F. Polisi dan Justisi.
1. Memisahkan Pemerintah dari Polisi dan Justisi.
2. Memberi hak-sempurna kepada tiap-tiap Pesakitan, buat
mempertahankan diri di muka Hakim, dan melepaskan seorang tertuduh dalam 24
jam, apabila keterangan dan saksi kurang cukup.
3. Semua Perkara, yang wettig (mempunyai cukup dasar hukum)
mesti diperiksa dalam 5 hari pada tempat yang umum, teratur dan patut.
G. Aksi-Program.
1. Menuntut 7 jam kerja.
2. Minimum Gaji dan perbaikan Kerja dan Hidupnya Kaum Buruh.
3. Mengakui Federasi Serikat Buruh dan hak Mogok.
4. Mengatur Tani buat hak-ekonomi dan politik.
5. Menghapuskan Punale Sanctie (pidana terutama atas
penolakan untuk melakukan pekerjaan dan melarikan diri - catatan editor).
6. Menghapuskan hukum-hukum dan peraturan-peraturan buat
menghambat pergerakan politik, seperti Exorbitante-Stakings-Pers (sensor media
- catatan editor) dan Onderwyswetten dan mengaku hak leluasa buat bergerak.
7. Menuntut hak membikin demonstrasi. Massa demonstrasi
(ramai-ramai) di seluruh Indonesia buat melawan Tindasan Bergerak dan Pajak dan
buat melepaskan semua pemimpin Rakyat yang dibui dan mengembalikan semua
pemimpin Rakyat yang dibuang, massa aksi mana harus dikuatkan oleh Mogok-Umum
dan Massa-ongehoorzaamheid (tak menurut perintah pemerintah).
8. Menuntut menghapuskan Volksraad (dewan penasehat untuk
Netherlands East Indie yang dibentuk oleh Belanda - catatan editor), Raad van
Indie (Council of Indies atau Dewan Hindia yang dibentuk untuk mengawasi
Gubernur-Jendral VOC - catatan editor) dan Algemeene Secretarie (Seketratis
Jendral - catatan editor) dan memanggil Rapat Rakyat (Nasional Assembly) dari
mana nanti akan dipilih Anggota Menjalankan Hukum (Komite Eksekutif), yang
bertanggungan kepada Rapat Rakyat.
2. Keterangan Program.
Program diatas, ialah buat seluruh Rakyat Indonesia, yaitu
Kasta-Proletar dan Non-Proletar atau yang tidak Proletar, seperti Kasta Tukang,
Saudagar Kecil, Tani, Student d.s.g yang semuanya menghendaki Kemerdekaan
sebagai Bangsa dan melawan Imperialisme Belanda. Sebab di Indonesia tidak
sampai 1% penduduk yang membenci pada Indonesia Merdeka dan cinta pada
Pemerintah Belanda, maka Program Nasional ini tidak salah namanya, karena betul
memeluk hampir semua penduduk Indonesia.
Oleh karena di Indonesia Kasta Buruhlah yang terkumpul atau
geconcentreerd (terkonsentrasi), maka ia lah pula yang bisa memberi pimpinan
pada kasta-kasta yang lain-lain yang cerai berai itu. Pada Program ini kita
melihat, bahwa Buruhlah yang termuka dalam hal tuntutan. Terutama tuntutan
ekonomi (A), Sosial (C), dan Aksi (G), sebagian besar semata-mata buat
keperluan Kaum Proletar. Tetapi dalam tuntutan Politik (B), Didikan (D),
Pengadilan (F), keperluan Buruh banyak bersamaan dengan non-Proletar, sebab itu
bisa dicampurkan. Umpamanya semua tuntutan politik (B. dari 1-4) sama sekali
boleh dipakai buat non-proletar. Tuntutan ekonomi seperti A. 5, 6, 7 dan 8
bolehlah dikatakan terutama buat non Proletar. Sedangkan tuntutan F dari 1-3
semata-mata buat kasta yang tidak boleh kita lupakan dan lengahkan ialah
Kaum-Serdadu.
Walaupun pada Program Nasional, yakni buat seluruh Native
atau penduduk Indonesia, semua tuntutan kita jadikan satu, tetapi dalam
propaganda dan agitasi tentulah, tuntutan yang terutama buat Kaum Buruh tidak
boleh kita pakai buat kaum Tani. Umpamanya tututan nasionalisasi pabrik
tentulah buat kaum Tani tidak sepenting perkara pertanian dan koperasi. Jadi
dalam agitasi dan propaganda kita mesti pilih tuntutan yang konkrit atau yang
nyata dan dirasa buat masing-masing kasta. Kadang-kadang kita pentingkan betul
tuntutan ekonomi seperti pada kasta Buruh dan Tani, kadang-kadang kita
pentingkan politik seperti pada penduduk kota dan Kaum Student, kadangkadang
perlu kita terangkan sikap kita terhadap kepada agama, seperti di Solo, Yogya,
Aceh, Banjarmasin.
Semua tuntutan yang diatas tentulah yang umumnya saja.
Berpuluh-puluh tuntutan kecil-kecil buat Buruh, Tani dan Student atau Tukang,
di Jawa atau Sumatera d.s.g pada kitab ini tak bisa kita tuliskan. Program
Nasional haruslah pendek dan memeluk dasar dari tuntutan yang terutama saja.
Tetapi plaatselyke Organisaties dan plaatselyk Beleid atau kecakapan pada
masing-masing tempat tak boleh melupakan tuntutan yang plaatselyk dan penting
buat satu kasta atau golongan. Umpamanya buat Kaum Militer boleh lagi ditambah
beberapa tuntutan. Begitu juga buat Buruh Gula, buat Pelabuhan, buat Tani di d
jawa, Sumatera dan Borneo, buat saudagar kecil di mana-mana negeri, buat
pemancing ikan di Madura, Ternate d.s.g, pimpinan pada masing-masing tempat
mesti mengadakan tuntutan, sehingga seluruh penduduk Indonesia mempunyai
Program buat mengubah nasib masing-masing kasta atau golongan.
Semua tuntutan itu haruslah konkrit atau dirasa, pendek dan
terang. Dari tuntutan bersifat semacam inilah bisa datang keyakinan dan bisa
lahir aksi revolusioner.
IV. ORGANISASI.
Adapun perkara organisasi pada suatu jajahan, seperti
Indonesia adalah suatu perkara yang sangat sukar dan penting sekali. Dari pada
kuatnya organisasi kita itulah bergantungnya, bisa atau tidakkah kita kelak
memecahkan organisasi musuh yang sangat teratur tiu. Berhubung dengan
Organisasi kitalah kelak bergantungnya, bisa apa tidakkah kita merebut
Kemerdekaan, baikpun sebagai Bangsa ataupun sebagai Kasta.
Tiadalah bisa kita putuskan semua persoalan Organisasi itu
dengan perkara Agama, sehingga barang siapa sudah "dikekahkan" dan
pandai menyebut "syahadat" bolehlah diikat di dalam satu perkumpulan.
Tiada perduli apa yang satu Saudagar Besar dan yang lain buruh atau tani melarat.
Atau dengan persoalan Kebangsaan, sehingga barangsiapa mempunyai kulit hitam
atau setengah hitam bisa masuk ke dalam satu Partai politik. Tak perduli apa
yang satu Tuan Tanah dan yang lain tak berpunya apa-apa.
Kita harus menyusun serdadu buat merebut kemerdekaan itu
menutut keperluan masing-masing, yang sama keperluan hidup dalam satu
organisasi pula, karena buat memperbaiki keperluan hidup itulah manusia dari
tiap-tiap Sejarah dan tiap-tiap bangsa bergerak dan mengorbankan nyawanya. Oleh
karena si Kapitalis bertentangan keperluannya dengan si Buruh, baikpun mereka
"Indier" cap N.I.P. ataupun kaum-Islam cap S.I, seperti macan
bertentangan keperluannya dengan sapi, oleh karena itulah mereka dari dua Kasta
itu tak boleh disusun dalam satu barisan. Kalau mereka sementara bisa bekerja
bersama-sama buat menendang musuh, seperti di Indonesia, haruslah mereka
disusun dalam berlain-lain barisan. Oleh karena kita Marxis percaya, bahwa
semua pertandingan di dunia terbawa oleh tindasan dan kemelaratan, maka sebab
itulah kita terutama bersandar atas Kaum Tertindas dan Melarat.
Walaupun kita internasionalistis, tiadalah bisa kita
mengambil saja Organisasi Buruh di Eropa atau Amerika dan tanpa kritik, menanam
Organisasi itu di negeri kita. Organisasi-pindahan semacam itu akan mati
sendirinya saja, seperti gandum Eropa, kalau dipindahkan ke Indonesia niscaya
akan mati juga. Kita harus dengan semangat Marxisme, memeriksa keadaan ekonomi,
sosial dan kebudayaan di negeri kita, memeriksa banyak, kuat dan kualitasnya kasta-kasta
yang ada di Indonesia dan menyusun tiap-tiap Kasta yang terhimpit pada
masing-masing Barisan dan menyusun semuanya Barisan dari semuanya Kasta itu
pada Tentara Nasional, buat memecahkan musuh dari dalam ataupun luar negeri.
1. Maksud dan Sifat-sifat Organisasi
Maksudnya Partai Revolusioner di Indonesia ialah buat
menendang Musuh dan mempraktikkan atau melakukan Programnya. Jadi Cara dan
Sifatnya bekerja haruslah sepadan dengan Maksudnya itu, dan sepadan pula dengan
Tempat dan Keadaannya bekerja. Artinya yang terus ialah sepadan dengan tingkat
dan tajamnya perkelahian dan sepadan dengan pulau, kota atau desa tempat kita
mengadakan aksi. Berhubung dengan itu, maka aksi kita pada waktu reaksi belum
kurang ajar dan Rakyat masih lembek berlainan den gan aksi kita, kalau reaksi
kurang ajar dan Rakyat bangun dan tetap hati. Dan lagi aksi yakni cara dan
sifatnya kerja kita itu di Jawa lain dari di Sumatera atau Ternate, di Surabaya
lain dari di Cicalengka atau Magelang, dimana industri masih lemah.
Makin plastis atau liat seperti rotan Cara dan Sifat kerja
kita itu, makin besar pengaruh Partai kita di seluruh Indonesia dan makin dekat
Maksud kita. Supaya kita bisa memimpin seluruh Rakyat Indonesia yang tertindas
itu, haruslah kita lebih dahulu bisa memimpin Partai kita sendiri yang sebagai
Avant-Garde atau Pasukan Muka dari Rakyat yang Revolusioner itu.
Sebab itulah maksudnya Organisasi kita, terutama buat
mengatur pimpinan yang sempurna, yakni menyusun dan mendidik kekuatan yang bisa
memberi pimpinan kepada seluruh Rakyat.
Pimpinan itu baru bisa sempurna, kalau perhubungan atau
kontak dengan Rakyat sempurna pula. Tanpa kontak satu Partai tak bisa memberi
pimpinan, karena ia terlampau maju di muka atau terlampau tinggal di belakang
Rakyat.
Supaya hubungan dengan Rakyat Melarat rapi sekali, maka
Organisasi kita memeluk dasar Demokratis Sentralisme. Artinya ini Sentralisasi
Pekerjaan yang dilakukan dengan semangat demokratis atau sama rata. Jadi semua
anggota Revolusioner dan semua anggota Revolusioner, seperti P.K.I, S.R,
Serikat Buruh, JOI, d.s.g, masing-masingnya harus bekerja menurut kekuatan
masing-masing, pekerjaan mana mesti teratur dan terkumpul. Bedanya Partai kita
dengan Partai Sosial Demokrat, yakni beda bekerja. Pada Partai Sosial Demokrat
yang bekerja itu cuma pemimpinnya, tetapi anggotanya pasif saja. Sebab itulah
Partai Sosial Demokrat sangat birokratis. Semua anggota menurut saja apa
perintah pemimpinnya, sama betul dengan demokratisnya Parlamentarisme Kaum
Hartawan, yang juga terbagi atas Menteri yang aktif dan mengerjakan sekalian
pekerjaan dan anggota Parlemen, yang kerjanya mengomong saja. Pada Partai
Komunis semuanya anggota harus bekerja, kecil atau besar (propaganda, kursus,
membagi surat kabar, buku, mengerjakan administrasi d.s.g menurut kecakapan
masing-masing), sehingga demokrasi atau sama rata kita artinya "sama rata
bekerja." Sifat Demokratis Sentralisme itulah yang bisa menghilangkan
birokratisme, dan ialah yang mendidik pimpinan sampai kuat dan plastis.
Disiplin itu, ialah nyawanya suatu pergerakan revolusioner.
Dalam pergerakan S.I sudahlah cukup kalau seorang bersumpah "demi Allah
demi Qur'an," buat menjadi anggota. Dalam pergerakan N.I.P sudahlah cukup
kalau orang yang mau jadi anggota itu mengaku azas N.I.P. Sesudahnya ia bersumpah,
atau sesudah ia mengaku dasar itu ia boleh tidur nyenyak, dengan tiada dapat
gangguan apa-apa dari partainya. Tetapi buat pergerakan kita "mengaku
Program" itu belum lagi setengah kewajiban seorang anggota.
Partai komunis tiadalah menghendaki "pendeta Komunis"
yang hapal programnya dari muka sampai ke belakang dan dari belakang sampai ke
muka. Partai kita mau aksi atau perbuatan, aksi yang tetap dan benar yang
berpadanan dengan azas dan maksud kita. Kalau pada waktu sebelum revolusi
seorang anggota tiada mengeluarkan aksi apa-apa, maka tiadalah bisa kita
harapkan yang dia pada waktu yang penting tiba tiba saja akan mendapat semangat
yang aktif, seolah-olah mendustakan dirinya sendiri pada waktu biasa.
Ringkasnya Partai kita menuntut aksi yang tetap dan benar, besar atau kecil
dari tiap-tiap anggota. Kalau seorang anggota tiada mencukupi perintah Partai,
mengerjakan pekerjaan yang dikira berpadanan dengan kekuatan anggota itu, maka
lebih baik ia keluar saja dari pada tinggal dalam Partai dan memberi contoh yang
buruk pada kawan‑ kawannya yang lain. Tetapi disiplin kerja atau
arbeiddisipline semacam itu, tentulah pula tidak dalam satu hari saja bisa kita
jatuhkan. Kita periksa dulu keadaan satu Seksi atau Lokal dan perkara
menjatuhkan "disiplin kerja" itu harus ditimbang betul-betul dengan
pemimpin-peminpin yang sudah lama kerja. Tetapi disiplin itu haruslah segera
dijatuhkan pada seorang anggota yang mengkhianati partai, juga pada seorang
anggota yang tiada mempertahankan.
Serdadu revolusioner itu ialah serdadu yang mengerti dan
mufakat dengan Program partainya, yang selalu bekerja sepadan dengan
kekuatannya dan selalu menjaga kesentosaan partainya terhadap kepada musuh di
dalam atau di luar partainya.
Agitasi. Seperti seorang Penambang menceraikan emas itu dari
tanah dan lumpur, maka kita mengeluarkan aksi Kaum Tertindas itu dari peri
kehidupan mereka itu juga. Perkakas kita buat mengeluarkan aksi itu ialah
Agitasi. Dari dalam, betul dan kuatnya Agitasi itulah bergantung datangnya
Aksi.
Membuat Agitasi itu tiadalah dengan "Assalamualaikum
atau dalil-dalil" cap Haji Agust de Groote ...... dengan tiada
menyelesaikan persoalan hidup si Kromo hari-hari, atau kalau menyelesaikan ia
tiada berani menarik si Kromo kepada aksi. Juga tiada seperti N.I.P yang
agitasinya tiada pula lebih jauh welsprekendheid (lancar) atau mahirnya bicara
tentang darah Indier dan wataknya Indier. Kita Kaum Komunis tak pula boleh
berlaku seperti Kaum Syndicalist, yang menyangka, bahwa kalau kita campur
menuntut hak Kecil-kecil ada berlaku kompromistis, dan cuma berharap, seperti
kaum Utopis, bahwa Aksi Rakyat itu kelak datangnya akan sama sekali tiba-tiba
saja. Tidak pula seperti si Pengkhianat Kaum Sosial Demokrat yang campur
menyelesaikan persoalan si Kecil itu ialah buat menarik mereka, supaya ia
memilih Kaum Sosial Demokrat jadi anggota Parlamen, atau supaya Kaum Buruh
masuk jadi anggota Partai Sosial Demokrat. Kita Kaum Komunis menyelesaikan
persoalan si Kromo, supaya mendapat kepercayaan dari mereka, bahwa kita betul-betul
mau menolong mereka. Begitulah kita mendapat kontak dengan mereka dan bisa
menarik mereka kepada aksi yang teratur.
Agitasi itu haruslah konkrit atau nyata sekali. Haruslah ia
bersandar atas hisapan dan, tindasan si Kecil hari-hari. Di antara Buruh,
tentulah perkara gaji, lama kerja dan penganggapan-lah perkara yang ter
penting. Tiadalah perkara ini boleh kita singkirkan, melainkan kita dengan
segala kepintaran memberi jawab, yang bisa memberi kepercayaan dan menimbulkan
aksi kaum Buruh. Pada penduduk kota-kota, dimana non-proletariers yang
terbanyak itu, selalu diojak-ojak oleh Tuan Tanah, Pemungut Pajak, Tuan Rumah,
d.s.g. perkara pajak dan perkara sewa rumah itulah perkara yang penting buat
peri hidupnya Rakyat. Begitulah pula pada desa-desa, baik di Jawa, Sumatera
atau Celebes perkara tanah dan pajak itulah sangat dirasa oleh penduduk negeri.
Dalam hal ini tiadalah boleh kita memangku tangan dan seperti seorang Pendeta
menunjuk ke kitabnya, serta berkata: "Kalau Komunisme datang semuanya itu
akan hilang. Apalkanlah Komunisme supaya Zaman Keselamatan itu lekas datang.
Rajinlah saudara mengunjungi Kursus kami. Kami tak suka main pakrol-pakrol,
karena itu semua kompromis. Tahanlah lapar dan sakit sampai Komunisme
datang." Kita ulang lagi, apa saja tindasan Rakyat kita mesti
memperlihatkan kepintaran buat memberi oplossing atau jawab, mesti mempunyai
keberanian buat berdiri di muka, menuntut Haknya Rakyat, yang tertindas.
Seperti si Penambang akan mendapat emas dengan memasukan tangannya kedalam
lumpur begitulah pula kita harus bisa membawa Rakyat ke dalam Aksi, kalau kita
campuri kesakitan dan siksanya hari-hari.
Dari aksi kita hari-hari itulah kita bisa memperoleh
kepercayaan, pengaruh dan Contract yang kekal, dan dari aksi kecil-kecil itulah
bisa lahirnya aksi yang besar. Marxisme itu bukanlah ilmu "hapalan"
melainkan satu pedoman buat aksi, atau satu richtsnur tot handelen (guide to
action)
Legal atau Illegal yakni Terbuka atau Tertutupnya, kita
bekerja semuanya bergantung kepada keadaan bekerja. Kita suka bekerja legal,
karena dengan jalan umum itu Program dan Taktik kita lekas diketahui oleh
seluruh Rakyat. Tetapi kalau terpaksa, kita mesti teruskan propaganda dan
Agitasi kita dengan jalan tertutup. Walaupun kita dipaksa berjalan tertutup,
kita harus memakai dengan segala kekuatan dan kecakapan segala jalan buat
mendapat kontak dengan Rakyat. Tidak boleh kita geisoleerd (terisolasi) atau
terpisah dari Rakyat.
Di Eropa Barat kita melihat pada waktu sebelum perang,
Partai yang terbuka itu, tak bisa sama sekali bekerja tertutup seperti Partai
kita di Rusia. Sebabnya ialah karena di Barat sangat tebal demokratisnya
negeri, jadi orang bisa mendorong kiri kanan dengan mulut. Tetapi di Rusia
Partai revolusioner harus bekerja di bawah tanah. Sebab itulah kalau Revolusi
datang dan Partai revolusioner di Barat itu terpaksa bekerja tertutup ia tidak
bisa jalan seperti Partai kita di Rusia yang tahu kerja, baik terbuka atau pun
tertutup.
Partai yang selalu kerja tertutup itu, ada mengandung
bahaya, sama sekali akan kehilangan kontak dengan Rakyat melarat. Sebab itu ia
akan tidak tahu, bagaimana perasaan Rakyat, dan kalau ia tiba-tiba keluar,
Rakyat tidak mengikut, atau kalau Rakyat melarat tiba-tiba memberontak, Partai
yang tersembunyi dan kehilangan kontak tadi, belum lagi siap.
Contoh Partai Konspirasi atau Rahasia, yang tak mempunyai
kontak itu banyak di negeri Timur, seperti. Afdeeling B satu contoh yang baik.
Sesudah anggotanya disumpahi setinggi langit, maka ia boleh kelak menunggu
"alamat" dari Alam dan menunggu perintah dari pimpinan yang
tertinggi, kapan mesti keluar. Alamat buat keluar itu, tiadalah hal yang nyata
yang beralasan ekonomi atau politik melainkan, barang yang gaib-gaib yang kita
kaum Komunis pada masa ini tak bisa mengerti lagi. Anggotanya tak bekerja
dengan sadar, memakai anggota ekonomi dan politik Rakyat yang ada dan diaku sah
oleh Pemerintah buat mendalamkan aksi, melainkan bekerja menambah iman.
Tiba-tiba ia ketahuan oleh pemerintah, dan kalau pemimpinnya di hukum berat,
Rakyat tercengang, karena ia memang tak tahu apa-apa.
Kalau kita mengatakan kita mesti kerja tertutup, maka maksud
kita bukanlah mesti meninggalkan pekerjaan yang praktis hari-hari dan kita
lakukan kerja tertutup itu ialah karena terpaksa, seperti sekarang kita sudah
terpaksa menutup sebagian dari pekerjaan. Bukan karena kita takut melainkan
karena kita tidak bodoh dan mau diprovokasi, yakni berkelahi sebelum siap
betul. Pada masa Afdeeling B tak ada hal yang penting yang menyebabkan
anggotanya perlu bersumpah gelap-gelap, karena S.I mempunyai pengaruh
berjuta-juta. Kalau S.I mempunyai pimpinan yang pantas atau ditolak maju
berterang-terangan oleh Pasukan S.I. sendiri, dan dalam S.I. sendiri, sebagai
Linker-Vleugel atau Sayap Kiri, maka 2 atau 3 biji Belanda, yang tersesak karena
ada peperangan (1914-1918) itu gampang dikirim ke pulau Merak.
Kalau kita Kaum Komunis terpaksa bekerja tertutup, maka kita
mesti tetap tinggal bersambung dengan Rakyat. Anggota kita mesti tinggal
mengurus anggota-anggota yang masih diaku Sah oleh yang berkuasa. Kalau Serikat
Buruh umpamanya tak diaku, maka kita lari ke koperasi, kalau inipun tak diakui
kita lari lagi ke Serikat Kematian, dan seterusnya, sampai "saat"
kita datang, yakni kalau seluruh Rakyat keluar bergerak. Bekerja dalam Organisasi
yang di aku sah oleh pemerintah itu perlunya bukan saja buat mengetahui
stemming atau suaranya Rakyat, tetapi juga buat mendidik pemimpin-pemimpin kita
berbicara dan mengatur Organisasi. Sehingga kalau Pemberontakan datang kita
tidak kekurangan Orator, yakni tukang pidato, Agitator dan Organisator yang
cakap, pemuka-pemuka mana perlu sekali buat merebut dan mempertahankan
Kemerdekaan ke dalam dan ke luar Negeri.
Partai Komunis berdiri atas Massa-Aksi, yakni Aksi
beramai-ramai dan Massa-Aksi ini bersamping kepada demonstrasi.
Demonstrasi-politik, dijalankan dengan tuntutan politik. Kalau yang menuntut
cukup kuat dan gembira, maka hak-politik itu boleh direbut dengan kekarasan.
Pada sesuatu demonstrasi, kontak atau Perhubungan dengan
Rakyat (Buruh, Tani, Tukang, Saudagar dan Student) haruslah teguh betul.
Perhubungan itu baru bisa teguh dan boleh dipercaya, kalau Pimpinan demonstrasi
itu ada mempunyai cukup wakil dari semua Kasta yang tersebut diatas. Suara
semua Wakil Kasta itu mesti didengar betul oleh urusan demonstrasi, kalau tidak
demonstrasi itu bisa terlandpur atau ketinggalan. Sebab di Italia dan Inggris
umpamanya pada waktu sesudah perang Partai kita, yang dikhianati oleh Sosial
Demokrat itu tak cukup mengadakan Wakil dari Serikat Buruh, jadi tak cukup mengadakan
kontak dengan Buruh, maka ia jadi kalah, Di kedua negeri itu kita sudah bisa
merebut politik negeri, sebab Buruh sudah luar biasa kegembiraannya (di Inggris
1-2 juta Buruh Tambang 3 bulan mogok). Tetapi Partai Politik Komunis disana tak
cukup mendapat Suaranya Kaum Buruh itu, sebab tak cukup Wakil di dalam Partai.
Supaya demonstrasi di Indonesia berhasil, haruslah kelak di
Sentral Pimpinan Revolusioner diadakan Wakil dari semua Pulau dan semua Kasta
di Indonesia. Begitulah suara dari segenap pihak boleh di ukur dan kita tak
mudah ketinggalan seperti di Italia atau Inggris dulu itu dan tak pula mudah
terlanjur seperti pada Aksi bulan Maret di Jerman 1921.
Demonstrasi itu menuntut Pimpinan yang plastis dan Korban
yang banyak. Pimpinan mesti selalu tahu, apa demonstrasi mesti diperkencang
lagi dengan Pemogokan atau Boikot. Dalam masa itu Pimpinan, Surat Kabar, dan
Perhubungan surat menyurat mesti ditempat yang rahasia, yang tak bisa diketahui
oleh musuh.
Sebelum demonstrasi keluar, haruslah dibicarakan lebih
dahulu tempat Demonstrator yang keluar dari semua penjuru kota atau desa mesti
bertemu, apa tuntutan yang penting buat masa itu, apa perspektif atau Hasil
demonstrasi kelak, kapan dan bagaimana mesti dibubarkan. Bersama-sama dengan
beriburibu dan berjuta-juta Demonstrator itu ada tersembunyi Pimpinan, sebagai
Staff umum atau Sidang Pimpinan, yang cukup mendapat kabar dari manamana dan
pada tiap-tiap saat bisa memberi perintah kepada pemimpin-pemimpin yang ditaruh
dipenjuru yang penting-penting, buat memimpin sekalian pasukan demonstrasi
tadi.
2.
Tentara Nasional.
Berapa susahnya mengadakan Organisasi yang tetap pada suatu
jajahan seperti Indonesia, sudahlah bisa dibuktikan oleh sejarah pergerakan
Indonesia, sendiri dalam kira-kira 17 tahun yang terakhir ini, Organisasi B.O
cuma tergantung diawang-awang saja, sama sekali tak mempunyai pengaruh diantara
Rakyat. N.I.P dan S.I yang diembus dengan "kebangsaan" dan
"Agama" sekarang sudah kosong karena pompa angin tak bisa kerja begitu
lama. Organisasi itu mesti berurat pada ekonomi dan Kasta, baru ia bisa tumbuh
dengan tetap. Tetapi kita mesti bilang terus terang, bahwa sampai sekarang pada
partai kita sendiripun belumlah jelas dan konsekuen, bahwa "Keadaan
ekonomi dan Keadaan Kasta di Indonesia" itulah yang menjadi kriteria atau
ukuran dalam pertimbangan kita buat mengadakan Organisasi. Di jajahan lain-lain
seperti Mesir, India d.s.g dimana ada Nasional Kapital yang kuat dan pergerakan
Nasionalisme yang revolusioner, maka dalam golongan Kaum Komunis sendiri adalah
timbul pertimbangan, apakah tidak baik, jangan mendirikan Partai Komunis
sendiri, melainkan memasuki Partai Nationalis yang revolusioner yang ada, dan
dari dalam, sebagai Linksche Vleogcl atau Sayap Kiri, menumpu pergerakan
Nasionalisme itu sampai ke Revolusi. Alasan pihak ini, yakni, dimana Buruh
diatur oleh Kaum Komunis berpisah dari Kaum Nasionalis, seperti sudah dilakukan
di Mesir dan India, disana pergerakan Nasionalis jadi mundur. Jadi kata pihak
ini, selama pergerakan Nasionalisme masih revolusioner, biarlah Buruh Industri,
yang menang pada tiap-tiap jajahan jadi pasukan muka pergerakan revolusioner,
diatur oleh Kaum Nasionalis, dan kita Komunis cuma menolong saja dari dalam dan
menjaga supaya pergerakan jangan jadi lembek. Maksud yang pertama toh, kata
pihak ini seterusnya melemparkan "imperialisme."
Disini tak tempatnya buat memeriksa pertimbangan ini lebih
jauh. Tetapi kita boleh mengambil pengajaran dari pertimbangan itu, bahwa pada
satu jajahan pergerakan nasionalisme itu buat melemparkan imperialisme satu
faktor atau hal yang sangat penting, yang tiada boleh kita putuskan dengan
dogma atau "kajian hapalan" saja.
Sebaliknya pula kita tidak boleh menunjuk ke bangkai S.I dan
N.I.P dan berkata : "Nah, kan perlu lagi dihidupkan bangkai bangkai
ini."
N.I.P dan S.I mati karena ada mempunyai sebab yang dalam
sekali, ialah karena tak ada Nasional Kapital yang kuat di Indonesia, yang bisa
memberi inspirasi atau semangat buat mendirikan Program yang kokoh, Organisasi
yang teratur serta Taktik yang tetap, seperti di Mesir dan India. Oleh karena
pemimpin-pemimpin B.O, N.I.P, & S.I seperti Dauwes Dekker, Tjipto, Tjokro
Aminoto dan Salim terpaut oleh Kasta dan didikan mereka, ia tak pernah sampai
ke kasta Kaum Buruh. Mereka tak bisa mengerti, bahwa di Indonesia Kasta inilah
yang kuat karena geconcentreerd (terkonsentrasi) dan dari Kasta inilah bisa
datangnya inspirasi dan pimpinan buat merebut kemerdekaan.
Sebaliknya pula kita Komunis tak pula boleh memandang
Indonesia sabagai Negeri industri, seperti Jerman atau Inggris, dan memikir
bahwa Kebangsaan dan Agama dalam pertarungan kemerdekaan sama sekali tak ada
artinya. Dan berhubungan dengan hal ini cukuplah kalau di Indonesia kita adakan
Satu Partai Komunis saja.
Sikap inilah kira-kira yang dipeluk oleh pihak yang mau
menghapuskan S.R pada Konferensi bulan November 1924 di Yogya. Yang dijadikan
alasan, ialah :
"Kaum borjuis kecil di Indonesia selalu kalah, juga
dalam perjuangan dengan imperialisme Belanda, yang tergambar pada B.O, N.I.P
& S.I. Sebab itu S.R yang juga kumpulan borjuis kecil tak akan bisa
menang."
Demikianlah kira-kira isinya Referaat Hoofdbestir. Kalah
atau menangnya borjuis kecil di Indonesia buat kita pada masa ini perkara
"puur philosophisch" (filosofi murni) artinya perkara timbang menimbang
dengan tiada akan mendapat keputusan. Tetapi bukanlah kesimpulan atau putusan
kalah menangnya itu sekarang yang terpenting buat kita, melainkan akuan, yang
tak dibantah, malah terbawa oleh Referaat tadi sendiri, yakni Kaum borjuis
kecil masih selalu berkelahi, jadi masih revolusioner.
Inilah yang terpenting buat kita, dan hal ini memang apriori
atau sudah termasuk ke dalam pikiran. Kaum Borjuis Kecil, di mana-mana mau
menjadi Borjuis Besar atau Hartawan-Besar. Pada Zaman Bangsawan, Borjuis kecil
Indonesia terhambat oleh Raja dan Bangsawan kita, sebab itu ia acap berperang
dengan Bangsawan itu. Pada Zaman kita mereka terhambat oleh imperialisme
Belanda, sebab itu ia sekarang melawan imperialisme Belanda. Perlawanan ini
sudah terbawa oleh alam dan tak akan habis, selama keadaan kasta-kasta masih
tetap. Ringkasnya sekarang dalam himpitan imperialisme Belanda, borjuis kecil
kita yang kira-kira 70% banyaknya dan tak berapa bedanya tertindas dari Kaum
Buruh Industri akan tinggal revolusioner.
Berhubung dengan akuan diatas ini maka persoalan kita
seharusnya, sebelum imperialisme Belanda belum kalah, ialah:
Bagaimana kita mesti mengatur P.K.I. yang kuat sebagai
Avant-Garde atau Pasukan-Muka dari pergerakan revolusioner Indonesia ?
Bagaimana kita mesti menyusun Kaum Non-Proletar, sebagai
Reserve atau Pasukan Pembantu pergerakan revolusioner ?
Bagaimana kita mesti menarik Landstorm atau Laskar dalam
waktu tersesak, dari seluruh Rakyat Melarat ?
Bagaimana kita mesti mengadakan perhubungan antara P.K.I dan
S. R. sebagai Partai Non-Proletar ?
Inilah persoalan kemerdekaan di Indonesia. Kita mesti
mengaku, bahwa Non-Proletar saja tanpa Kaum Buruh susah mengalahkan Belanda.
Sebaliknya pula Kaum Buruh tanpa pertolongan 70% Non-Proletar tidak pula mudah
akan menang. Sedangkan di Jerman, dimana 75% dari penduduk negeri sama sekali
buruh Industri model baru, pada tahun 1923, yakni waktu yang terpenting sekali
buat revolusi, kita dengan segala daya upaja mendekati Kaum Borjuis Kecil. Juga
di Rusia kemerdekaan kita peroleh dan kita pertahankan dengan Kaum Tani besar
kecil yang banyaknya 80% itu, jadi dengan borjuis kecil juga.
Berhubungan dengan 4 persoalan yang diatas, maka kita sangka
pertimbangan buat mengadakan Satu Partai, yakni P.K.I saja buat seluruh
Indonesia ada salah. Kita pikir di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang
dan Surabaya pun sekarang mesti dilakukan Partai Kembar, yakni P.K.I dan S.R.
Dengan politik Satu Partai, baik di seluruh Indonesia ataupun buat kota-kota
besar, kita pikir, pertama kita bisa tinggal kecil (sectarisme) atau kedua
besar, seperti perut kemasukan angin.
Kecil, karena sudah kita terangkan, bahwa Indonesia tidak
negeri industri betul melainkan landbouw-industri. Sudah pula kita perlihatkan,
bahwa kota-kota kita bukan pusatnya industri (kain, besi, mesin, kapal d.s.g).
Penduduknya kota-kota kita, terutama non-proletar, seperti tukang-tukang, dobi,
saudagar kecil-kecil seperti penjual cendol, satai d.s.g. atau Buruh Halus, seperti
guru-guru, jongos, clerk d.s.g. Yang buruh tulen di kota-kota kita masih sangat
sedikit, kalau diperbandingkan dengan jumlah penduduk. Lagi pula mereka bukan
buruh industri produktif yakni buruh yang mengadakan hasil (kain, besi, dll),
melainkan buruh pengangkut, seperti kereta, kapal dan tram, yang kecakapannya
juga kurang dari buruh industri betul. Tiadalah seperti di Berlin, London atau
New York, dimana, kalau tutup pabrik pukul satu berbunyi kita melihat sampai
1.000.000 Buruh Pabrik, yang muka, tangan dan pakaiannya berkilat-kilat dengan
minyak mesin, berduyun-duyun meninggalkan pabrik. Ini belum ada! Malah belum
seperti Bombay, dimana buruh kain saja terkumpul 150.000. Atau di Calcutta yang
mempunyai 300.000 buruh model baru, seperti buruh pelikan (tambang), kain,
mesin, kereta, kapal dll. Betul ada beratus ribu sudah terkumpul di perusahaan
gula, tetapi mereka itu buruh tani. Yang buruh pabriknya baru sedikit, dan
sebab disini ada pabrik gula, disana 50 KM lagi berdiri pabrik lagi, jadi sebab
sangat terpencar-pencar, maka kita susah pula mengatur mereka.
Ringkasnya betul buruh kita (kereta, kapal, gula, minyak
d.s.g.) lebih kuat dari non-proletar, karena mereka menjalankan perusahan
negeri, tetapi kita jangan overschatten (overestimate atau melebih-lebihkan),
melebihi perhitungan kekuatan kita. Kalau kita bersandar semata-mata pada buruh
tulen dengan mengadakan Satu Partai, serta menghilangkan S. R. maka Partai kita
akan sangat kecil.
Kalau ia dijadikan besar, maka terpaksa ia menarik jadi
anggotanya saudagar-saudagar cendol, nasi, rujak d. s. g. Inilah namanya
verwatering (mengencerkan), lebih santan dari pada air dan seperti SI akan
segera jatuh kegemukan saja. Tidak boleh tidak elemen borjuis kecil itu, kalau
masuk Partai Komunis, walaupun ia "menghapalkan" program kita, akan
membawa semangat dan wataknya borjuis kecil (adat, logika, dan sifatnya). Betul
kursus dan didikan bisa membangunkan semangat revolusioner, tetapi sebagai
Marxis kita mesti tahu "bahwa keadaan itulah yang menentukan semangat"
atau de materieele onderbouw bepaalt den geestelyken bovenbouw. Cuma kaum
Utopis dan Dogmatis yang percaya, bahwa dengan "menghapalkan" saja
satu ilmu bisa jadi orang bersifat baru. Betul bisa satu atau dua orang yang
bukan golongan buruh bisa menjadi Komunis, tetapi sebagai kasta, Kaum borjuis
kecil tak bisa dilompatkan menjadi Komunis Revolusioner. Dan sebab di Indonesia
borjuis kecil itu memang masih terpaut oleh semangat revolusioner (sebab belum
pernah menang) sebab itulah kita gampang menyangka, bahwa sebab dia
revolusioner itu ia Komunis. Inilah bahaya yang ada kalanya kelak bisa masuk ke
dalam badan PKI sendiri, yang bisa memecahkan diri dari dalam.
Bagaimana, kalau kita dirikan Satu Partai buat seluruh
Indonesia dari kaum Buruh, dan non-proletar kita susun dalam Serikat Buruh?
Serikat Buruh saja tak cukup buat mereka, karena mereka
borjuis kecil di negeri kita juga mempunyai cita-cita politik. Siapapun di
kota-kota atau desa-desa, apapun juga pekerjaannya ia mau merdeka sebagai
bangsa. Jadi kita harus mengadakan politik yang sepadan dengan kehendak mereka
itu. Koperasi, Serikat Buruh atau Serikat Tani tak mencukupi cita-cita politik,
lebih-lebih dari penduduk kota dan setengah kota.
Lagi pula, kalau kita mau mengadakan Serikat Buruh buat
borjuis kecil di kota besar-besar seperti Betawi, Semarang, Surabaya d.s.g. di
kota-kota klas dua seperti Sumedang, Pekalongan, Palembang, Banjarmasin d.s.g,
berapa ribu Serikat Buruh mesti kita bikin, buat mengikat saudagar kecil-kecil,
jongos, tukang penatu d.s.g, Ini dalam praktiknya mustahil!
Kita tidak saja di desa-desa dan kota-kota klas dua mesti
mengadakan Organisasi politik yang memenuhi cita-cita 70% dari penduduk kita,
tetapi juga di kotakota besar seperti Betawi dan Surabaya, dimana borjusi
kecilah yang terbanyak dan industri produktif sama sekali belum ada. Baru kalau
Partai Komunis bersamping dengan Organisasi, yang memeluk beribu-ribu anggota,
yang pada segenap waktu bisa dijalankan bersama-sama, baru kita bisa mengadakan
aksi politik umpamanya demonstrasi yang berarti. Walaupun kita cuma dua atau
tiga ribu, tetapi kalau kita dalam Aksi politik sebagai Avant-Garde dikelilingi
oleh beribu-ribu Proletar & Non-proletar sebagai reserve, dan disukai oleh
seluruh Rakyat yang tertindas sebagai Landstorm, kita bisa menang.
Berhubung dengan pertimbangan kita diatas, maka buat
menjawab 4 pertanyaan tadi buat Indonesia Organisasi yang berikutlah yang
sepadan dengan keadaan kita
1. Diadakan Partai-Kembar (PKI & S.
R.), pada pusat ekonomi, politik dan Pergerakan, seperti di Betawi, Semarang,
Surabaya, Bandung, Padang dan Medan, pada pusat ekonomi (industri) seperti
Cepu, Kediri, Pelaju, Belitung, Pangkalan Brandan, Sawah-Lunto, Balik Papan
d.s.g, pada pusat politik, seperti Palembang, Kota-Raja d.s.g., pada pusat pergerakan,
baik kereta atau kapal, seperti lain yang sudah tersebut diatas juga
Banjarmasin, Makasar, Cilacap, Cirebon d.s.g. yakni menurut pertimbangan yang
lain-lain (seperti di Balik Papan sudah cukup PKI saja).
Anggota PKI terutama mesti dari Buruh industri, seperti dari
bengkel, baik kereta ataupun pelabuhan, Buruh Cetak, Pabrik gula, minyaktanah,
tambang arang, minyak d.s.g. Golongan inilah yang mesti jadi ruggegraat atau
tulang punggungnya P.K.I.
Kursus mesti dikencangkan, tetapi isinya mesti praktis dan
berpadan dengan keadaan dan aksi di Indonesia. Program dan Agitasi,
dikencangkan betul, ialah yang berhubungan dengan industri dan negeri. (Lihat
Program Nasional!).
Kontribusi dipertinggi dan disiplin diperkeras. Dalam semua
Aksi seperti Pertemuan, Mogok dan demonstrasi anggota P.K.I mesti dimuka.
2. Diadakan S.R. saja, selainnya dari
tempat yang tersebut diatas (1) di seluruh Indonesia, di kota-kota klas dua,
seperti Sumedang, Magelang, Paja Kumbuh, Pontianak, di pelabuhan klas dua, di
desa-desa dan gunung-gunung sampai masuk ke dalam hutan seperti Puruk Tjau di
Borneo. Tak ada tempat yang boleh di lupakan.
Anggota S.R boleh dari sembarang kasta, asal mengakui dasar
revolusioner, yakni mau mengusir imperialisme Belanda (jadi berbeda dengan
N.I.P, B.O & S.I ). Student, saudagar, tukang, tani dan penjual ini atau
itu, beragama Islam, Kong Hu Tju atau Kristen; yang suka sama kebangsaan, agama
atau anarkisme, pendeknya semua yang benci kepada Tindasan Imperialisme
bolehlah berdiri di bawah bendera S. R.
Kursus haruslah berhubungan betul dengan "keadaan dan
cita-cita mereka. Perkara kemerdekaan sebagai Bangsa Nasional yang merdeka,
perkara sewa rumah, Pajak, pendidikan dan perkara yang lain, yang terasa betul
oleh penduduk kota tak boleh dilupakan. Dalam kesusahan hari-hari, baikpun
dengan pakrol-pakrol si Kecil di kota atau desa yang tak berhak apa-apa itu
mesti ditolong oleh S. R.
Kontribusi mesti serendah-rendahnya, karena maksud kita yang
terutama, supaya menarik mereka ke bawah pengaruh dan ke dalam aksi kita. Juga
disiplin tidak bisa begitu keras, karena hal ini sudah terbawa oleh watak
mereka. Jadi maksud kita yang terutama ialah mengumpulkan semua golongan yang
tak senang hati di bawah Imperialisme Belanda dan memimpin mereka dalam segala
aksi.
3. Dengan Perantaraan P.K.I, kalau krisis
ekonomi dan politik datang kita bisa menarik terutama, segala Buruh industri
yang ada, baik yang sudah diatur dalam Serikat Buruh ataupun yang belum di
atur. Dalam Pemogokan atau demonstrasi PKI. akan memberi pimpinan yang langsung
atas semua golongan Kaum Buruh di Indonesia.
Dengan perantaraan S.R, semua penduduk kota, seperti klerk,
tukang, penjual ini atau itu, student d.s.g dan semua penduduk desa dan gunung
akan menarik dengan Tuntutan yang pantas ke dalam Aksi, seperti Boikot dan
demonstrasi buat melawan Krisis ekonomi atau politik dan merebut Kemerdekaan.
Jadi P. K. I. & S. R. keduanya mesti menjadi Organ atau Anggota buat
seluruh Rakyat Indonesia merebut Kemerdekaan.
Teranglah sudah maksud kita bahwa kedudukan P.K.I dan S.R
bukan kedudukan Bovenbouw (atas) dan Onderbouw (bawah), yang di kursus atau tak
di kursus atau tinggi berendah (memang kita dengan semua Rakyat melarat mau ke
zaman persamaan, bukan?), melainkan kedudukan dua kasta tertindas, tetapi
berlainan keperluan dan sifatnya, oleh sebab mana mereka harus di atur dalam
dua pasukan. Sebab Buruhlah yang terkumpul dan memegang perusahaan negeri yang
terutama serta non-proletar terpencar-pencar, maka dari buruhlah bisa datang
Aksi yang tetap, Ideal atau cita-cita yang tetap, Program yang tetap dan
Senjata yang tetap (Mogok). Berhubung dengan itulah ia di Indonesia bisa
memberi Pimpinan yang tetap revolusioner. S.R berdirinya bukanlah karena
internasional (memang ini dulu pelawan semangat N.I.P) atau karena tak beragama
(memang ini mengandung dan melawan semangat S.I) melainkan karena ia berdiri
atas kasta non-proletar yang bersifat revolusioner. Kasta dan semangat
revolusioner itulah yang menjadi kriteria atau ukuran di S.R, dengan tiada
melanggar Agama atau Kebangsaan, malah mufakat, kalau Agama dan Kebangsaan itu
ada memperkuat keyakinan dan semangat Revolusioner.
4. Karena Buruhlah kasta yang terkumpul,
dan ialah yang mempunyai senjata yang tertajam, yakni mogok, maka ialah pula
yang mesti memberi pimpinan politik buat merebut kemerdekaan Indonesia.
Walaupun Seksi atau Lokal diatur dengan Partai Kembar,
tetapi Sentral tentu mesti satu, supaya urusan, agitasi dan aksi bisa satu
pula. Supaya semua golongan di Indonesia bisa diperhatikan keperluannya, maka
pada Sentral Pimpinan Revolusioner di Betawi, seberapa boleh kelak mesti
diadakan wakil dari semua pulau, dan semua kasta yang terutama seperti Buruh,
Student, Tani dan Penduduk kota. Buat memperhatikan kepulauan Indonesia yang
begitu besar tentulah belum cukup 5 atau 6 orang duduk di Sentral Pimpinan.
Supaya agitasi buat seluruh Indonesia dirasa betul oleh
semua golongan haruslah Sentral Pimpinan Revolusioner, membedakan agitasi buat
satu negeri dengan yang lain (Jawa dengan Sumatera atau Celebes, Padang dengan
Jambi); dan satu golongan dengan golongan lain (Buruh dan Tani atau Student
dengan Penduduk kota). Berhubung dengan hal ini pekerjaan di Sentral pimpinan
haruslah dibagi-bagi (verdeling en specialiseeren van arbeid) (partisi dan
spesialisi kerja).
Supaya pimpinan tinggal revolusioner, jangan seperti S.I
atau N.I.P, haruslah baik di Sentral Pimpinan ataupun di Seksi atau Lokal, S.R
yang mayoritas atau terbanyak ialah pemimpin Komunis. Dengan jalan begitu, kita
menjaga supaya pergerakan Indonesia tinggal proletaris dan tak menjadi
oportunistis atau reformistis, yakni lembek seperti S. I. dan N. I. P.
Demikianlah Sentral Pimpinan Revolusioner di Indonesia, yang
mengikat semua Seksi P.K.I & S. R, semua Serikat Buruh, Koperasi, dan
mengikat JOI dan Rakyat-Scholen, yang menaruh semangat proletaris dan
revolusioner, menunggu datangnya saat, dimana ia dengan Massa-Aksi kelak akan
merebut hak ekonomi dan politik.
Oleh karena Massa-Aksi itu cuma bisa dijalankan dengan
Massa, yakni beramai-ramai, maka haruslah P.K.I yakni pemuka Kaum Buruh dan S.R
yakni pasukan Muka Kaum Non-Proletar menambah anggotanya dengan berlipat ganda.
Kalau S.I pada waktu baiknya bisa mengumpulkan sampai 1 atau 2 juta anggota
(betul belum seperti anggota sekarang), dan menurut laporan pemerintah sendiri
sampai 5 atau 6 juta simpatisan, yakni yang mufakat dengan S.I, maka kalau
Taktik, Program dan Agitasi kita benar dalam waktu di muka ini sekurangnya kita
mesti dapat laskar buat PKI 10.000 dan buat S.R 500.000. Juga anggota dari
Serikat Buruh yang terutama seperti V.S.T.P, S.P.P.L, S.P.L.I dan S.G.B
haruslah berlipat ganda banyaknya. Di Jambi, Palembang, Banjarmasin, Aceh d.s.g
mesti ada koperasi-koperasi yang kuat. Demikianlah pula JOI harus memperbanyak
anggota dan Seksinya. Di Betawi, Semarang dan Surabaya bersamping dengan P.K.I
yang bisa mempunyai 1000-2000 anggota S.R bisa mendapat 10-20.000 anggota.
Kalau sudah bisa kita mengadakan Tentara Nasional sebesar ini tidak saja Imperialisme
Belanda segenap waktu bisa hancur, tetapi juga imperialisme Asing tak akan
gampang menentang Tentara yang sebesar itu.
V. REVOLUSI.
1. Peperangan dan Revolusi.
Sebermula maka kemajuan Pergaulan itu diatur oleh hukum yang
juga menguasai seluruh alam (hewan dan tumbuh-tumbuhan), yang dinamai Hukum
Evolusi dan Revolusi. Kedua hukum ini sebetulnya satu, karena tak ada bedanya
dalam sifat, melainkan berbeda cepatnya bekerja.
Seperti suatu sungai harus mengalir ke lautan, demikianlah
juga pergaulan hidup kita ini menuju ke zaman persamaan, kesentosaan dan
peradaban. Seperti sungai itu mengalirnya di tempat yang datar dengan tenang,
demikianlah pergaulan hidup kita, kalau tak kuat kasta yang menghambat maju
dengan sentosa. Berhubung dengan itu, maka kekayaan, kepandaian dan peradaban
maju dengan tiada di rasa.
Tetapi seperti sungai yang terhambat majunya oleh gunung
akan menebus gunung itu, demikianlah pula Pergaulan Hidup, yang terhambat
majunya oleh satu Kasta atau Bangsa yang menindas, akan memecahkan Kasta dan
Bangsa itu.
Baik dengan damai atau perkosa, Evolusi atau Revolusi
Pergaulan Hidup kita tetap maju.
Sebagian dari kemajuan itu terjadi dengan peperangan. Satu
Bangsa memerangi yang lain, dan menghimpit bangsa yang lain itu dengan alat
senjata peperangan. Kemudian, maka bangsa yang menang itu bertambah kaya,
bertambah kuasa dan bertambah pandai, sedangkan yang kalah bertambah miskin,
serta bertambah bodoh. Nietsche, seorang filsuf atau Pemikir Jerman, menjunjung
tinggi Uebermensch, atau Dewa dalam bukunya "Also Sprach Zarathustra"
(Begitulah sabdanya Nabi Zoroaster) dan dalam "Die Willie Zur Macht (Nafsu
merebut Kekuasaan), dimana ia menggambarkan dengan giat sifat-sifat yang perlu
dipakai oleh seorang panglima perang dan pembesar negeri. Buku-buku itu dibaca
oleh Kasta Opsir di Jerman di medan peperangan yang baru lalu ini dalam asap
meriam dan hujan pelor dengan segala keyakinan.
Nietsche, ialah Nabi-Imperialisme, yang menyangka, bahwa
peradaban itu mesti terbawa oleh kemenangan suatu bangsa atas bangsa yang lain.
Inilah filosofi imperialisme, yakni Kultur Paksaan, Peradaban Militerisme &
Peperangan, serta Peradaban bunuh membunuh sesama manusia dengan maksud hendak
menindas dan memeras bangsa yang lemah. Nietsche ialah Zenith atau puncak Peradaban,
yang tergambar oleh Arjuno, Iskandar Zulkarnain, Napoleon dan Wilhem II.
Selamanya ada tindasan, selamanya itulah pula ada rasa
kemerdekaan. Cacingpun, yang diinjak bergerak kiri kanan, lebih-lebih manusia
yang terinjak itu akan berusaha melepaskan dirinya dari injakan itu. Si Bengis
Nero, menguatkan majunya Kaum Kristen. George III mengadakan Washington, yang
melepaskan Amerika dari tindasan Inggris. Tsarisme di Rusia mengadakan
Bolshevisme. Inggris di India melahirkan Pergerakan Boikot dan Swaray, demikianlah
tak akan putus putusnya.
Peperangan buat Kemerdekaan tiadalah untuk menindas bangsa
lain, melainkan buat melepaskan tindasan. Satria Kemerdekaan-Bangsa, tiadalah
seorang Penindas, seperti Caesar, Napoleon dan Wilhem II, melainkan manusia
yang berhati suci, berfikiran jernih dan yang setia kepada yang tertindas.
Phoseon di Griek L'Ouverture pemimpin budak Negro, Garibaldi di Italia dan
Rizal di Filipina, semuanya Satria, laksana gambaran Kemerdekan, Kesucian,
Keberanian serta Kecintaan hati. Laskar Kemerdekaan, walaupun biasanya miskin
dan tiada bersenjata, lebih kuat dari pada Laskar Imperialisme, karena dasar
dan makudnya lebih tinggi. Disiplin laskar Kemerdekaan tiadalah pula
perbudakan, seperti pada Laskar Imperialisme, melainkan kegiatan yang suci.
Tindasan feodalisme di Prancis, melahirkan pemikir baru,
yang wujudnya mau melepaskan tindisan satu kasta dari kasta yang lain.
Voltaire dan Rousseau, dengan pena yang maha tajam
memecahkan Feodalisme itu dan melahirkan fikiran baru, buat zaman yang baru
pula, yakni: "Kemerdekaan, Persamaan dan Persaudaraan."
Kaum Satria baru lahir pula, yakni buat menjalankan buah
pena pemikir tadi. Mirabeau, Madame Roland, Danton, Robespierre dan Marat,
ialah satria zaman baru, zaman mana kita masuki dengan banyak darah dan air
mata mengalir. Satria Prancis tadi belumlah insaf, bahwa Kemerdekaan, Persamaan
dan Persaudaraan itu sekarang diperkosa oleh Kapitalisme.
Pemikir baru mesti berdiri pula. Marx dan Engels, melahirkan
pikiran dan pertandingan baru: "Kaum Proletar seluruh dunia
bersatulah" Tidak lagi satu kasta dalam satu negeri, melainkan Kasta
Hartawan diseluruh dunia haruslah dihancurkan oleh Kasta Proletar seluruh
dunia, supaya datang Kemerdekaan dan Komunisme.
Lenin, Trotsky, dll sejawatnya di Rusia sudah memperlihatkan,
bagaimana besar kekuatan Kaum Proletar itu. Sekarang di seluruh dunia Kaum
Proletar sedang mengatur kekuatan buat perkelahian yang lama, sukar dan bengis
itu.
Imperialisme boleh bersiap mengadakan kapal perang, meriam,
kapal terbang, kapal selam, bom dan gas beracun. Bangsa jajahan di Timur dan
Kasta Buruh di dunia boleh sementara dihisap dan ditindas, dan tiada apa kalau
miskin dan tak bersenjata. Bangsa jajahan dan kasta Proletar ada mempunyai
senjata yang lebih tajam dari pada peluru dan bom, yakni kerukunan.
Kalau Bangsa di jajahan dan Kaum Proletar mengerti, serukun
dan mau, maka tentara imperialisme itu akan pecah dari dalam sendirinya karena
yang memegang sekalian senjata itu ialah Kaum Proletar juga.
Inilah senjata kita Kaum Revolusioner yang terutama sekali:
Otak, Pena dan Mulut.
Serdadu Revolusi, ialah serdadu yang mengerti serta yakin,
dan kalau saatnya sudah sampai, maka dengan perkataan dan tangan saja ia bisa
menjatuhkan musuh berapapun besarnya.
Revolusi bukanlah peperangan imperialisme, yang dilakukan
buat bunuh membunuh dan rampas merampas. Revolusi ialah satu pertarungan lahir
dan batin, dimana satu Bangsa Tertindas atau Kasta Tertindas, melahirkan dan
mengumpulkan sifat-sifat manusia yang termulia untuk maksud yang tersuci.
2. Revolusi di Indonesia.
Objektifnya, yakni hal keadaan negeri di Indonesia sudahlah
lama masak buat Revolusi. Lepasan-Kerja (pemecatan - catatan editor) terjadi
hari-hari, dan tentara Kaum Buruh yang tak kerja (werkeloozen) belum pernah
sebesar sekarang. Gaji Kaum Buruh banyak dikurangkan, walaupun harga
barang-barang masih tetap tinggi. Pajak sudah lama melewati kekuatan Rakyat
kita.
Walaupun ekonomi dan politik dalam krisis, tetapi Rakyat
belum lagi matang revolusioner, artinya itu belum sempurna siap dan bergerak
sendirinya merebut dan memegang urusan ekonomi dan politik Negeri. Kesadaran
Rakyat kita dalam hal politik, sungguhpun sangat cepat majunya, baru dalam
permulaan, sebab itu masih satu persoalan besar, apakah ia cukup kuat dan giat
buat menentang musuh di dalam dan di luar negeri (Inggris, Amerika dan Jepang)
pada pertarungan yang tentu hebat dan lama sekali. Rakyat Indonesia, yang belum
pernah sedikitpun mempunyai hak politik, karena, dari dulunya terhimpit oleh
despotisme dan imperialisme, tentulah tiada bisa dibangun kan dalam dua tiga
tahun saja. Perkumpulan politik kita mesti dilipat ganda banyak dan kualitas
anggotanya pada masa ini juga. Berhubung dengan itu agitasi mesti lebih dalam
dari pada yang sudah-sudah. Pun Serikat Buruh belum lagi cukup mempunyai banyak
dan kualitasnya anggota, buat merebut ekonomi dan politik Negeri dan kelak
menguruskan hasil dan pembagian hasil itu (produksi dan distribusi) serta
mempertahankan negeri terhadap musuh di dalam dan di luar negeri.
Wataknya kelak Revolusi di Indonesia bolehlah sekarang
kira-kira kita gambarkan. Tiadalah akan seperti di Marokko umpamanya, dimana
ekonomi masih sangat mundur sekali. Oleh sebab disana pencarian hidup teutama
pertanian kecil (bukanondernimingen) dan bergembala, maka tiadalah ada
keberatan Abdul Karim buat menarik Tani dan Gembala itu lari ke gununggunung,
buat meneruskan peperangan dengan Prancis dan Spanyol. Sebab negeri sangat
besar dan penduduk sangat sedikit (luas Marokko saja, yang terletak ditepi
gurun Pasir itu ada 4 1/2 Jawa, tetapi penduduk cuma 1/6 dari Jawa, sehingga
Jawa ada 27 kali serapat Marokko dan kalau Jawa sekarang penduduknya serapat
Marokko isinya tidak 36 juta melainkan 1 1/3 juta) dan pencarian hidup gampang
sekali, maka perang gerilya, yakni perang lari-larian bisa diteruskan
bertahun-tahun. Tetapi Jawa yang mempunyai isi negeri yang nomor satu rapatnya
di dunia itu, dimana tak ada tempat lagi buat berlindung seperti Abdul Karim,
dimana industri sudah sampai ke Trust dan Syndikaat, dimana hasil sama sekali tergantung
pada pasar di luar negeri, dimana tiap-tiap tahun mesti masuk beras seharga
F.75.000.000, jadi dimana ekonomi negeri sudah sama sekali berdasar
kapitalistis dan internasional, tentulah tak setahun bisa menjalankan
Karim-isme atau Dipo Negoro-isme. (Pada masa DipoNegoro penduduk Jawa baru 5
juta).
Oleh karena di India ada Kasta Hartawan bumi putera yang
kuat, maka juga pergerakan politik selamanya ini bisa nasionalistis
tulen. Artinya itu, cuma buat mengusir pemerintah Inggris dan mengisi pemerintah
itu dengan Wakil dari Hartawan bumi putera. hak Milik akan tinggal tetap, dan
berhubung dengan itu perusahaan yang besar-besar tiada akan jatuh di tangan
Buruh industri. Buat Rakyat Kemerdekaan di India itu tak akan berapa menambah
hak ekonomi dan politik. Dalam perkelahian menentang Imperialisme Inggris,
politiknya Kaum Nasionalis India semata-mata buat memakai Rakyat dan Buruh
sabagai serdadu buat maksud Kaum Hartawan. Oleh karena senjata mogok, buat
dilawankan kepada Inggris, juga berbahaya buat kapital nasional sendiri, maka
Ghandi melarang Kaum Buruh mogok. Senjata yang bisa dipakai oleh Kaum
Nasionalis di India ialah Boikot saja, karena boikot itu mengenai perusahaan
dan perniagaan Inggris dan membesarkan perusahaan dan oerniagaan Hartawan Bumi
Putera.
Tetapi di Indonesia senjata mogok itu bisa dipakai
seluas-lusnya, karena tak ada kapital nasional yang bisa dikenai. Mogok umum di
Indonesia bisa dan mesti disertai oleh demonstrasi umum, karena pergerakan
politik kita bukan untuk satu golongan kecil, yakni dari hartawan saja,
melainkan untuk rakyat melarat yang terbanyak itu. Rakyat Indonesia, kalau
sudah merebut kekuasaan politik, bisa mengubah nasibnya dengan lekas dan bisa
menasionalisi sekalian perusahaan yang besar-besar (kebon, pabrik, tambang, kereta,
kapal, dan bank) yang sekarang di tangan hartawan Belanda. Bersama dengan ini,
maka kelak nasib buruh dan Rakyat akan segera bisa menjadi baik.
Berhubung dengan hal diatas, maka Revolusi Indonesia kelak
akan berbeda betul dengan pemberontakan Marokko dan pergerakan di India
(Non-Cooperation clan Swaray). Revolusi Indonesia tiadalah akan semata-mata
untuk menukar kekuasaan Belanda dengan kuasaan bumi putera (Peperangan
Kemerdekaan bangsa), tetapi juga untuk menukar kekusaan hartawan Belanda dengan
Buruh Indonesia (putaran-sosial).
Jadi pergerakan kita sekarang, ialah nasionalis sosial, dan
berpadanan dengan itu perkakas bertarung ialah perkakas militer (Karim-isme)
bercampur dengan perkakas ekonomi dan politik, yakni mogok, boikot dan
demonstrasi.
Mana kelak yang lebih kuat diantara perkakas militer dan
perkakas ekonomi dan politik itu, buat seluruh Indonesia, yang mempunyai
pulau-pulau yang tiada sama kemajuannya, tiadalah bisa kita putuskan dengan
sepatah perkataan saja.
Di Jawa, sebagai sentral ekonomi Indonesia tentulah
Karim-isme cuma sebagian bisa dilakukan, yakni kalau perkakas mogok, boikot dan
demonstrasi sudah segenap waktu bisa dipakai. Artinya itu, kalau perkumpulan
politik (P.K.I & S.R) dan Serikat Buruh sudah siap betul. Sungguhpun begitu,
Kaum Serdadu tak sekejap boleh dilupakan. Karena, kalau kelak buruh dan Rakyat
bisa merebut semua kota-kota di pesisir, tetapi benteng-benteng Bandung,
Ambarawa dan Malang masih setia pada pemerintah, maka Belanda bisa lekas
mendatangkan pertolongan dari luar Indonesia (Negeri Belanda, Inggris dan
Amerika). Seperti dulu Spanyol, sesudah 3/4 di usir oleh Filipina, tiba-tiba
menjual Filipina kepada Amerika, begitu juga kelak Belanda, kalau sudah 3/4
terusir, akan mencari akal busuk. Sebab itu benteng-benteng di Jawa, dimana
kelak Belanda lari berlindung, mesti kita persatukan dengan Rakyat merah. Dan
kelak kita tak boleh menjatuhkan palu terakhir dan menjalankan Karim-isme
(kekuatan militer) sebelum kumpulan politik dan buruh matang betul dan kaum
serdadu mengerti betul akan maksud kita.
Di luar Jawa, dimana industri masih mundur Karim-isme bisa
dilakukan. Tetapi kita mesti jaga lebih dahulu supaya Jawa sudah siap dengan
senjatanya, yakni mogok, boikot dan demonstrasi. Kalau belum siap dan
Karim-isme diluar Jawa dijalankan, maka pergerakan kita semacan itu akan
sia-sia dan bisa lama memundurkan aksi.
Meskipun begitu, kalau sekiranya Karim-isme itu di Sumatra,
Borneo, Celebes atau Ternate bisa dijalankan dengan lama dan kuat sekali, maka
Belanda mesti akan dapat kesusahan besar. Tentu ia segera akan memukul
pergerakan politik dan Serikat Buruh di Jawa, tetapi sebab ia terpaksa
menaikkan pajak, semangat revolusioner akan tetap naik di seluruh Indonesia.
Kita tahu, bahwa Anarkisme di mana-mana, sebab kapitalisme
sudah sangat teratur, tak bisa menang. Anarkisme di India sudah masyur
bertahun-tahun, tetapi tetap tinggal kalah. Di Mesir sangat memukul pergerakan
yakni sebagai provokasi, yang memberi senjata pada Inggris buat melarang sama
sekail pergerakan politik (sesudah pembunuhan Sir Lee Stac). Pergerakan
Anarkisme malah sangat mengacaukan dan melemahkan pergerakan Buruh di Jepang.
Tetapi walaupun kita sama sekali tak mempunyai pengharapan akan mendapat
Kemerdekaan Indonesia dengan jalan Anarkisme, berhubung dengan sikap
pemerintah, Anarkisme di Indonesia bisa timbul. Selama Rakyat masih bisa
mendengar pembicaraan nasibnya, protes dan maksud kita, selamanya itu mereka
bisa ditahan sampai ke Aksi Teratur. Tetapi kalau pemerintah menutup Kawah
Pergerakan, maka api revolusioner itu akan meletus di lain tempat:
"Umpamanya gula akan habis terbakar. jembatan akan runtuh, Lokomotif
terguling dan Belanda terbunuh dimana-mana." Bukan karena kemauan P.K.I,
melainkan kemauan Rakyat yang sudah putus asa, dan lari dari organisasi kita.
Walaupun pemberontakan Indonesia ada mengandung watak
kebangsaan, tetapi, sebab ekonominya Jawa dan sebagian dari Sumatra sudah
sangat maju kapitalistis dan internasional, maka Revolusi kita akan berwatak
nasionalis-sosial, yakni campuran pergerakan kebangsaan dan kekastaan.
Berhubung dengan wataknya Revolusi di Indonesia itu, maka
walaupun Karim-isme atau perang gerilya dan Anarkisme (sebab kapitalisme masih
muda) kelak menjadi "aanvulling" (tambahan - catatan editor) atau
tempelan dari pergerakan revolusioner, tetapi kemerdekaan Indonesia terletak
terutama pada massa aksi yang teratur: "mogok, boikot dan
demonstrasi."
Walaupun berapa juga verleidelijk atau menggodanya
Karim-isme dan Anarchisme (lebih-lebih kalau reaksi mengamuk!) kita tidak boleh
diprovokasi dan menyimpang dari jalan yang betul, melainkan tetap mendidik
sampai Rakyat bisa memegang senjata Massa aksi yang maha tajam
itu.
3. Taktik di Indonesia.
Dalam daya upaja memecahkan imperialisme Belanda ini tak
perlu kita berpusing kepada memikirkan Sosial Demokrasi, seperti Partai kita di
Eropa dan Amerika. Stokvis c.s di negeri kita tak berani berhubung dengan
rakyat, seperti juga di lain-lain negeri jajahan Kaum Sosial Democrat sama
sekali jadi ekornya imperialisme.
Cuma kita mesti menjaga, supaya di dalam partai kita,
semangat kelembekan Sosial Demokrat tak bisa masuk.
Taktik kita terhadap kepada revolusioner kebangsaan dan
agama ialah menarik mereka kedalam S.R Tiadalah ada salahnya, kalau kita kelak
mengadaan Nasional-Platform, yakni Barisan Revolusioner yang memeluk sekalian
Partai revolusioner besar kecil yang ada sekarang ini dan memimpin Barisan itu
menjatuhkan imperialisme Belanda.
Taktik kita ke dalam negeri, terutama menarik sekalian
golongan yang tiada bersenang hati di bawah Belanda. Kita mesti berusaha keras
mengatur buruh dan tani gula yang banyaknya barangkali lebih dari 1.000.000
itu. Buruh Kereta yang 80.000, buruh dan tani teh, kopi, coklat, jati, getah
yang tentu tak kurang dari 1.000.000 pula, buruh minyak tanah yang kira-kira 40.000,
tambang arang, emas, timah yang lebih dari 50.000 itu, buruh pelabuhan yang
kira-kira 100.000 dan kuli kontrak yang 300.000 itu. Juga tiada boleh dilupakan
Kaum Student yang di sekalian jajahan jadi pasukan-muka pergerakan. Di Jambi,
Palembang, Padang, Banjarmasin bumi putera yang berada itu, perlu koperasi buat
mempertahankan diri terhadap kepada kapitalis besar. Penduduk kota nomor satu
dan kota nomor dua dan desa-desa harus semua ditarik ke dalam S.R. atau P.K.I.
Disebabkan oleh bermacam-macam hal, maka masih sangat sedikit dari semua
golongan yang di atas terikat oleh organisasi kita. Kita percaya, berapa pun
besarnya reaksi dengan segala kecakapan pada waktu di muka ini kita akan bisa
melipat ganda anggota P.K.I & S.R, Serikat Buruh, JOI d.s.g. Sedangkan
Ternate suatu pulau kecil saja ada kalanya bisa menarik anggota 13.000 dan
berkontribusi beratus rupiah. Kita sama sekali tak akan heran, kalau dijalankan
betul, Jawa, Sumatra, Borneo, Celebes, Ambon dan Bali besok atau lusa akan
memeluk beratus ribu anggota, yang bisa membayar cukup dan tetap.
Kalau kita tidak bisa mengadakan organisasi yang bisa
memeluk sekalian Kasta dan sekalian pulau terberai-berai itu, maka pekerjaan
melemparkan Imperialisme itu adalah satu percobaan yang sangat sia-sia. Belanda
bisa lari dari satu tempat ke tempat yang lain buat berlindung dan mencari
kawan. Jawa akan bisa di adu dengan Sumatra, Menado dan Ambon sama Rakyat Islam
d.s.g. Sebab itu taktik kita yang terpenting sekali ialah mempersatukan semua
pulau dan Kasta dengan Program Minimum, yang dirasa oleh semua penduduk
Indonesia.
Kalau kita bisa mempersatukan seluruh Indonesia dan
mengadakan disiplin yang keras, barulah kita bisa memikirkan merebut
kemerdekaan dan barulah bisa mempertahankan kemerdekaan itu terhadap kepada
Inggeris dan Amerika.
Inggris tentu tak suka Indonesia akan menang. Pusat armada
di Singapura (satu negeri di Indonesia juga), gunanya buat mempertahankan dan
melebarkan jajahan Inggris di Asia. Dalam waktu peperangan, maka Singapura
mudah diperhubungkan dengan Australia, India dan HongKong. Kalau di Indonesia
pecah revolusi, maka perhubungan dengan Australia akan terancam. Inilah hal
yang bisa dijadikan alasan oleh Inggris buat menolong Belanda dan memakai
Volkenbond buat membetulkan politik Inggris. Lagi pula berjuta-juta ada Kapital
Inggris di kebon getah, teh dan terutama di Minyak Tanah, sehingga Koninkelijke
Petroleum Maatschappij itu bolehlah dikatakan perusahaan Inggris. Akhirnya
kemerdekaan Indonesia akan sangat disukai oleh Tanah Malakka dan India dan
dengan lekas akan menggoncangkan seluruh jajahan Inggris, lebih berbahaya dari
segala macam pergerakan revolusioner di Eropa.
Kita tahu bahwa ketika Amerika memikir-mikir mau memberikan
kemerdekaan pada Filipina, yang sudah lama matang buat Zelfbestuur (managemen
swadaya - catatan editor) itu ia dapat tegoran dari Prancis, Inggris, Jepang
dan Belanda. Alasan negeri-negeri imperialis, itu akan menyebabkan semua
jajahan akan lebih keras menuntut kemerdekaannya dan akhirnya kekuasaan bangsa
putih di Asia akan jatuh. Sebab itu terhadap kepada kemerdekaan Indonesia semua
Imperialis mesti akan bersatu.
Walaupun Amerika menamai dirinya demokratis, buat kita tak
kurang bahayanya. Pada tahun yang sudah dia terpaksa membeli getah dari luar
negeri F.1.500.000.000. Harga ini F.1000.000.000 lebih mahal dari 2 tahun
terlampau. Sebabnya ialah karena Inggris yang menguasai 70%. dari semua getah
di dunia bisa dengan sekehendak hatinya menaikan harga itu, sehingga Amerika
mesti membayar berlipat ganda. Supaya ia lepas dari monopoli Inggris, maka
Amerika berdamai dengan Belanda. Boleh jadi pada waktu paling di muka ini
berjuta-juta modal Amerika akan masuk ke Indonesia buat menambah kebun getah.
Jadi ringkasnya Inggris dan Amerika (juga Jepang) semuanya
cinta pada Indonesia dan semuanya mau menduduki. Kalau kita merdeka, tetapi tak
cukup bersatu, maka seperti Tiongkok, kaum perampok itu akan mudah adu-mengadu
kita sama kita. Negeri kita akan cerai-berai, diperintahi atau dipengaruhi oleh
beberapa imperialis. Dengan segera kita yang tiada mempunyai armada ini, kalau
pikiran dan maksud tak satu akan hancur.
Sebaliknya kita tak boleh ngeri, asal mengerti, bahwa
diantara satu imperialis dan yang lainnya, yang semuanya mengancam kita itu ada
pertentangan keperluan. Politik kita kelak haruslah arif bijaksana mengenal
pertentangan itu sewaktu-waktu dan memperdalam pertentangan itu supaya satu
sama lainnya si perampok itu berkelahi dan kita terpelihara.
Kalau saatnya itu kelak sudah sampai, dan kita betul
bersatu, maka nakoda kapal kemerdekaan itu, wajiblah dengan segala keyakinan,
keberanian, ketetapan hati dan kepintaran menentang ribut topan di dalam dan di
luar negeri, serta awas akan batu karang yang tersembunyi yang setiap waktu
bisa menghancurkan kapal kemerdekaan itu.
4. Massa Aksi di Indonesia..
Apabila kira-kira 30 tahun yang lalu Bonifacio mendapat
jawab dari Rizal, bahwa Filipina tak bisa membuat Revolusi, karena tak
mempunyai kapal dan bedil, maka Bonifacio dengan marah berkata: "Bliksem
(petus!). Dimana dia baca?"
Dr. Jose Rizal, ialah seorang intelektual, yang dibuang oleh
Spanyol ke sebuah pulau kecil. Ketika Dr. Rizal akan ditembak, sesudah diadakan
tuduhan yang palsu, maka Bonifacio, yang memimpin Katipunan, yakni satu
perkumpulan rahasia, mengirim wakil dengan rahasia sekali menemui Dr. Rizal,
meminta, apakah ia mau lari dari penjara dan apakah ia mau memimpin Katipunan
dalam revolusi kepada Spanyol. Dr. Rizal menjawab seperti diatas. Mendengar
jawab itu Bonifacio menyindir dengan marah, bahwa tak ada buku sejarah, yang
mengatakan, bahwa bangsa yang miskin dan tertindas itu mesti lebih dahulu
menyiapkan kapal dan bedil buat revolusi.
Bonifacio ialah seorang Proletar tulen. Tetapi sebab sangat
rajin belajar sendiri, ia cukup mengetahui revolusi di Eropa dan Amerika. Oleh
sebab keberanian, kesucian serta ketetapan hati ia mendapat pengaruh dalam
rahasia di seluruh Filipina luar biasa sekali. Sudah lama ia bercerai dari La
Liga Filipina (Persatuan Filipina) yang didirikan oleh Dr. Rizal, karena
perkumpulan ini sudah terang kompromis dan lembek sekali. Tetapi sebab Rizal
guru dari Bonifacio dan tinggal diseganinya sebagai pemikir dan satria yang
luar biasa, ia sudi menyerahkan pimpinan Katipunan yang dibikinnya itu kepada
Dr. Rizal.
Apabila akhirnya Dr. Rizal dengan tuduhan palsu ditembak,
maka seluruh rakyat Filipina meratap dan berniat membalas dendam. "Kalau
Rizal seorang yang begitu besar, sehingga sangat disegani oleh Profesor di
Eropa, yang tiada bersalah apa-apa ditembak lagi, siapakah yang bisa bekerja
buat kemerdekaan Filipina?" Inilah pertanyaan yang lahir dalam pikiran
Bumi Putera lelaki dan perempuan.
Sekaranglah datangnya saat buat Bonifacio akan
memperlihatkan kepercayaannya atas massa atau Rakyat Filipina. Di Balintawak
dekat dalam rahasia sekali Bonifacio mengumpulkan anggotanya dan dengan
"bolo" (pedang) sekerat saja mereka menyerang tentara Spanyol yang
teratur dan kuat itu. Beribu-ribu Rakyat mengikut panggilan Katipunan dengan
bolo atau tanpa bolo. Dalam beberapa pertemuan dengan serdadu Spanyol, Rakyat
Filipina, yang tak bersenjata itu merebut dengan tangan saja senapan serdadu
Spanyol. Pada tiap-tiap medan peperangan berpuluh dan beratus senapan direbut,
sehingga akhirnya cukup Rakyat mempunyai senjata api buat melawan Spanyol.
Tiada lama antaranya, maka bendera Rakyat yang karena
miskinnya dibuat dari kain robek-robek saja terkibar di sebagian besar dari
kepulauan Filipina. Hanyalah benteng Manila saja yang belum jatuh.
Banyak lagi contohnya massa aksi, yakni aksi Rakyat, kalau
betul sudah matang revolusioner, baik di Eropa ataupun Asia, walaupun tiada
bersenjata apa-apa bisa menundukan laskar yang teratur.
Umpamanya L'Ouverture, seorang budak Negro di Haiti (Amerika
Tengah), yang memimpin budak miskin pula, bisa menaklukan Inggris, Spanyol dan
serdadu Napoleon berikut-ikut. Di Revolusi Besar Prancis (1789) Rakyat yang
paling miskin dan kurus kelaparan itu, sesudah kena propaganda revolusioner
bertahun-tahun, akhirnya dengan tangan dan batu juga mengalahkan Laskar Raja
dan Bangsawannya. Juga buruh di Rusia, yang miskin itu, baik pada revolusi 1905
ataupun 1917, tiada lebih dahulu memesan "kapal terbang" sebelum ia
menyerang tentara Kaum Hartawan dan bangsawan di Rusia.
Senjatanya Rakyat yang betul revolusioner itu, hanyalah
pena, mulut dan tangan saja. Kalau semangat revolusioner sudah betul menjadi
darah daging Rakyat melarat, maka semua kepandaian dan senjata itu akan timbul
sendirinya. Senapan bisa direbut dengan tangan dan juga seperti di Filipina
tukang rumput bisa jadi jenderal. Inilah kemuliaan Revolusi dan kesucian si
Revolusioner. Kita diatas mengambil contoh terutama dari Filipina, sebab
penduduknya lebih dekat kepada kita dari penduduk negeri
lain.
Orang tak bisa bantah, "O, ya, mereka tinggal di negeri
sejuk sebab itu kuat." Atau "mereka berkulit putih atau berasal ini
atau itu." Rakyat Filipina juga bangsa Melayu dan diamnya juga di
Khatulistiwa.
Sebaliknya, walaupun sifat dan asal kita bersamaan, dalam
hal lain-lain Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada kita.
Ketika mereka memberontak kepada Spanyol dan kemudian kepada
Amerika, serta 3 tahun mendirikan Republik, jumlah jiwa cuma 8 juta. Spanyol kira
kira 25 juta, dan satu imperialisme terbesar di dunia seperti Inggris. Amerika
yang 50.000 terbunuh oleh bolo itu terkaya, dan mempunyai 100.000.000 jiwa.
Sedangkan Indonesia sekarang mempunyai 55.000.000 jiwa, dan menentang Belanda
yang cuma 6 1/2 juta saja.
Kita sekarang ada mempunyai perkakas mogok, tetapi Rakyat
Filipina, sebab waktu revolusi industri belum maju, terpaksa langsung
bertanding di medan peperangan, yang menuntut korban 100.000 jiwa mereka.
Kita lebih besar membayar pajak dari Filipina di bawah
Spanyol, yang sekarang lebih besar dari bangsa apapun juga di dunia.
Kita masih bisa dan tetap akan bisa menaburkan benih
revolusi, karena kita cukup mempunyai propagandisten dan surat kabar yang
dibantu oleh kereta dan kapal. Sedangkan di Filipina Rizal yang memimpin La
Liga Filipina yang sejinak B.O itu ditembak, dan propaganda terutama harus
dijalankan dari luar negeri, Banifacio harus menjalankan propagandanya di
Filipina dengan sangat rahasia sekali serta dengan kaki atau sampan kecil saja.
Buku-buku dan surat kabar revolusioner, karangan Rizal, Del Pilar, d.s.g. yang
dimasukan dengan rahasia sekali dari Spanyol, Hong-Kong dan Singapore,
dibacakan oleh pasukan bacaan, yang membacakan pada Rakyat yang tak pandai
membaca itu dalam rahasia sekali, karena pemerintah menghukum dan menyiksa
keras si pembaca atau si punya buku dan surat kabar itu.
Walaupun Rakyat Filipina lebih dalam kecelakaan dari pada
kita, ia toh bisa dan berani menentang Spanyol dan Amerika lamanya 3 tahun dan
acap kali mengalahkan tentara kedua negeri yang sangat teratur itu.
Kita satu menitpun tak ada syak (keraguan) dan waham
(ketidakpercayaan), bahwa kalau Rakyat Indonesia cukup sadar dalam hal politik
(politik bewust) dan sudah tunggang mau merebut haknya baik ekonomi ataupun
politik, juga dengan tangan dan batu saja bisa mengusir Belanda yang dua tiga
biji itu dan menolak semua musuh dari luar negeri.
Disini tiada tempatnya buat membicarakan perkakas kita yang
baik kita pakai, kalau Mogok dan demonstrasi kelak sudah melewati batas
perdamaian dan sampai sendirinya ke tingkat perkelahian senjata. Memang kita di
negeri semacam Indonesia cukup menyimpan senjata, yang segera akan kelihatan,
apabila Rakyat yang 55.000.000 juta itu betul-betul sadar politik dan sama
sekali keputusan jalan damai. Ringkasnya, kalau semuanya Buruh, Tani, Saudagar,
Student, Penduduk kota, Jongos, Shauffeur, Serdadu, Matros, Tukang Cukur, Koki
d.s.g mau merebut kemerdekaan dan rela mengorbankan jiwa seperti Rakyat
Filipina tempo hari, maka kemerdekaan kita letaknya di ujung pena saja:
"Besok Republik Indonesia bisa ditabalkan (diproklamasikan)."
5. Rapat Rakyat Indonesia.
Saat kita buat Massa Aksi itu sewaktu-waktu bisa datang.
Krisis ekonomi dan politik yang sekarang sudah begitu dalam akan bertambah dalam
lagi, kalau umpamanya datang bahaya kelaparan dan bahaya penyakit. Juga sikap
reaksioner dari pemerintah sekarang ini sangat memperdalam permusuhan antara
Belanda dan Rakyat.
Kalau Rakyat sempurna sadar akan haknya sebagai manusia,
maka semua pembuangan dan tutupan yang sewenang-wenang itu kelak segera akan
dibalas oleh Rakyat sendirinya. Kalau umpamanya Pimpinan melarang perbuatan
semacam itu, maka Pimpinan itu sendiri akan dilemparkan oleh Rakyat dan akan
diganti oleh Rakyat sendiri dengan pimpinan baru.
Kalau pemerintah melarang membuat pertemuan, demonstrasi
& mogok, maka ia tiada akan memperdulikan perintah itu lagi, melainkan
terus keluar memperlihatkan tiada senangnya dengan peraturan yang ada.
Kalau pemerintah mengirim Polisi dan Serdadu, maka Rakyat
yang betul betul sadar itu sendirinya akan mendekati Serdadu dan Polisi itu.
Kalau mereka itu tak mau memihak kepada Rakyat, maka Rakyat akan mengadakan
Pasukan-Merah sendiri, mencari senjata sendiri dan bekerja sendiri buat
mempertahankan Mogok, Pertemuan, dan demonstrasi.
Kalau Pemerintah terus memakai "Tangan Besi" dan
tiada menimbang permintaan Rakyat (yang mengisi perutnya hamba-hamba Pemerintah
itu), tetapi Rakyat belum berani melawan berterang-terangan, maka ia akan
sendirinya berjalan gelap-gelap. Seperti di Mesir, India dan Irlandia juga di
Indonesia akan kejadian sabotase, racun-meracun dan bunuh-membunuh dengan
rahasia sekali.
Semangat revolusi itu, kalau sudah menjadi darah daging
Rakyat melarat tiadalah bisa dibunuh dengan hukum atau peluru lagi. Kalau
semangat revolusi itu sudah masuk di semua kasta dan sekalian pulau, maka
datanglah saatnya buat memanggil Rapat Rakyat Indonesia.
Proletar, Tani, Student, Saudagar dan Serdadu haruslah
dengan atau tanpa izin Pemerintah, memilih dan mengirimkan Wakil ke suatu
tempat di Indonesia buat Rapat atau Pertemuan.
Rapat Rakyat ini akan membuat Hukum untuk Rakyat Indonesia,
dan kalau pemerintah Belanda tak suka menjalankan atau mengaku hukum itu dan
tak suka pergi (sudah tentu is tak suka!!), maka Rapat Rakyat itu mesti
sendirinya menjalankan. Kalau Pemerintah mengirim laskarnya, maka Rakyat mesti
sudah bisa menjawab kiriman pemerintah itu dengan sepatutnya (baik dengan
propaganda dalam laskar itu sendiri, baikpun dengan Tentara Merah).
Memanggil Rapat Rakyat itu artinya mengirim ultimatum atau
menentang Pemerintah sekarang, yang kita sudah yakin tak bisa mengurus terus
ekonomi dan politik negeri dan tak disukai lagi oleh Rakyat. Panggilan kita itu
haruslah dikeraskan oleh kemauan dan perbuatan Rakyat, yang sudah terbukti pada
Mogok Umum dan demonstrasi, yang tak memperdulikan korban lagi dan dimana
seluruh Rakyat melarat memperlihatkan ketetapan hati dan kegiatan. Dalam hal
ini Rapat Rakyat itu, seolah-olah mahkotanya aksi kita dalam politik.
Tentulah Rapat Rakyat itu baru bisa dipanggil kalau sudah
lahir alamat dan tanda-tanda, bahwa Rakyat melarat sudah matang revolusioner::
"Umpamanya kalau mogok, pertemuan dan demonstrasi,
walaupun dilarang bisa diteruskan (tentulah kalau pimpinan merasa perlu...).
Kalau tuntutan ekonomi dan politik dalam mogok dan demonstrasi sudah kelihatan
terasa dan termakan betul oleh seluruh Rakyat. Misalnya buruh tetap menuntut
tambah gaji, sebagian dari untung, merdeka bergerak, dan disana sini sudah
mendirikan dewan buruh atau rapat buruh buat menguruskan hasil serta sudah
merebut pabrik atau kebun terutama di SOLO-VALLEY, atau Daerah Kali Solo, yakni
pusatnya ekonomi Indonesia. Kalau berhari dan berbulan (seperti di Mesir,
India, Tiongkok, Jerman dan Rusia) Rakyat Indonesia berdemonstrasi menuntut di
hapuskan pajak, menuntut Algemeen Kiesrech (hak umum untuk memilih - catatan
editor), Rapat-Rakyat, Kemerdekaan dan tuntutan politik dll. Kalau Rakyat yang
55 juta itu, lebih suka mati dari pada hidup seperti budak dan ketawa melihat
kuda dan karet polisi. Kalau bui dibongkar dan pemimpin dikeluarkan. Kalau
buruh kereta dan kapal mungkir membawa pemimpinnya ke tempat buangan. Kalau
kaum serdadu mungkir menindas pergerakan dan mungkir menembak Rakyat yang tak
bersenjata dan tak bersalah itu. Kalau Belanda tidur dengan pistol di
tangannya, dan tak berani makan, kalau makanannya tidak diperiksa oleh dokter lebih
dahulu..."
Inilah semuanya tanda dan alamat, bahwa semangat revolusi
itu sudah berurat dalam dan menjalar kemana-mana, serta tiada bisa diobat lagi,
kecuali dengan kemerdekaan.
Barulah datang saatnya buat pimpinan revolusioner itu
menimbang kekuatan kawan dan lawan, mengumpulkan Tentara Nasional dan
mengerahkan tentara itu terhadap kepada musuh di dalam dan di luar negeri.
Sebelumnya saat buat bertanding habis-habisan itu datang,
maka pekerjaan kita yang terutama terus: "Pertama Agitasi, kedua Agitasi dan
ketiga Agitasi."
Kalau Bonifacio, seorang proletar tulen, dengan jiwa selalu
terancam dan dimana perkakas buat propaganda dan agitasi belum secukup di
Indonesia bisa mengadakan Nasional Organisasi pada beratus-ratus kepulauan
Filipina, maka kita di Indonesia Selatan dengan jiwa 55 juta dan perkakas lahir
batin lebih dari cukup, tak boleh lekas putus asa dan tak boleh lekas
menyimpang dari jalan yang betul.
Kita, sebagai Kaum Marxis, mesti tinggal bersandar pada
keperluan, kemauan dan kekuatan massa, yakni Rakyat melarat dan kalau mereka
belum masak-revolusioner dan belum siap menentang musuh dalam dan luar negeri
yang sangat teratur itu, maka kita tak boleh diprovokasi oleh musuh, yakni
tertipu bertarung pada tempat dan saat yang tidak kita kehendaki.
Semua pemberontakan Indonesia, kalau Rakyat belum matang
revolusioner akan sia-sia belaka. Semua macam "putch" (pemberontakan
tiba-tiba dari satu golongan kecil) harus kita singkiri dan musuhi. Kalau
pemberontakan semacam itu sekiranya menang, maka Indonesia merdeka itu akan
segera jatuh di tangan seorang militer. Dalam hal ini tiadalah politik dan
rakyat yang berkuasa melainkan tangan besi seorang Militer. Hal ini terjadi di
Tiongkok pada tahun 1911, dimana kekuasaan politik segera lepas dari Dr. Sun
Yat Sen dan jatuh di tangan Yuan Shi Kai & Co.
Aksi ekonomi dan politik yang menempuh Rapat Rakyat itulah
buat kita jalan yang tentu dan sentosa buat merebut kemerdekaan, menjatuhkan
segala kekuasaan negeri pada Kaum politik, dan menghindarkan diktaturnya dan
tindasan Kaum Militer dari bangsa Indonesia sendiri.
6. Revolusioner Komunis.
Pada suatu negeri yang banyak mengandung sisa feodalisme,
serta bibit kapitalisme, seperti Indonesia, sangatlah susah sekali buat menjadi
komunis. Sisa feodalisme membawa agama dan politik, yang walaupun bisa
revolusioner (seperti Dipo Negoro) tetapi sifatnya feodalistis. Demikianlah B.O
& N.I.P yang percaya, bahwa Kerajaan cara Majapahit bisa dibangunkan lagi
atau S.I yang dulunya percaya, bahwa Kerajaan Islam dan Kalifatullah yakni peraturan
feodalisme akan bisa dibangunkan lagi.
Kapitalisme jajahan yang masih muda di negeri kita itu,
mengandung bermacam-macam bibit pula. Ada yang bersifat kapitalistis, seperti
juga terbawa oleh 3 partai yang tersebut diatas tadi, yang menghendaki modal
Indonesia. Buruhnya yang masih muda itu ada pula mengandung anarkisme, yakni
paham borjuis kecil yang dikalahkan oleh Modal-Besar. Demikianlah Anarkis di
Eropa, yang hidup pada zaman yang lalu seperti Waffling, Proudon, Bakunin d.s.g
mewakili kasta borjuis kecil atau kasta buruh yang kemarinnya borjuis kecil.
Sebab borjuis kecil itu individualis (berdiri sendiri), karena ia si berpunya
kecil, maka perkakasnya bertarung juga individualistis (memakai bom) dan tak
tahu bersama-sama.
Tetapi buruh industri model baru, yang selalu kerja
bersama-sama dan berdisiplin (karena kapitalisme memaksa begitu), membawa
wataknya bersama itu menentang kapitalisme. Sebab itulah pada buruh industri,
dan cuma pada buruh industri saja terbawa "kerja bersama" dan "bertarung
bersama" dan dengan didikan lekas bisa hilang individualisme. Makin maju
kapitalisme makin hilang anakisme (seperti Inggris dan Jerman) dan makin maju
"kerja bersama" dan "aksi Bersama."
Jadi revolusioner agama, feodalistis, revolusioner hartawan
dan anarkistis cuma perkara yang lalu, yang besok kalau industri maju, akan
hilang seperti abu ditiup angin, dan berganti dengan revolusioner komunis.
Dasarnya revolusioner komunis, tiadalah perasaan, seperti
pada revolusioner yang lain-lain tadi, melainkan pengetahuan. Adanya revolusi
kita percaya, karena perbantahan kasta. Di Indonesia karena kasta modal Belanda
tak bisa kompromi dengan Rakyat Indonesia. Datangnya revolusi tidak tiba-tiba
jatuh dari langit, melainkan kalau Krisis ekonomi dan politik sudah cukup dalam
dan Rakyat sudah cukup sadar. Revolusi itu bisa berhasil, kalau banyak dan
kualitas anggota, dan pengaruhnya partai kita sudah mencukupi.
Kalau keadaan ekonomi dan politik sudah cukup
matang-revolusioner, tetapi Rakyat dan Partai kita belum siap, maka kita
komunis mesti bisa menahan perasaan kita sebagai individu, menyingkiri segala
percobaan avonturisme atau sia-sia dan menunggu bertarung sampai Rakyat dan
Partai kita siap. Tiadalah sekejap kita boleh ditarik perasaan, melainkan tetap
berdiri atas pengetahuan. Tentu kita menjunjung tinggi keberanian Partai kita,
kalau disana atau sini didorong oleh musuh.
Imperialis putih ialah, politik Amerika semacam itu akan
atau Bangsawan yang berarti banyaknya dan kekayaannya tetapi tidak seperti
individu, melainkan bersama dengan Massa dan buat Rakyat Melarat itu pula. Aksi
dan keberanian individual buat kita sangat sedikit harganya.
Kalau keadaan ekonomi & politik umpamanya sementara
berubah baik, dan Rakyat jadi sementara lembek, maka kita tak boleh jadi
refomis, seperti Sosial Demokrat atau jadi mata gelap seperti anarkis,
melainkan tetap meneruskan Aksi revolusioner yang sepadan dengan keadaan. Kita
tahu, bahwa Kapitalisme tak bisa mengatur negeri dan besoknya krisis mesti
datang lagi.
Strategi kita tiadalah bersandar atas perasaan, seperti
kebangsaan atau keberanian sebagai individu (melemparkan bom), melainkan
bersandar pada pengetahuan tentangan ekonomi & politik Negeri dan
pengetahuan yang dalam sekali atas psikologi atau tabiat Rakyat kita, tabiat
mana turun naik sepadan dengan keadaan ekonomi. Bagaimana keadaan industri,
pertanian dan perniagaan serta sikapnya imperialisme Belanda haruslah kita
ketahui betul, karena keadaan inilah yang menurun naikkan semangat
revolusionernya seluruh Rakyat melarat.
Kalau krisis dalam, rakyat melarat matang revolusioner.
Partai kita sempurna mempunyai kekuatan, disiplin dan pengaruh, serta musuh di
dalam dan di luar negeri kebingungan, maka barulah General Staff kita
mengumpulkan segala kekuatan yang ada dan mengorbankan tenaga dan jiwa buat
kemerdekaan sebagai bangsa dan sebagai kasta..
Hai Rakyat Melarat !!
Berapa lamakah lagi kamu mau menderita injakan dan tindasan
semacam ini? Tiadakah kamu tahu bahwa sangat besar kekuatan mu yang
tersembunyi? Tiadakah kamu insaf, bahwa kerukunanmu artinya kemerdekaan buat
kamu dan keturunanmu? Beranikah kamu terus hidup dalam perbudakan dan
menyarankan anak cucumu juga jadi budak ?
Hai Kawan-Kawan Separtai !!
Ketahuilah, bahwa Rakyat kita, yang beribu tahun diajar
jongkok, yang belum pernah mempunyai hak sebagai manusia itu tak mudah dididik.
Janganlah kamu putus asa, kalau daya upayamu tidak lekas memperlihatkan hasil
yang nyata. Teruskan pekerjaanmu yang maha-mulia itu, di tengah-tengah ratap
tangis Rakyat melarat. Teruskan pekerjaanmu, walaupun bui, buangan, tonggak
gantungan selalu mengancam. Ketahuilah, bahwa didikan itulah yang sangat
ditakuti oleh musuh kita. Karena tak ada bangsa atau kasta yang mengerti di
dunia ini yang rela ditindas dan dihisap...
Kawan-Kawan !!!
Janganlah segan belajar dan membaca! Pengetahuan itulah
perkakasnya Kaum Hartawan menindas kamu. Dengan pengetahuan itulah kelak kamu
bisa merebut hakmu dan hak Rakyat. Tuntutlah pelajaran dan asahlah otakmu
dimana juga, dalam pekerjaanmu, dalam bui ataupun buangan! Janganlah kamu
sangka, bahwa kamu sudah cukup pandai dan takabur mengira sudah kelebihan
kepandaian buat memimpin dan menyelamatkan 55 juta manusia, yang beribu-ribu
tahun terhimpit itu. Insaflah bahwa pengetahuan itu kekuasaan. Ada kalanya
kelak dari kamu, Rakyat melarat itu akan menuntut segala macam pengetahuan,
seperti dari satu perigi yang tak boleh kering. Bersiaplah !!
Kalau saatnya datang, berdirilah tegak di tengah-tengah
Rakyat, menentang peluru dan bayonetnya musuh. Jangan dilupakan ideal kita
komunis: "Menang atau mati dalam Massa Aksi."
Di tanganmu tergenggam Kemerdekaan-Indonesia, yakni
Kekapaan, Keselamatan, Kepandaian dan Peradaban...
Kamu Kaum Revolusioner !!
Kelak Rakyat keturunanmu dan Angin Kemerdekaan akan
berbisik-bisik dengan bunga-bungaan di atas kuburanmu: "Disini bersemayam
Semangat Revolusioner"
Tokyo, Januari 1926.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar