturan atau undangundang. Undang-undang Negara itulah yang
menangkap, memeriksa, atau menghukum seorang warga negara yang dianggap salah.
Dengan aturan yang sudah ditetapkan itulah negara mesti diperintah. Aturan
memerintah negara itu kita namai Undang-Undang Dasar atau konstitusi.
SI TOKE : Jadi kalau begitu Undang-Undang Dasar itulah yang
memerintah, bukan lagi manusia, Undang-Undang Dasar itu lebih tetap dari
kemauan seorang Raja atau kemauan keluarga Raja. Boleh dituliskan dan
diterjemahkan lebih pasti.
SI PACUL : Tetapi siapa yang mesti membikin Undang-Undang
Dasar itu?
SI TOKE : Iya, benar, itu kita mau tahu. Siapa yang berkuasa
“berdaulat” buat menentukan Undang-Undang Dasar itu?
MR. APAL : Dengan perkataan lain: di tangan siapakah
terletak “kedaulatan” itu? Tadi sudah dibicarakan, bahwa kedaulatan itu tak
aman tak tetap kalau ditaruhkan di tangan Raja atau satu keluarga Raja.
Sekarang marilah kita periksa di tangan siapa kedaulatan itu harus kita taruh,
supaya cara memerintah itu tetap, tak berubah-ubah menurut perasaan seorang
Raja, menurut baik atau jeleknya hari, menurut suka atau marahnya Raja itu.
Buat itu marilah kita periksa bermacam-macam bentuk Negara. Bentuk yang baiklah
yang akan kita pakai.
II. BENTUK NEGARA DAN KEDAULATAN
A. BENTUK NEGARA
MR. APAL : Sebenarnya selama ini sudah kita bicarakan bentuk
Negara itu, pada permulaan. Sendirinya kita sampai kepada kedaulatan. Memang
bentuk Negara itu banyak berhubungan dengan kedaulatan. Sebelum kita selidiki
perkara Kedaulatan lebih baik kita tegaskan dahulu perkara “Bentuk Negara”.
SI TOKE : Saya sering dengar Negara bentuk Kerajaan dan
Negara berbentuk Republik. Dalam perundingan kita tadi sudah saya rasa
perbedaan kedua bentuk itu, tetapi perbedaan yang pasti memang saya minta
tegaskan kepada Mr. Apal.
MR. APAL : Dalam suatu kerajaan tulen, Raja itulah yang
mempunyai kemauan tertinggi. Raja itulah yang memberi putusan terakhir. Rajalah
yang berdaulat. Tidakkah sering kita baca atau dengar dalam komedi setambul:
“Daulat Tuanku?”
SI PACUL : Memang. “Daulat Tuanku” sering pula
ditambahtambah dengan “digantung tinggi dan dibuang jauh” kalau tuanku
menghendaki!
SI TOKE : Tetapi di mana raja Indonesia itu terbatas
kekuasaannya oleh rakyat seperti di Sumatera, maka kita dengar pula: “Raja adil
Raja disembah, Raja zalim Raja disanggah.” Jadi Raja –terutama di
Minangkabau—amat terbatas sekali kekuasaannya.
MR. APAL : Memang kerajaan itu mempunyai beberapa jenis
pula. Satu jenis bernama kerajaan tunggal: absolute monarchie. Dalam kerajaan
tunggal itu kemauan raja itu tak ada batasnya. Andaikata pagi ini raja itu
marah atau cemburu pada seorang gundiknya, maka hari itu juga menterinya
dilepas dari pekerjaannya, karena “whim” (buah hati) saja. Atau karena girang
gembira mendapatkan selir yang cantik molek, maka Fulan yang tak tahu apa-apa
tentang urusan Negara diangkat jadi Menteri, sebab ia sekarang menjadi iparnya
Raja. Kerajaan Tunggal itu mudah sekali bertukar menjadi “Kerajaan
sewenang-wenang”.
SI PACUL : Balasannya tak lain pemberontakan buat mencari
Raja Adil Bijaksana.
SI TOKE : Berapa lama Negara itu beruntung mempunyai seorang
Ratu Adil? Seandainya sesudah naik tahta seumur Ratu Adil. Hidup dia terus adil
bijaksana, tetapi bagaimana kalau turunannya seorang bangsat atau bodoh?
MR. APAL : Ada pula jenis kerajaan di mana kekuasaan Raja
itu amat dibatasi oleh undang-undang. Undang-undang itu dibikin oleh rakyat.
Undang-undang itu tak boleh diubahubah oleh siapapun. Jadi Sang Raja berlaku
dikendali oleh undang-undang dasar. Keadaan begitu kita dapati di Inggris
sekarang dan dahulu kala di Minangkabau. Kerajaan semacam itu dinamai
Constitutional Monarchy (Kerajaan terbatas).
SI TOKE : Jadi yang sebenarnya berkuasa pada kerajaan
terbatas itu ialah undang-undang dasar. Raja itu cuma satu lambang persatuan
saja. Tetapi lambang itu amat mahal. Bukankah rakyat mesti memikul semua ongkos
raja dan keluarganya yang sebenarnya kelas nganggur? Apakah tak lebih murah
harganya dan tepat-jitu sifatnya kalau undang-undang dasar saja yang
memerintah, mengendali Negara?
MR. APAL : Bentuk semacam inilah yang kita sebut sekarang
“REPUBLIK”. Dalan suatu republik Raja dan keluarganya itu tak ada sama sekali.
Dalam suatu republik Negara itu diperintah menurut undang-undang. Perintah itu
terletak di tangan Presiden dan para Menterinya, beserta Sidang Pusat dan
Daerah, dan sebagian juga di Mahkamah Tertinggi.
SI TOKE : Saya minta sedikit penjelasan tentang kalimat
terakhir ini.
MR. APAL : Seorang ahli filsafat Perancis bernama
Montesquieu membagi kerja (function) pemerintahan itu atas tiga bagian : 1.
Kekuasaan membikin undang-undang (Legislative Power). 2. Kekuasaan menjalankan
undang-undang (Executive Power). 3. Kekuasaan mengawasi undang-undang (Judicial
Power). Kekuasaan membikin undang-undang itu ditaruh di tangan sidang
perwakilan. Kekuasaan menjalankan undang- undang itu ditaruh di tangan Sidang Para
Menteri. Akhirnya pengawasan terhadap Negara membikin dan menjalankan
undang-undang itu ditaruh pada Mahkamah Agung.
SI PACUL : Jadi membikin, menjalankan, dan mengawasi undang-
undang itu tidak terletak pada satu orang seperti pada raja. Juga tidak pada
satu badan melainkan pada tiga badan.
MR. APAL : Memang begitu! Dalam undang-undang dasar Amerika
ditegaskan pula, maksudnya tiga pembagian itu ialah buat mengadakan setimbangan
(check and balance) dalam pemerintahan Negara. Tiap-tiap bagian itu ditentukan
pula kekuasaannya dengan undang-undang dan batas kekuasaannya.
SI TOKE : Apakah tiap-tiap bagian tak akan terlampau merdeka
sendiri-sendiri dan menimbulkan kekacauan pula???
MR. APAL : Memang kemungkinan itu ada. Tetapi semua bagian
itu dipersatukan dan dikuasai oleh kelas yang terkuasa dalam Negara Republik
itu dengan perkakasnya yang dinamai birokrasi. Tetapi baiklah kita diamkan saja
perkara ini. Lebih baik kita bicarakan perkara kedaulatan.
B. KEDAULATAN
SI PACUL : Kedaulatan itu sebenarnya apa???
MR. APAL : Kedaulatan itu sebenarnya kekuasaan yang
tertinggi, kekuasaan yang memutuskan suatu persoalan. Sovereignity, namanya
dalam bahasa asing.
SI TOKE : Jadi kalau suatu undang-undang atau tindakan
menimbulkan percekcokan dalam satu Negara, maka kekuasaan tertinggi itulah yang
akan menjatuhkan putusan terakhir. Itulah yang terkuasa, yang berdaulat. Memang
perkara ini satu perkara yang penting. Seharusnyalah dalam sesuatu Negara ada
sesuatu yang memberi putusan terakhir. Tetapi tak pula kurang pentingnya, di
tangan siapakah Kedaulatan itu mesti ditaruh?
MR. APAL : Di zaman Kerajaan-Kota memutus itu terletak di
tangan raja. Jadi undang-undang itu terletak di ujung lidahnya raja atau di
ujung pedangnya saja.
SI PACUL : Benar sekali, bahwa dalam suatu kerajaan, di mana
perkataan raja itu adalah satu undang-undang, harta gampang dirampas,
kemerdekaan orang gampang diperkosa, dan perempuan orang gampang diambil oleh
yang berkuasa.
MR. APAL : Sebab itu menurut dasar republik seharusnyalah
kedaulatan itu di tangan rakyat dan pada undang-undang yang dibikin oleh para
wakil rakyat. Kalau suatu tindakan menimbulkan kesangsian atas benar atau
tidaknya tindakan itu, maka Mahkamah Tertinggi bisa membandingkan tindakan itu
dengan Undang-Undang Dasar. Seandainya sesuatu macam ”pajak” yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat menimbulkan kesangsian itu, maka Mahkamah Agung boleh
memutuskan cocok atau berlawanankah tindakan itu dengan Undang-Undang Dasar.
SI TOKE : Bagaimana kalau putusan Mahkamah Agung itu sendiri
menimbulkan kesangsian pula?
MR. APAL : Dalam hal ini beberapa Negara Republik menaruhkan
kedaulatan itu pada Permusyawaratan Rakyat, umpamanya di Swiss. Suara seluruh
rakyat dewasa dipungut. Ini dinamai referendum rakyat. Suara terbanyak itulah
suara putusan.
SI PACUL : Tiga atau empat juta penduduk Swiss saja tiada
mungkin berkumpul pada suatu tempat buat bermusyawarat dan berunding. Apalagi
70 juta rakyat Indonesia, seandainya bisa mereka meninggalkan kota atau desanya
masing-masing. Jadi bagaimana mempraktikkan kedaulatan rakyat itu???
MR. APAL : Memang bukan perkara mudah menjalankan referendum
itu. Tetapi biasa dijalankan, yakni seperti menjalankan pemilihan juga.
Seandainya warga A dalam Republik itu tak setuju dengan tindakan pajak tadi
maka ia catatkan saja “tidak setuju” dalam kartu resmi. Kartu itu dimasukkan ke
dalam peti umum. Warga B yang setuju, mencatatkan “setuju”. Kalau seandainya di
antara 40 juta warga Negara Indonesia yang berhak bersuara, 30 juta tidak
setuju dan cuma 10 juta yang setuju, maka undang-undang yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat tadi jadi “batal”, yaitu tak sah.
SI PACUL : Kalau begitu memang rakyat yang terkuasa karena
putusan yang terakhir betul di tangan Rakyat Jelata. Gampang tetapi jitu dan
tepat teknik memerintah semacam itu.
SI TOKE : Ingin pula saya hendak mengetahui siapa orangnya
mengeluarkan pikiran itu yang bermula sekali? Siapa pemikir besar yang
menghasilkan paham yang begitu yang berfaedah buat masyarakat manusia?
MR. APAL : Amat susah mengatakan siapa yang sebenarnya “pada
awalnya” memikirkan referendum atau “suara Rakyat” itu. Boleh jadi bukan satu
orang pada satu waktu saja yang mendapatkan pikiran itu. Boleh jadi pikiran
yang bermula keluar itu belum nyata benar, tetapi sudah mempunyai garis besar
atau sifat yang pasti. Boleh jadi pula pikiran itu sudah pasti, tetapi cuma
pinjaman dari orang lain atau negara lain. Boleh jadi pula pungutan “Suara
Rakyat” itu dijalankan begitu saja, bukan sebagai pelaksanaan satu teori atau
paham melainkan sebagai “naluri rakyat murba” belaka (political instinct of the
masses).
SI TOKE : Bagaimana juga, tentu “Suara Rakyat” sebagai
teknik memerintah itu sejalan dengan sempurna atau tidaknya Suara Rakyat itu
mempunyai sejarah. Barangkali bukan sejarah menurut kesempurnaannya.
MR. APAL : Memang “Suara Rakyat” itu bukan saja satu teknik
yang penting gampang buat suatu pemerintahan. Tetapi Suara Rakyat itu juga
menjadi ukuran jauhnya kemerdekaan Rakyat dalam suatu Negara.
SI TOKE : Dengan obor semacam itu cobalah tuan cantumkan
secara sederhana “Suara Rakyat” yang berseluk-beluk dengan Kedaulatan Rakyat
dan kena mengena dengan kemerdekaan Rakyat itu.
MR. APAL : Saudara sudahkah mendengar nama Min Tze, artinya
guru Ming?
SI TOKE : Belum. Tetapi nama guru Kung Cu, yaitu pemikir
Tionghoa memang sudah saya dengar. Hidup kira-kira 2.500 tahun lampau.
MR. APAL : Nah, Guru Kung memang seorang pembentuk
masyarakat Tionghoa yang terbesar. Negara bentukan Guru Kung berdasarkan
kekeluargaan yang dipuncaki oleh Raja dan keluarganya. Muridnya ialah Guru Ming
memberatkan kedaulatan itu bukan kepada Raja seperti gurunya, tetapi kepada
Rakyat Jelata. Maksudnya Guru Ming lebih kurang, apabila Raja itu zalim maka
Rakyat berhak memberontak.
SI TOKE : Jadi bukanlah Rakyat buat Raja, melainkan Raja
buat Rakyat. Seperti pepatah Indonesia di atas: Raja adil Raja disembah, Raja
zalim Raja disanggah.
MR. APAL : Baru saja tahun 1789, jadi lebih kurang 22½ abad
di belakang Guru Ming, Jean Jacques Rousseau, di samping Montesquieu,
mengeluarkan pikiran yang sama artinya dengan pelajaran Guru Ming tadi.
Pengaruh Tionghoa memang terang pada Montesquieu tadi. Dan Rosseau itu dianggap
Nabinya Pemberontakan Perancis.
SI TOKE : Indonesia tak perlu lari ke negara asing saja. Indonesia
sendiri mempunyai “suara rakyat” itu. Di masa luhurnya Minangkabau, abad 14
sampai l6, Minangkabau berdasarkan kekeluargaan juga: Rakyat ber-raja pada
Penghulu Penghulu ber-raja pada Mufakat Mufakat ber-raja pada alur dan patut.
Jadi raja yang diakui lebih tinggi dari Penghulu sebagai wakil rakyat ialah
kata Mufakat. Tetapi “Kata Mufakat” itu mesti diperoleh dengan perundingan yang
merdeka, tenang, dan luas. Putusan yang diperoleh tiadalah takluk pada Kata
Raja atau laskarnya, melainkan pada Alur (logika) dan Patut (keadilan). Alur
dan Patutlah Raja Tertinggi di Minangkabau pada masa jaya. Maharaja di
Minangkabau itu takluk pada Kata Mufakat, pernah disalahkan oleh Mahkamah Agung
Minangkabau. Disangka kedaulatan Rakyat Minangkabau semacam itu, yang berupa
“suara rakyat” itu diturunkan oleh pemikir “Ketumenggungan”.
III. ISI KEMERDEKAAN
SI TOKE : Kalau sebentar kita meninjau perundingan kita
sampai sekarang, nyatalah sudah bahwa “Bentuk dan Isi Kemerdekaan” itu ada dua
perkara yang terpisah.
SI PACUL : Apa yang engkau maksudkan dengan “isi” itu?
SI TOKE : Barangkali saya tak salah, kalau yang isi itu
ialah “Kedaulatan” tersebut. Rupanya Kedaulatan itu berarti “kemauan” atau
“kekuasaan”. Dan pada kekuasaan itulah terletaknya “hak lahir atau batin” dari seseorang
atau golongan orang dalam masyarakat.
SI PACUL : Nah kek, sekarang engkau bawa pulang saya ke
tempat yang lebih kurang saya ketahui. Engkau tadi menerangkan “isi”
kemerdekaan dengan kata yang sudah dikenal seperti kedaulatan, kemauan, dan
kekuasaan. Semua perkataan ini cukup kuketahui tetapi anak kalimat “hak lahir
dan batin” itu apa pula maknanya.
SI TOKE : Hak lahir ialah hak atas keperluan hidup, seperti
makanan, pakaian, perumahan, gaji, dan sebagainya. Hak batin ialah hak buat
merdeka berkumpul, berbicara, menulis, hak buat melindungi harta, kemerdekaan,
dan jiwa, yang di zaman Revolusi Perancis dinamai “hak manusia”.
SI PACUL : Kalau begitu engkau memberi pemandangan baru pada
saya, kek. Hak lahir dan hak batin itu memang tak terlihat pada buntutnya
kemerdekaan, yakni bentuk suatu Negara Merdeka. Dalam negara berbentuk kerajaan
boleh jadi lebih besar golongan yang berhak (lahir dan batin) daripada dalam
negara berbentuk Republik.
SI TOKE : Engkau ini memang cepat memahami suatu paham!
Cepat dan tepat bertanya dan melaksanakan! Sekarang aku sendiri tak cukup
mengerti apa yang kau maksudkan dengan kalimat di belakang ini.
SI GODAM : Memang petani itu sering mempunyai pikiran sehat
segar seperti buah jeruknya.
SI PACUL : Baru sekarang engkau muncul, Godam. Selama ini
engkau menonton saja, diam-diam saja engkau pura-pura tak mengerti! Sekarang
sesudah sampai ke perundingan perkara “isi” kemerdekaan baru engkau muncul.
SI TOKE : Biarkanlah dahulu si Godam ini. Nanti tentu dia
akan muncul terus. Tetapi cobalah tegaskan apa yang engkau katakan tadi, Cul,
bahwa dalam sesuatu kerajaan boleh jadi besar golongan yang berhak (lahir dan
batin) daripada dalam suatu republik.
SI PACUL : Contoh yang segar-bugar gampang kita kemukakan.
Lihatlah Jerman Nazi adalah satu Republik. Tetapi golongan yang paling besar
dalam negara (yakni kaum proletar) digencet sehebat-hebatnya. Gaji buruh
diturunkan, lama kerja diperpanjang buat menghasilkan alat perkakas perang.
Gestapo bermaharajalela buat membasmi kumpulan dan rapat buruh. Cuma sebagian
kecil warga negara Jerman (yakni kaum Fasis) yang mempunyai hak lahir dan batin
itu. Sebaliknya di Inggris, negara merdeka berbentuk kerajaan, besar golongan
yang berhak lahir dan batin itu daripada di Jerman. Gaji lebih tinggi, lama
kerja lebih kurang, dan hak berkumpul, berunding, dan menulis lebih luas.
SI GODAM : Ya benar kalau engkau membandingkan satu kerajaan
dengan republik semacam itu. Memang bentuk itu tak memastikan isi. Jadi tidak
dalam semua kerajaan hak lahir dan batinnya golongan rakyat itu diperkosa.
Tidak dalam semua republik sebaliknya hak lahir dan batinnya golongan terbesar
itu terjamin.
SI TOKE : Sekarang saya sudah mengerti. Jadi besarnya
kemerdekaan dalam suatu negara merdeka itu mesti diukur dengan besarnya
golongan orang dalam negara itu yang mempunyai hak lahir dan batin.
SI PACUL : Kalau begitu dalam Negara Merdeka yang selalu
dipuji oleh Denmas tentulah kaum yang sedikit itu yang sebenarnya merdeka.
SI TOKE : Engkau jangan menyindir-nyindir, Pacul. Denmas toh
bukan absolutis, penganut kerajaan Tunggal. DENMAS : Memang bukan! Tadi si
Pacul sendiri sudah memberi contoh bahwa bentuk itu belum memastikan isinya.
Bukankah dalam negeri merdeka berbentuk kerajaan seperti Inggris golongan yang
mempunyai hak lahir dan batin cukup besar? Pacul sendiri yang memberikan contoh
ini!
SI GODAM : Cukup besar tetapi .....................
SI TOKE : Diam dulu, Dam, aku sudah tahu ke mana engkau mau
pergi. Cukup besar, tapi sama sekali belum lagi cukup! Bukankah begitu, Dam?
MR. APAL : Sebenarnya, semenjak ahli pikir Aristoteles sudah
banyak perubahan isi dalam bentuk negara merdeka, baik berupa Kerajaan maupun
Republik. Dalam kitab kuno memang biasa sekali dianggap bahwa dalam satu
kerajaan itu raja dan keluarganya yang berkuasa, berdaulat, jadi berhak lahir
dan batin. Tetapi sekarang Inggris memberi contoh yang aneh.
SI TOKE : Bagaimana pula buku kuno itu menjeniskan Republik?
MR. APAL : Banyak pula jenisnya Republik itu. Republik itu
bisa aristokratis, artinya di sana kaum ningrat yang berkuasa, seperti Republik
Sparta di masa lampau. Republik itu bisa plutokratis Di sana kaum hartawanlah
yang memegang tampuk kekuasaan, yakni yang sebenarnya berdaulat. Ada pula yang
demokratis! Di sini rakyatlah yang berkuasa. Inilah sebenarnya watak Negara
Modern yang besar-besar di zaman sekarang. Contohnya yang nyata ialah Amerika
Serikat. Di sinilah Rakyat yang berdaulat, berkuasa, yang menentukan baik atau
tidaknya Undang-undang, yang memilih dan melepas Presiden, para Menteri, dan
wakil Dewan Negara. Di sinilah hak lahir dan batin hampir seluruh masyarakat
terjamin.
SI PACUL : Bagaimana, Dam?
SI GODAM : Kapitalisme dan Birokratis! Itu yang berdaulat di
semua negara merdeka di dunia ini, berbentuk Kerajaan ataupun Republik, baik
plutokratis ataupun demokratis!
IV. BIROKRASI
SI PACUL : Nah, Dam, sekarang rupanya engkau punya giliran.
Lebih dahulu aku mau tanyakan. Birokrasi itu sebenarnya apa?
SI GODAM : Birokrasi itu adalah seekor ular berkepala 10,
tersembunyi tempatnya dan dengan begitu dia leluasa menyemburkan racunnya ke
arah musuhnya.
SI PACUL : Jangan pakai perumpamaan begitu, Dam! Saya mau
keterangan yang pasti. Saya sudah banyak kali mendengar kata birokrasi itu.
Tetapi artinya yang sebenarnya saya sampai sekarang belum tahu.
SI GODAM : Birokrasi ialah perkakas memerintah dan
administrasi yang di zaman kapitalisme menjadi perkakas menindas kaum pekerja.
Mulanya biro, kantor itu memang perlu buat satu pemerintah dan satu
administrasi. Tetapi lama kelamaan oleh pengaruh kapitalisme menjadi badan yang
terpisah dari Rakyat murba dan dipakai sebagai alat penindas semua gerakan
murba yang membahayakan kekayaan dan kekuasaan kaum kapitalis yang di zaman
kapitalisme memiliki birokrasi itu.
SI PACUL : Sedikit terang. Tetapi belum cukup terang.
Cobalah lanjutkan.
SI GODAM : Administrasi tentulah perlu buat satu negara.
Sedangkan buat satu perusahaan saja perlu administrasi itu. Dalam satu
perusahaan saja, bukankah perlu dicatatkan keadaan pekerja dalam tiap waktu.
Umpamanya perusahaan itu mau tahu berapa pekerjanya. Pada permulaan bulan 4
tadi umpamanya 100 orang. Kalau yang masuk di bulan itu 100 orang dan keluar 50
orang, jadi sisa penghabisan bulan empat itu 150 orang. Nama, bagian pekerjaan,
umur, asal, keluarga, sekolah dll tiap-tiap pekerja mesti didaftarkan supaya
jangan mendatangkan kekacauan. Gajinya berhubung dengan pengalaman, sekolah dan
kecakapannya mesti didaftarkan pula. Buat kesehatan, perpindahan, atau
kematian, pekerjaannya mesti ada pula pendaftaran yang cukup. Belum lagi
perkara hasil atau produksi perusahaan itu: turun naiknya, masuk keluarnya
hasil itu. Perkara gaji buruh halus di kantornya! Perkara keuangan, bahan,
penjualan, dan bermacam-macam perkara lain buat beresnya satu perusahaan itu
saja.
SI PACUL : Satu perusahaan saja sudah begitu banyak cabang
pekerjaan dan cabang administrasi. Apa lagi satu negara.
SI GODAM : Apa lagi satu Negara yang mempunyai cacah jiwa
sampai puluhan juta, yang turun naik pula penduduknya, yang mempunyai banyak
jabatan dalam Pemerintahan Negara seperti jabatan politik Negara, Pertahanan
Negara, Perekonomian, Lalu-Lintas, Perhubungan, Keuangan, Penerangan-
penerangan, Pendidikan. Berapa banyaknya cabang pekerjaan dan berapa banyak
ranting dan lain-lain, dan anak ranting pekerjaan. Susahnya pula, semua ranting
mesti dipusatkan ke cabang dan semua cabang dipusatkan kepada bagian dan semua
bagian di pusat, dipusatkan pula ke PUSAT Negara seluruhnya.
SI PACUL : Pusing kepala saya memikirkan. Memang pekerjaan
itu menjadi sulit kalau didengar begitu saja. Tetapi tidak begitu sulit kalau
tiap-tiap ranting cabang dan pusat mengetahui hak dan kewajiban sendiri dan
berani tanggungjawab ke atas dan ke bawah. Salahnya, yang di bawah tak berani
tanggung jawab dan yang di atas mau memungut semua kekuasaan untuk memutuskan,
tetapi sering pula tak berani menanggungjawab putusannya itu. Yang di bawah
yang tak berani tanggung jawab itu menanti-nantikan saja putusan dari Atas,
sampai di atas bertimbun-timbun perkara yang mesti diputuskan.
SI TOKE : Sampai perkara tetek-bengek mesti diputuskan di
Atas, karena yang bawahan tak berani memutus.
SI GODAM : Begitulah administrasi itu menjadi Berat-Kepala
(topheady). Lebih berat kepalanya daripada kakinya. Karena semua putusan mesti
datang dari atas, maka semua putusan itu terlambat datangnya ke bawah. Tindakan
yang mesti dijalankan dengan cepat mesti ditunda karena menunggu putusan atas.
Tindakan itu sering terpaksa ditunda selamanya, karena tidak akan berhasil lagi
kalau dijalankan juga, sudah terlewat.
SI PACUL : Apakah semua tindakan mesti ditunda buat semua
orang dan semua golongan?
SI GODAM : Tentu tidak! Inilah akibat pertentangan dalam
dunia kapitalisme. Kesulitan dalam administrasi itu memberi kesempatan pada
kaum hartawan buat menduduki administrasi itu. Mereka adakan sekolah menengah
dan tinggi buat mendidik anak yang mampu mengadakan dan menjalankan
administrasi yang sulit bertingkat-tingkat (hirarkis).
SI PACUL : Anak yang mampu tentulah anak kaum kapitalis.
SI GODAM : Tepat Cul. Dan anak kapitalislah yang memegang
buku, sebagai pemegang Staat ini dan Staat itu, yang diatur secara akademis,
yang cuma bisa dimonopoli golongan terpelajar, anaknya kapitalis.
SI PACUL : Begitu semua biro, semua kantor itu jatuh ke
tangan golongan kapitalis, sudah tentu kantor itu menjadi perkakasnya golongan
kapitalis, terutama golongan bankir.
SI GODAM : Tepat, Cul. Dan karena keperluan Kapitalis dan
Buruh bertentangan seperti hidup dan mati, sudah tentu semua undang-undang dan
tindakan yang menguntungkan kapitalisme lekas dijalankan oleh birokrasi yang
dikepalai oleh Menteri Negara. Pendeknya, tuntutan si kapitalis biasanya tiada
ditunda. Tetapi semua undang-undang dan tindakan yang merugikan kaum kapitalis
dan menguntungkan kaum pekerja tentulah “gampang disabot”, dimogoki, dimogok
“sit-down” oleb kaum birokrat, ular tersembunyi dalam administrasi Negara itu.
SI PACUL : Aku mengerti, Dam, kenapa tadi birokrasi itu
engkau namai ular berkepala sepuluh. Tetapi saya harap kepalanya bukan 10
melainkan 13.
SI TOKE : Benar, Cul! Memang dia akan celaka 13. Kalau saja
kelak wakil kaum buruh mendapatkan suara lebih dan merebut kursi lebih dalam
parlemen. Para wakil buruh akan bisa bikin undang-undang buat mengadakan
tindakan yang akan melenyapkan, menghancurluluhkan kapitalisme.
SI GODAM : Tunggu dulu Kek! Tunggu dulu! Tak gampang kaum
buruh suatu negara merebut kursi lebih dalam parlemen. Sekalipun dapat, tak
bisa ia menghancurkan kapitalisme kalau tak dengan pemberontakan. Si Pacul :
Nah lho!
V. AKSI PARLEMENTER ATAU AKSI MURBA?
A. AKSI PARLEMENTER
SI PACUL : Nah, Godam, masih dalam giliranmu sekarang.
Terangkanlah mana yang baik, aksi parlementer atau aksi murba (aksi massa).
SI GODAM : Saya ulangi sekali lagi. Merebut kursi terbanyak
dalam parlemen itu adalah satu perkara yang amat susah, walaupun mungkin.
SI PACUL : Terangkan dulu, apa maksudnya merebut kursi
terbanyak itu!
SI GODAM : Umpamanya Parlemen mempunyai wakil rakyat 600
orang! Kalau kaum buruh, yang memang terbesar dalam satu negara modern,
mendapatkan wakil dalam pemilihan wakil ke Parlemen umpamanya 301 orang saja
dalam teori ia sudah mendapat suara lebih, ialah 2 orang lebihnya dari semua
golongan lain, yang 299 itu. Dalam hakikatnya kaum buruh di Inggris, Amerika,
atau Jerman memang bisa mendapatkan 2/3 atau 3/4 dari seluruh suara, ialah
menurut besar kelasnya proletar, yang ada di negara tersebut.
SI PACUL : Jadi dengan kursi terbanyak itu kaum buruh bisa
mengadakan undang-undang dalam Parlemen, buat melenyapkan hak milik
perseorangan atas industri penting umpamanya. Industri penting bisa dijadikan
milik Negara. Produksi dan distribusi diatur secara kolektif. Semuanya
dijalankan secara mengusul dan memutuskan dengan suara lebih dalam Parlemen.
SI GODAM : Benar begitu, tetapi walaupun kaum buruh lebih
banyak orangnya, ia kalah saja berteriak dalam pemilihan para anggota Parlemen
itu.
SI PACUL : Sebab apa, Dam?
SI GODAM : Sebab yang berteriak memajukan dan memuja-muja
para calon wakil itu di zaman kapitalisme ini ialah fulus, uang. Siapakah yang
bisa mengirimkan propagandis ke kota- kota dan semua pelosok?
SI PACUL : Tentu kapitalis.
SI GODAM : Siapa pula yang bisa menyewa gedung besar-besar
buat rapat umum? Mempunyai persuratkabaran, majalah, radio, sandiwara, buat
memuja-muji calon sendiri dan mencemoohkan calon lawan.
SI PACUL : Tentu kaum fulus.
SI GODAM : Kepada kaum mana memihaknya profesor, guru,
gereja, dan pujangga dalam negara kapitalis?
SI PACUL : Ya, ya, Dam. Engkau tak perlu lanjutkan. Sebab
itu di Amerika negara yang modern dan kapitalis tulen itu, sampai sekarang
belum pernah kaum buruh mendapat suara terbanyak dalam parlemen walaupun di
Amerika itu sebelum perang besar tetap 11 juta buruh menganggur.
SI TOKE : Di Inggris, sekarang kaum buruh ke 3 kalinya
mendapat kementerian Negara. Sekarang Partai Buruh mempunyai suara terbanyak
pula dalam Parlemen Inggris.
SI GODAM : Yang ketiga kalinya pula partai kaum buruh
Inggris akan memperlihatkan kepada proletar Inggris dan dunia lain, bahwa
mengadakan undang-undang buat melenyapkan kapitalisme Inggris itu bukanlah
perkara menghitung “suara” atau “kursi” dalam parlemen saja. Memang menurut Karl
Marx, mungkin sosialisme dijalankan di Inggris dengan jalan parlementer itu.
Tetapi di masa Marx, birokrasi Inggris belum begitu kuat, licik, dan ganas
seperti di abad ke 20 ini.
SI TOKE : Kalau undang-undang penghapusan kapitalisme sudah
diterima dalam Parlemen, maka administrasi yang dikepalai Perdana Menteri
Sosialis toh boleh perintahkan kepada administrasi untuk menjalankan
penghapusan kapitalisme itu.
SI GODAM : Dalam teori memang begitu. Tetapi jarang manusia
yang menghukum mati dirinya sendiri itu. Administrasi itu seperti sudah
dibilang di atas dipegang oleh keluarga borjuis, pengikut kaum kapitalis. Semua
otak hati jantungnya serta pengalamannya sudah dipusatkan pada Arsip Raja,
dalam gedung administrasi itu. Orang lain dari golongan lain susah memasuki
gedung arsip yang penuh rahasia itu. Berbenteng pada arsip rahasia itu sang
jurutulis gampang mengadakan pemogokan atau sabot terhadap perintah menteri
sosialis. Berbenteng pula pada arsip-gaib-rahasia itu sang jurutulis, sang
komis kelas satu, kelas dua ... sampai tiga belas. Berhubungan pula dengan
polisi, kehakiman, tentara, dan terutama dengan bank negara dan bank
partikelir. Di zaman kapitalisme ini bank itulah yang menjadi bentengnya
kapitalisme, bank itulah yang mengendali perindustrian di dalan negeri dan
akhirnya mengendalikan politik negara.
SI PACUL : Jadi sekarang terang kedudukan kekuasaan dalam
negara kapitalis itu buat saya, Dam. Kaum kapitalis yang mempunyai benteng
lahir pada golongan bankir, mempunyai tukang sulap yang tidak kelihatan pula
dalam administrasi, berupa birokrat. Kalau wakil borjuis kalah dalam parlemen
ia minta bantuan pada tukang sulapnya, ialah sang birokrat dalam administrasi.
Kalau di sini ia kalah pula, ia baru minta bantuan pada polisi, yustisi, dan
tentara. Mereka opsir tinggi dari polisi, yustisi, dan tentara itu tentulah
anak kaum mampu, yakni kaum borjuis, maka tentulah pula polisi, yustisi, dan
tentara –semua badan pembela keamanan negara itu—pembela negara kapitalis.
Tegasnya dalam pertentangan Kapitalis-Proletar tentulah polisi, yustisi, dan
tentara itu membantu kapitalis dan membasmi proletar.
SI GODAM : Begitu mestinya, Cul! Pada semua pergerakan
murba, maka terang benar birokrasi menjadi perkakas kapitalis menindas semua
gerakan yang menentang kapitalisme. Begitu di semua negara Eropa. Berhubung
dengan itu maka 100 tahun lampau Marx dalam salah satu bukunya yang banyak
mengandung sejarah sudah berkata: “Staat itu tak boleh diambil oper begitu saja
oleh kaum buruh (revolusioner), tetapi mesti dihancurkan dan diganti dengan
administrasi kaum buruh.” Yang dimaksud dengan staat itu, dengan Negara itu,
tentulah terutama juga administrasi dan birokrasi tadi.
SI PACUL : Kalau parlemen dan aksi parlementer itu tak boleh
dipakai, dan administrasi bersama birokrasinya tak boleh diambil oper begitu
saja, bagaimana jalan menghapuskan kapitalisme itu??
SI GODAM : Sekarang kita sampai kepada aksi murba. Memang
engkau sebagai wakil proletar tani tertarik ke jalan massa-aksi itu. Tetapi tak
mengherankan pula kalau Denmas, Mr. Apal, dan si Toke, burger kecil ini
menguap-nguap saja, seperti orang tak peduli.
B. AKSI MURBA
SI GODAM : Aksi murba itu tentulah mengandung beberapa
syarat yang penting pula. Sudahlah tentu perkara kalah menang mesti dipikirkan.
SI PACUL : Sudah mestinya kekuatan lahir dan batin yang ada
pada lawan kita mesti dibandingkan dengan kekuatan lahir dan batin yang ada
pada kita. Seharusnya para pemimpin murba itu tak boleh menyia-nyiakan ribuan
jiwa yang diserahkan pada pimpinannya.
SI GODAM : Semestinya kita tidak takut berkorban. Tetapi
semestinyalah pula kita tiada boleh berkorban sia-sia. Tiap-tiap tetes darah
mengalir, mestinya mendapatkan hasil yang seimbang.
SI PACUL : Kemenangan itu tentulah berupa kemenangan politik
dan ekonomi.
SI GODAM : Selain perkara perbandingan kekuatan, mesti pula
dipikirkan perkara “tempo dan tempat”. Pada waktu musuh sedang kuat, dan
kekuatannya terpusat pula pada suatu tempat, sudahlah tentu kita bodoh sekali
kalau menyerang dengan kekuatan kurang, pada “tempo dan tempat” yang baik buat
musuh itu.
SI PACUL : Sekurangnya kita mesti tambah tenaga dan susun
lebih baik lagi tenaga yang sudah ada. Selain dari itu kita mesti tunggu pula
tenaganya musuh yang terpusat itu dicerai-beraikan. Atau tunggu temponya musuh
sedang lengah.
SI GODAM : Jadinya, pendek kata carilah gelang yang lemah
pada rantai pertahanan musuh. Putuskan rantai itu dan musnahkan tiap-tiap
bagian yang lemah itu!!
SI PACUL : Apa lagi yang mesti diperhatikan?
SI GODAM : Memang banyak lagi. Syarat yang penting buat
seorang pemimpin –pemimpin apapun juga—ialah pemimpin itu pertama mesti
mempunyai kecakapan memimpin. Kedua dia mesti bisa menaksir keadaan sekarang
dan besoknya; dan ketiga dia mesti ulet, tidak lekas patah hati, melainkan
mempunyai kemauan baja. Ia tak boleh diombangambingkan oleh kemenangan dan
kekalahan sementara, melainkan tetap pegang teguh hasratnya berjuang dan
kebenaran alasannya buat berjuang. Ketetapan hati itu mesti tergambar di
wajahnya kalau berhadapan dengan pengikut dan teman seperjuangannya, apalagi
dalam marabahaya.
SI PACUL : Memang pemimpin yang tak melihat garis besar
gerakan politik, tak mempunyai hasrat, kemauan, dan iman teguh tak akan bisa
mengendalikan pengikutnya, apalagi mengendalikan keadaan.
SI GODAM : Pimpinan mesti mempunyai sumber yang terus
mengalir. Artinya itu ia tak boleh pegang satu teori saja kalau menyerang atau
mempertahankan. Dia mesti cakap mengadakan muslihat baru pada keadaan baru.
Pelajaran yang dihafalkan dari buku saja tiada cukup.
SI PACUL : Jadi engkau sudah majukan: 1. Perkara perhitungan
kalah-menang (perbandingan kekuatan), 2. Perkara tempo dan tempat, 3. Syarat
pemimpin dan pimpinan, 4. Sumber yang terus mengalir di pihak pimpinan. Apakah
persatuan tidak penting???
SI GODAM : Penting sekali, Cul. Itulah jiwanya suatu
perjuangan. Walaupun syarat yang empat tadi ada, tetapi kalau persatuan dalam
barisan yaag dikerahkan itu lemah atau tak ada sama sekali, sudahlah tentu tak
ada harapan buat menang, kecuali kalau lawan itu lebih lemah lagi dalam
segala-galanya. Tetapi persatuan itu mesti mempunyai dasar yang teguh.
SI PACUL : Bukannya disiplin dasar yang teguh itu?
SI GODAM : Betul, disiplin adalah satu syarat atau dasar
persatuan itu, tetapi disiplin itu sendiri mesti berdasar pula.
SI PACUL : Apakah pula dasarnya disiplin itu?
SI GODAM : Inilah perkara yang penting dalam Aksi Murba.
Dalam aksi militer, disiplin itu semata-mata berdasar atas perintah yang kuasa
saja. Tetapi dalam Aksi Murba, disiplin itu mesti dimengerti dan dirasa. Jadi
dasarnya ialah keperluan bersama, kepentingan bersama di pihak murba. Atas keinsyafan
sama kepentingan, sama tujuan, dan sama berjuang itulah dirasa perlunya
disiplin. Artinya disiplin dalam aksi murba ialah dengan sejujur-jujurnya dan
sebaik-baiknya menjalankan suatu putusan, yang sudah diputuskan bersama-sama
menurut suara yang terbanyak.
SI PACUL : Tetapi toh tidak sama keperluan tani, buruh,
saudagar, dan penduduk kota?
SI GODAM : Tepat perkataanmu itu, Cul. Betul tidak sama
tetapi ada persamaan. Kucing memang tidak sama dengan macan, tetapi banyak
persamaannya. Lebih banyak persamaan kucing dan macan daripada antara kucing
dan ikan atau kucing dan tongkat.
SI PACUL : Jangan filsafat, Dam! Bentangkanlah persamaan
yang praktis!
SI GODAM : Persamaan dari masing-masing orang kelas proletar
tentulah nyata. Mereka sama ditindas dengan cara yang sama. Mereka sama-sama
menghendaki perubahan yang sama pula. Lebih mudah mengadakan persatuan dan
disiplin di antara satu kelas manusia itu. Persatuan dan disiplin bisa
didasarkan pada keperluan sama, yakni sama-sama menuntut hak lahir dan batin (gaji,
lama kerja, hak berkumpul dan rapat).
SI PACUL : Tetapi di manakah letaknya persamaan keperluan
tani, buruh, dan penduduk kota?
SI GODAM : Baik, saya ambil contoh yang tepat saja, Cul.
Ambil Rusia di tahun 1917. Susunan masyarakat di masa itu: Di puncak ada Tsar
dengan keluarga ningratnya yang memiliki tanah luas-luas sekali. Yang
mengerjakan tanah itu ialah tani melarat. Tani melarat itu terbagi pula atas 3
golongan. Kesatu yang hidup memburuh sama sekali; kedua setengah memburuh dan
setengah bertani; dan ketiga tani yang membanting tulang buat hidup cukup saja.
Ketiga golongan itu revolusioner terhadap Tsar. Selain tiga golongan tani
melarat ini ada lagi tani sedang. Tani ini memakai buruh sampai 10 orang.
Tetapi masih mau perubahan demokratis. Begitu juga tani besar. Selain tani, ada
lagi kelas borjuis besar, tengah, dan kecil. Semuanya menghendaki hak
demokratis (perwakilan rakyat dsb). Kelas yang paling terkemuka dalam
pemberontakan ialah buruh-industri.
SI PACUL : Bagaimana kaum komunis mengadakan persatuan di
antara borjuis, tani, dan proletar itu?
SI GODAM : Itulah keulungan komunis Rusia. Dia tahu bahwa
kaum borjuis besar revolusioner terhadap feodalisme, keningratan di bawah Tsar.
Selama menentang Tsar dan kaum ningrat itu mereka bikin satu barisan rakyat.
Jadi di masa ini persatuan itu mengikat borjuis besar-tengah-kecil, tani
besar-tengah-kecil, dan proletar, sampai feodalisme terbengkalai. Baru sekarang
ditantang dan dibengkalaikan borjuis besar-tengah-kecil. Akhirnya, tinggalah
persatuan kekal antara proletar mesin dan proletar tanah.
SI PACUL : Jadi pada tiap-tiap tingkat pertarungan itu
dicari persamaan tuntutan berdasarkan persamaan keperluan. Apakah persamaan
tuntutan proletar mesin dan proletar tanah?
SI GODAM : Kedua golongan menghendaki perdamaian. Jadi
mereka sama-sama meletakkan senjata menghentikan berperang dengan Jerman.
Selanjutnya para proletar pabrik merebut pabrik, dan kaum borjuis dan proletar
tanah merebut tanah dari kaum ningrat. Dengan begitu proletar dan tani sama
sama menentang kontra-revolusioner dari pihak borjuis dan ningrat.
SI PACUL : Jadi kalau saya mengerti betul, Dam, Komunis
Rusia pada tiap-tiap tingkat perjuangan memusatkan pukulannya terhadap satu
musuh saja. Dalam hal itu dia menjaga persatuan dalam barisannya sendiri,
walaupun terdiri dari berbagai golongan.
SI GODAM : Itulah keulungan Komunis Rusia, Cul!
VI. MERDEKA 100%
SI TOKE : Apa yang dimaksudkan dengan merdeka 100%? Buat
saya merdeka itu merdeka tak ada batasnya.
SI GODAM : MERDEKA itu memang selalu ada batasnya. Batasnya
itu pertama terhadap ke dalam. Kedua terhadap keluar.
SI TOKE : Apa artinya?
SI GODAM : Terhadap ke dalam! Bukankah tiap-tiap orang dalam
negara merdeka itu mesti menghargai kemerdekaan tiaptiap warga lain? Jadi tiada
boleh berbuat sekehendak hatinya saja terhadap warga sejawatnya. Di sinilah
terletak batasnya.
SI PACUL : Kalau begitu terhadap keluar: tiap-tiap negara merdeka
mesti pula mengakui kemerdekaan tiap-tiap Negara Merdeka yang lain, besar atau
kecil. Berapa pun kuatnya satu negara merdeka tidaklah dia bisa berbuat
sekehendak hatinya saja terhadap negara lain. Dengan begitu maka kemerdekaan
satu negara terletak pula pada kemerdekaan negara lain, jadi arti luasnya pada
suasana kemerdekaan umumnya.
SI GODAM : Tepat, Cul! Kalau suasana kemerdekaan itu dalam
arti umum terganggu, maka lambat laun akan hilang kemerdekaan tiap-tiap negara.
Lihatlah contoh di sekitar kita dan dalam sejarah dunia! Berapapun kuat satu
Negara Merdeka, yang memperkosa kemerdekaan negara lain akhirnya ia jatuh juga!
SI TOKE : Kalau satu negara merdeka mesti menghargai
kemerdekaan negara lain pula tentu satu warga negara merdeka mesti pula menghormati
warga negara lain sebagai tamunya. Bukankah begitu?
SI GODAM : Sebenarnya begitu! Di sana teranglah sudah bahwa
kemerdekaan manusia itu mengandung “perdamaian” buat seluruh manusia.
Perdamaian itulah dasar kemakmuran. Akhirnya kemakmuran itulah pula yang
menjadi dasar kemerdekaan.
SI PACUL : Memang kemerdekaan, perdamaian, kemakmuran itu
berseluk-beluk. Tetapi kalau kubiarkan engkau melanjutkan perundingan tentang
kemerdekaan itu secara begitu, aku takut kita akan selangkah demi selangkah kau
bawa ke ‘jurang’ filsafat. Baiklah kita kembali ke tanah yang datar. Berilah
contoh yang pasti (konkret) tentang batas kemerdekaan itu.
SI GODAM : Pertama batas itu boleh berupa daerah.
Kemerdekaan Spanyol amat terbatas karena Inggris menduduki Karangbatu bernama
Gibraltar buat dijadikan benteng. Ini berarti satu pistol mengancam dadanya
Spanyol. Begitu pula Terusan Suez, Tanah-Asing di Shanghai dan lain-lain.
SI PACUL : Walaupun daerah itu kecil, tetapi ia amat
menguasai politik ke dalam dan ke luar Negara yang diduduki. Apalagi batasnya?
SI GODAM : Batas yang terang tentulah berhubung dengan
pembatasan kedaulatan. Tentulah tak ada Negara yang merdeka dalam arti liar. Di
atas sudah disebutkan batas tiap-tiap Negara Merdeka itu ke dalam dan keluar.
Tetapi itu berlaku buat tiap-tiap negara, dimengerti dan dirasa perlunya oleh
tiap-tiap Negara. Tetapi status (kedudukan dalam politik) seperti Dominion
Status, Free-State (Irlandia) atau Gemeenebest yaag didengung-dengungkan oleh
Belanda itu adalah batasan pincang.
SI PACUL : Sebenarnyalah begitu. Karena Indonesia yang
digemeenebest- kan oleh Belanda itu tiadalah meng-gemeene-kan Belanda. Jadi
batas itu berlaku buat Indonesia saja. Seolaholah Indonesia kurang dari
Belanda.
SI GODAM : Apalagi kalau suatu Negara Merdeka mencampuri
administrasinya Negara lain. Keadaan ini terjadi pada semua jajahan. Hal ini
tak perlu dilanjutkan. Indonesia sudah tahu bahwa urusan administrasi dari desa
sampai ke daerah, ke pulau, dan akhirnya sampai ke semua kepulauan, hingga 17
Agustus 1945 dicampuri oleh Belanda.
SI PACUL : Jadi batasan pasti yang sudah engkau sebutkan
ialah: batasan daerah, batasan kedaulatan, dan batasan administrasi. Tidakkah
ada batas-batas yang lain-lain?
SI GODAM : Secara lahir tidak-ada lagi. Tetapi secara
tertutup ada. Sudahkah engkau mendengar nama-nama Negara Merdeka seperti
Meksiko, Honduras, Kuba, Peru, Brasil, juga Tiongkok sebelum Perang Dunia kedua
ini?
SI TOKE : Semua negara itu memang Merdeka. Semua negara itu
mempunyai Undang-Undang Dasar sendiri dan merdeka memilih dan memecat
pemerintahnya sendiri. Selain itu juga merdeka menentukan politiknya ke luar
negeri.
SI GODAM : “Rupanya” begitu dipandang dari luar. Ambil saja
Meksiko sebagai contoh. Selama pemerintah Meksiko mengakui keleluasaan kongsi
minyak Inggris-Amerika di Meksiko, selama itu pula ada pengakuan penuh dari
Inggris- Amerika. Tetapi coba timbul pemerintahan Meksiko yang menentang kongsi
minyak itu. Sebentar saja timbul revolusi dari golongan Meksiko juga, yang
disokong oleh kongsi minyak. Satu jenderal Meksiko diadu dengan jenderal
Meksiko yang lain. Barangkali kedua jenderal itu cinta pada Negara dan
Rakyatnya. Tetapi mereka sadar atau tidak, gampang dibelit oleh “lasso” (tali
pengikat) yang ujungnya berada di kantor pusat kongsi minyak di Amerika yang
tentu berhubungan pula dengan birokrasi Amerika. Demikianlah semua
pemberontakan di Amerika Tengah dan Selatan, seperti juga dahulu di Tiongkok
disebabkan oleh pengaruh busuk kapitalisme asing yang bersarang di Negara yang
menurut syarat Undang-Undang Internasional memang merdeka.
SI PACUL : Jadinya kapital-asing itu kalau ditanam begitu
saja dalam suatu Negara Merdeka bisa mengacaukan politik Negara Merdeka itu.
Bisa mengadudomba sebagian penduduk terhadap bagian lain dari penduduk Negara
itu juga.
SI TOKE : Jadinya kita tak perlu kapital-asing? Bukankah
Indonesia tak cukup mempunyai mesin dan uang buat mengganti mesin yang sudah
rusak dalam peperangan sekarang dan buat menambah mesin yang baru???
SI GODAM : Sebenarnya kita membutuhkan mesin, bahkan juga
beberapa ahli. Malah kita membutuhkan berlipat-ganda mesin dan para ahli asing
buat mendirikan perindustrian baru dan memperbaiki yang lama. Berapa puluh
lokomotif, mesin kapal dan kapal terbang kita butuhkan. Lebih dari itu, tidak
saja mesin yang sedia buat dipakai kita perlukan. Tetapi juga mesin yang
membikin mesin. Kita perlukan mesin yang akan membikin mesinnya oto, membikin
lokomotif, membikin mesin kapal air dan udara, membikin meriam, tank, bom-atom
dll, pendeknya “mesin-induk”. Berhubung dengan itu kita perlukan pula para ahli
yang kita belum punya.
SI TOKE : Bingung aku mendengarnya. Tetapi di samping itu
bukan main girang hatiku mengelamunkan “Indonesia punya atas Mesin-Induk” itu,
mempunyai “Industri Berat” itu. Tetapi uangnya???
SI GODAM : Uang tak perlu! Tetapi yang perlu ialah
KEMERDEKAAN 100%. Sekali lagi! Uang sebagai kapital-asing tak perlu. Malah
membahayakan dan tidak membawa Indonesia ke arah yang kita tuju.
SI TOKE : Sekarang saya bertambah pusing Dam. Membahayakan
bagaimana? Tidak membawa kita ke tempat yang kita tuju bagaimana?
SI GODAM : Membahayakan dan tiada menyampaikan maksud,
seperti terjadi di Amerika Tengah dan Selatan, Kek. Sekarang Amerika Tengah dan
Selatan tak bisa bikin mesin apalagi bikin mesin-induk. Pengaruh kapital-asing
di Amerika Tengah dan Selatan tak membenarkan sekalian Republik Merdeka itu
mempunyai dan menyelenggarakan sendiri Industri Berat. Sebab kapital-asing itu
takut akan persaingan. Takut kalau-kalau kelak industri berat di Amerika Tengah
dan Selatan menyaingi atau membunuh industri berat atau ringan negara yang
meminjamkan modal. Karena pemerintah Negara di Amerika Tengah dan Selatan
terikat oleh uang pinjaman dari Inggris-Amerika, dia tak bisa mengambil
tindakan yang tepat buat mendirikan Industri Berat Nasional.
SI TOKE : Baiklah kita tinggalkan dahulu Amerika Tengah dan
Selatan itu. Kau bilang tak baik kalau kita menerima modal asing. Baik! Kita
butuhkan Industri Berat. Tetapi uang dari mana kita ambil? Para ahli ke mana
kita cari di antara bangsa Indonesia?
SI GODAM : Uang? Bukankah minyak tanah kita, arang kita,
timah kita, aluminium kita, intan-mas kita, perak-mutiara kita semuanya uang???
Engkau ini seorang toke. Apakah kertas yang kau lipat-lipat itu yang dicetak
oleh Jepang sampai 40.000.000.000 dalam 3 tahun itu yang uang??? Bukankah
beras, intan berlian, dan mesin yang diangkutnya ke Tokyo dulu yang sebenarnya
uang??? Kertas itu cuma wakil dari barang. Kertas itu sendirinya hampir tidak
ada harganya. Belum lagi kusebut barang yang berharga seperti teh, kopi, kina,
kelapa, gula, getah, dan banyak lagi yang tidak dipunyai Negara lain dan amat
dibutuhkan Negara lain.
SI PACUL : Aku tahu maksudmu, Dam! Semua hasil dari dalam
dan atas tanah Indonesia ditambah pula dengan hasil lautnya yang kaya raya itu
akan kau kirimkan keluar negeri buat “ditukarkan” dengan mesin dan para ahli,
dan kalau perlu tentu juga dengan “uang asing”.
SI GODAM : Tepat, Cul! Para ahli itu tidak berada di Amerika
saja. Atau di Inggris saja. Di Swedia, Swiss, atau Jerman juga ada. Mereka akan
ingin bekerja-sama dengan Republik Indonesia Merdeka. Bukan seperti tuan besar,
melainkan sebagai pegawai yang menerima perintah.
SI TOKE : Tetapi kalau engkau membikin industri baru seperti
tambang besi, pabrik besi baja dan mesin industri muda, barangkali layu dan
mati kalau kelak disaingi oleh barang besi-baja dan mesin dari Eropa dan
Amerika. Mereka bermodal besar, tahan bersaing. Mereka berpengalaman. Barangnya
murah dan baik!
SI GODAM : Itulah dia Kek! Bayi manusia, walaupun
tegap-kokoh mesti dilindungi dahulu dalam beberapa tempo. Begitu pun tumbuhan
dan hewan. Itu sudah hukum alam. Pun dalam ekonomi, undang-undang itu berlaku.
Dalam ilmu ekonomi namanya itu “perlindungan industri bayi” (protection on
infant-industry). Amerika sendiri masih mempunyai cabangindustri yang
dilindungi.
SI TOKE : Bagaimana melindungi industri bayi kita itu?
SI GODAM : Mesin atau barang yang sedang kita bikin itu
mesti kita batasi masuknya dari luar negeri atau kalau perlu larang sama sekali
masuknya. Tentu pada permulaan kita belum bisa membikin semua mesin atau baja
yang kita butuhkan. Jadi barang ini masih perlu dimasukkan dari luar. Tetapi
dibatasi banyaknya. Cuma buat menambah yang masih kurang saja. Supaya yang
perlu dimasukkan itu jangan menjadi saingan buat industri bayi kita, maka mesin
atau besi yang masuk itu mesti dipajaki sampai tak bisa merusakkan kemajuan
industri kita. Kalau perlu dilarang sama sekali masuknya.
SI PACUL : Buat membatasi masuknya barang asing itu atau
melarang masuknya sama sekali kita mesti 100% merdeka buat menguasai
keluar-masuknya barang di Indonesia (ekspor dan impor).
SI GODAM : Tepat, Cul! Merdeka 100%! Kalau kita sudah
merdeka 100% buat menguasai keluar masuknya barang asing itu, maka barulah kita
bisa merdeka 100% menentukan “ARAH” industrialisasi di Indonesia, yakni menuju
ke INDUSTRI BERAT seperti kilat. Baru sesudah kita mempunyai dan sanggup
menyelenggarakan industri berat, baru kita bisa membikin sendiri alat kemakmuran
dan alat pertahanan (seperti meriam, tank, kapal selam - terbang dsb). Barulah
pula bisa dijamin Kemerdekaan Indonesia. Selama Indonesia belum mempunyai
Industri Berat, selama itu pula INDONESIA MERDEKA terancam sangat Jiwa
Kemerdekaannya.
SI TOKE : Rupanya engkau tak mengizinkan sama sekali
masuknya kapital-asing dan barang asing?
SI GODAM : Barang asing bisa masuk dan akan tetap bisa
masuk. Harapanku sampai hari kiamat kita makin makmur, makin membutuhkan barang
asing yakni hasil istimewa di negara asing. Malah modal asing bisa ditanam di
sini buat membikin barang yang belum bisa kita bikin sendiri dan tak
membahayakan perindustrian, kemakmuran, dan pertahanan Kemerdekaan kita.
SI PACUL : Apa salahnya kalau Tionghoa membuka toko menjual
sutera Shantung yang halus yang tak ada pada kita itu. Apa salahnya Tionghoa
membuka pabrik sutera di samping pabrik sutera Indonesia? Apa salahnya Tionghoa
memasukkan uangnya, sebagai andil dalam perusahaan Indonesia, asal saja
terbatas banyaknya? Apa salahnya Jerman mendirikan pabrik Pilsener Bier yang
lezat-sehat itu? Atau apa salahnya kawan kita dari Rusia membuka toko menjual
kaviar yang sedap sehat itu?
SI GODAM : Yang menjadi ukuran buat semua-mua itu ialah:
Rakyat Indonesia jangan terancam kemerdekaan dan kemakmurannya. Bangsa tamu
tetap aman dan makmur. Lama kelamaan dengan jalan yang cocok dengan
undang-undang dan adat istiadat Indonesia bangsa tamu lebur menjadi rakyat
Indonesia yang taat setia kepada Negara Rakyat dan Undang-Undang Indonesia.
SI TOKE : Kaubilang tadi kalau Indonesia Merdeka 100% maka
secepat kilat kita bisa menuju ke arah Industri Berat. Bukankah majunya
industri itu tak bisa kita perkosa?
SI GODAM : Tak ada sesuatu yang akan kita perkosa, Kek! Kita
cuma percepatkan jalannya sesuatu yang bergerak menurut kodratnya sendiri. Kita
tahu air itu baru mendidih kalau panasnya sudah sampai kurang lebih 100
derajat. Tetapi derajat setinggi itu baru kita peroleh sesudah dimasak satu jam
umpamanya kalau apinya lemah. Tetapi dengan listrik yang tinggi derajatnya bisa
kita peroleh dalam beberapa menit saja.
SI PACUL : Perbandingan lagi, Dam! Langsung tepat saja, Dam!
SI GODAM : Kembali pada perindustrian kita! Memang kalau
kita biarkan “perseorangan” bermaharajalela dalam perekonomian kita, barangkali
100, 200, atau 500 tahun pun kita takkan sampai ke tingkat Industri Berat
Nasional. Tetapi dengan “Rencana” menurut “HUKUM EKONOMI TERATUR” dalam sepuluh
tahun saja kita bisa sampai ke tingkat yang mengagumkan.
SI PACUL : Asal pemerintah tetap Merdeka 100% dan rakyat
bersatu! Pimpinan tetap tegap, percaya atas diri sendiri dan tetap jujur
terhadap rakyat jelata. Pasal bahan memang tak ada yang kurang di Indonesia,
baik sebagai “jasmaninya kemesinan” seperti besi aluminium, bauksit dll, baik
sebagai “rohaninya kemesinan” (seperti arang, listrik, dan minyak). Mengenai
bahan, Indonesia ini, apalagi Indonesia Raya tak kurang dari Negara manapun di
bawah kolong langit ini.
SI TOKE : Dam, coba bentangkan “RENCANA” buat Industrilisasi
kilat itu!
SI GODAM : Maaf, Kek! Terlampau panjang dan terlampau sulit,
kalau kubentangkan di sini. Baiklah kubentangkan nanti dalam brosur istimewa
pula! Sekarang baiklah kita meninjau kembali ke belakang, buat membulatkan
perundingan.
VII. KEMERDEKAAN DITINJAU KEMBALI
SI PACUL : Cobalah, Dam, engkau berikan beberapa kesimpulan
dari perundingan kita sampai sekarang.
SI GODAM : Kesimpulan apa yang mesti kuberikan, Cul! Aku
sendiri sudah bingung dibawa ke sana kemari dalam perundingan yang sulit dan
panjang itu.
SI TOKE : Seadanya saja. Simpulkan apa yang kau rasa penting
saja.
SI GODAM : l) Kemerdekaan itu bukanlah Kemauan Tunggal orang
atau negara, melainkan kemauan Terikat (bukan absolut melainkan relatif).
Kemerdekaan itu sendiri mestinya berdasarkan pengakuan atas kemerdekaan pihak
lain. Sebaliknya kemerdekaan di pihak kita diandaikan atas pengakuan pihak lain
terhadap kemerdekaan sendiri. Apabila berkenaan satu sama lainnya itu
terganggu, maka kemerdekaan itu tak akan kekal adanya. Dengan adanya pengakuan
atas terikatnya kemerdekaan itu satu sama lain, maka kemerdekaan itu menjadi
rasional, masuk diakal, berakal. 2) Sudah berabad-abad pemikir semua bangsa
memikirkan bentuk Negara yang bisa menjamin kemerdekaan itu. Tetapi bentuk saja
tiadalah memberi jaminan kepada kemerdekaan itu. Ada di antara bentuk Republik
yang memberi jaminan kemerdekaan lebih daripada beberapa bentuk kerajaan (Rusia
di zaman Republik Soviet dibanding dengan Rusia Tsar). Tetapi ada pula bentuk
kerajaan yang memberi jaminan kemerdekaan lebih daripada bentuk republik
(Kerajaan Inggris dibandingkan dengan Jerman-Nazi). Tetapi nyata sudah, bahwa
Republiklah bentuk yang lebih cocok buat menjamin kemerdekaan. Kerajaan-
terbatas sebagai bentuk negara adalah keistimewaan sejarah, sebagai sisa yang
terpaksa diteruskan saja. 3) Isi kemerdekaan itu ialah kedaulatan, dan
kedaulatan itu ialah berupa kekuasaan dan kemakmuran. Pertanyaan tentang
“siapakah atau golongan siapakah yang berdaulat pada satu negara merdeka” mesti
dilaksanakan atas pertanyaan “siapakah atau golongan manakah yang sebenarnya
memegang kekuasaan dan mengecap kemakmuran dalam negara itu”. Dipandang dari
penjuru ini maka “demokrasi” yang dibangga-banggakan negara kapitalis itu,
kalau diteropong besarnya golongan atau kelas yang sebenarnya memegang
kekuasaan dan merasakan kemakmuran itu tiadalah sepadan dengan namanya
“kedaulatan rakyat”. Yang benar berkuasa, makmur, dan tenteram kemakmurannya
ialah kaum kapitalis, kaki tangannya akal kaum tengah dan sebagian kecil dari
proletar atasan. Sebagian besar dari mereka yang tak berpunya itu
diombang-ambingkan oleh krisis ekonomi dan peperangan imperialisme. 4) Dalam
suasana kemodalan, maka hak pemilihan secara umum, langsung, dan sama itu,
ataupun suara rakyat (referendum) tiadalah bisa membayangkan kemauan kelas
proletar yang terbanyak itu. Kaum borjuis yang sedikit itu dengan harta
perusahaan dan profesor, agamawan dan radionya bisa menukar yang putih menjadi
hitam, yang salah menjadi benar. Kaum borjuis bisa merebut suara. Seandainya
partai proletar bisa merebut kursi terbanyak dalam parlemen, dan bisa
mengadakan undang- undang sosialistis, partai itu akan tergelincir dalam
birokrasi kaum borjuis, atau akan tertumbuk pada polisi, justisi, dan tentara
yang dipimpin oleh borjuis itu, kalau undang-undang itu dijalankan. 5) Yang
berhak menentukan nasib Rakyat Indonesia ialah kemauan, pelor, atau bambu
runcingnya Rakyat Indonesia sendiri. Hak Rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu
diambilnya dari alam yang didudukinya. Ia hidup atau tenggelam dengan alamnya itu.
Selama Indonesia-Merdeka tiada mengganggu kemerdekaan negara lain, selama
itulah negara lain tidak berhak mengganggu kemerdekaannya. Pengakuan Republik
Indonesia oleh Negara lain bukanlah menjadi syarat adanya Republik Indonesia.
Pengakuan itu adalah hal tersambil, satu hal di luar hak Rakyat Indonesia atas
kemerdekaannya. Mengambil, merebut, atau melaksanakan kemerdekaannya itu,
bukanlah satu perkara antara rakyat Indonesia dengan negara lain, melainkan
urusan diri sendiri. 6) “MERDEKA 100%” adalah satu jaminan buat terus
merdekanya Indonesia. Tanpa MERDEKA 100% Indonesia takkan bisa mengadakan
kemakmuran cukup buat dirinya sendiri. Juga Indonesia walaupun merdeka tak akan
bisa mempersenjatai dirinya sendiri, karena tak akan diberi kesempatan oleh
kapitalisme asing buat mendirikan “Industri-Berat Nasional”. Kemerdekaan
Indonesia abad ke-20 ini tak bisa dipisahkan dari “Industri-Berat Nasional” dan
“Rencana Ekonomi”. 7) Indonesia tak bisa, tetapi tak pula perlu mempertahankan
kemerdekaanya dengan jalan kemiliteran sejati. Perang kemerdekaan berlainan
wataknya dengan perang imperialisme. Dalam perang imperialisme, kalau semua
keadaan lain-lain bersamaan, maka tekniklah yang akan menentukan
kalah-menangnya. Dalam perang kemerdekaan, kalau syarat teknik sedikit saja
memadai, maka jiwa (psikologi) Murba, dan suara dunia umumnyalah (international
public opinion) yang akan memberi putusan terakhir. Mungkin Inggris - Belanda -
Jepang menjatuhkan Indonesia merdeka, tetapi tak pula mustahil Republik
Indonesia bisa menggulingkan Inggris dan Belanda sebagai negara imperialis.
Dengan begitu maka Indonesia sekarang berjuang bukan saja buat Rakyat Indonesia
sendiri, tetapi juga buat seluruh Rakyat tertindas di dunia.
SI PACUL : Rasanya sudah cukup 7 simpulan itu. Tetapi bagaimanakah
muslihat dan daya upaya mempertahankan Indonesia Merdeka kita sekarang?
SI GODAM : Alamnya Rakyat Indonesia, susunan, watak dan
hasrat masyarakat Indonesia serta organisasi berjuangnya banyak berlainan
dengan negara lain. Muslihat buat mempertahankan dan memperkokoh Republik
Indonesia Merdeka terpaksa pula diadakan pada “Brosur Istimewa”.
Sumber : http://www.tanmalaka.estranky.cz/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar