Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir berselisih
paham tentang bagaimana memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan.
Sama-sama egois.
----------------------------
OBROLAN tiga anak muda di rumah Darsono, tokoh komunis Indonesia,
di Berlin, Jerman, pada pertengahan Juli 1922 itu berlangsung gayeng. Mohammad
Hatta sengaja datang dari Belanda. Tan Malaka juga. Tan berapi-api menjelaskan
komunisme yang dasarnya demokrasi tulen.
”Bukankah komunisme itu mengesahkan diktator, Bung? Karl
Marx menyebut diktator proletariat,” Hatta, 20 tahun, menyela.
”Itu hanya ada pada masa peralihan,” Tan menukas. Dia
melanjutkan, ”Peralihan kekuasaan kapitalis ke tangan masyarakat. Kaum buruh
merintis jalan ke arah sosialisme dan komunisme yang terselenggara untuk orang
banyak di bawah pimpinan badan-badan masyarakat. Jadi bukan diktator
orang-seorang.”
Hatta menceritakan kembali percakapan itu dalam Memoir
(1979). Dalam buku itu Hatta setuju pada pandangan Tan, yang lebih tua tujuh
tahun. Bahkan ia mengomentarinya: jika begitu Tan pasti tak setuju dengan cara
otoriter Joseph Stalin memimpin Rusia. Tapi, kepada Z. Yasni yang
mewawancarainya pada 1977, Hatta mengatakan bahwa dalam diktator proletariat
yang berkuasa tetaplah para pemimpinnya.
Dan itulah perseteruan ideologis duo Minang ini. Hatta
sangat menentang komunisme. Ia menganjurkan koperasi dalam menegakkan ekonomi
Indonesia. Sebaliknya, Tan percaya, jika digabung, Pan-Islamisme dan komunisme
bisa menjadikan Indonesia digdaya.
Menurut Anwar Bey, bekas wartawan Antara yang menjadi
sekretaris pribadi Adam Malik, Hatta dan Tan sudah seperti musuh. Kepada Bey,
Hatta buka kartu kenapa ia selalu curiga dan menentang Tan. ”Dia selalu
menganggap kami (Soekarno-Hatta) anak ingusan,” katanya.
Hatta, kata Bey, sebetulnya sudah tak senang kepada Tan
sejak di Amsterdam. Pada 1927, setahun setelah ”pemberontakan” Partai Komunis
Indonesia yang gagal, Hatta meminta tokoh-tokoh komunis menyerahkan pimpinan
revolusi kepada tokoh nasionalis. Berbeda dengan Semaun, Ketua PKI, yang
langsung teken ketika disodori deklarasi itu, Tan menolak.
Penolakan itulah yang ditafsirkan Hatta sewaktu berbicara
dengan Soekarno dan didengar Anwar Bey, sebagai sikap sentimen Tan kepadanya.
”Padahal, Tan Malaka hanyalah berpandangan bahwa pemimpin revolusi tak boleh
dipegang orang selain komunis,” kata Bey.
Perbedaan itu melekat hingga Indonesia merdeka. Pada 23
September 1945, sebuah rapat digelar di rumah Menteri Luar Negeri Ahmad
Soebardjo. Hatta menawari Tan ikut dalam pemerintahan. ”Tidak, dua
(Soekarno-Hatta) sudah tepat. Saya bantu dari belakang saja,” kata Tan. Hatta
menganggap penolakan itu sebagai keengganan senior dipimpin orang yang lebih
muda.
Tak mengherankan ketika Soekarno keceplosan membuat testamen
lisan yang isinya akan menyerahkan kekuasaan kepada Tan jika ia ditangkap
sekutu, Hatta menolaknya. Ia menambah tiga nama: Sjahrir, Iwa Koesoema
Soemantri, dan Wongsonegoro. ”Agar mewakili semua kelompok,” katanya.
Selain dengan Hatta, Tan Malaka juga berselisih paham dengan
Sutan Sjahrir, yang juga berasal dari Minang. Menurut Adam Malik dalam Mengabdi
Republik (1978), pada awal-awal kemerdekaan Sjahrir menolak bergabung dengan
pemerintahan karena belum yakin masyarakat Indonesia menerima sepenuhnya
proklamasi Soekarno-Hatta.
Setelah yakin Indonesia merdeka secara de jure, Sjahrir—yang
menganut ideologi sosial-demokrat—ikut mempertahankan dengan cara yang berbeda.
Ketika Belanda akan kembali menghidupkan pemerintah jajahan Hindia, ia
”merapat” ke kubu Inggris-Amerika sebagai ”penguasa” baru nusantara. Sekutu
memilih Sjahrir sebagai juru runding karena menganggap ”Bung Kecil” itu
berpikiran modern dan disukai Belanda.
Sjahrir kemudian gencar mengampanyekan politik diplomasi.
Dalam kampanyenya, seperti tertuang dalam pamflet Perjuangan Kita, Sjahrir
telak-telak menyatakan akan menyingkirkan semua kolaborator Jepang. Tentu saja
ini menohok Soekarno-Hatta. Juga Jenderal Soedirman sebagai salah satu pemimpin
tentara Pasukan Pembela Tanah Air (Peta) bentukan Jepang.
Perselisihan makin runcing ketika Sjahrir menjadi perdana
menteri dan mengubah sistem politik dari presidensial menjadi parlementer.
Praktis ia dan Amir Syarifuddin yang berkuasa. Meski tak banyak komentar lisan,
dalam Demokrasi Kita, Wakil Presiden Hatta mengecam perubahan itu. ”Kabinet
parlementer tak bisa bertanggung jawab sesuai dengan fungsinya,” katanya.
Jenderal Soedirman lebih jengkel lagi. Ia pun merapat ke
kubu Tan Malaka yang sudah lebih dulu menentang ide Sjahrir. Maka, pada akhir
medio 1940, muncul tiga dwitunggal yang punya jalan masing-masing menghadapi
politik pecah belah Belanda: Soekarno-Hatta, Sjahrir-Amir, dan Soedirman-Tan
Malaka. ”Jika ulah Sjahrir itu makin mengancam persatuan kita, saya tak segan
mengambil kebijaksaan sendiri,” kata Soedirman kepada Adam Malik.
Soedirman dan Tan Malaka lalu mengumpulkan seluruh elemen
politik di Purwokerto, Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan faksi Persatuan
Perjuangan yang kongresnya dihadiri 141 wakil pelbagai kubu.
Dalam silang-sengkarut itu muncul orang Minang lain yang
terkenal sebagai politisi-cum-sejarawan: Muhammad Yamin. Ia aktif di Persatuan,
tapi sering jalan dengan sikapnya sendiri. Tanpa konsultasi dengan pimpinan
Persatuan, Yamin gencar mengkritik secara terbuka politik diplomasi Sjahrir.
Sikap frontal Yamin ini kian memanaskan situasi yang berakhir dengan mundurnya
Sjahrir dari kursi perdana menteri pada 28 Februari 1946.
Situasi adem itu tak berlangsung lama. Tak lama kemudian
Soekarno kembali menunjuk Sjahrir melanjutkan diplomasi. Keputusan ini membuat
kubu Soedirman-Tan kembali meradang. Saking marahnya, para pemuda Persatuan
sempat menembaki mobil Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang akan masuk
Istana Negara.
Bahkan saling tangkap pun terjadi. Amir memerintahkan
tentara menangkap Tan dan tokoh Persatuan lain. Soedirman membalasnya dengan
memerintahkan pasukan Peta menangkap Sjahrir. Kedua kubu sama-sama membebaskan
sandera ketika Soekarno turun tangan. Tapi konflik tak begitu saja reda,
sehingga Tan terbunuh di Kediri pada Februari 1949.
Sejarawan Harry A. Poeze berpendapat, perbedaan trio Minang
itu karena mereka lahir dari lingkungan yang berbeda, meski sama-sama belajar
Marxisme dan mendapat pendidikan Belanda. Secara adat Tan seorang raja tapi
miskin secara ekonomi, sedangkan Hatta-Sjahrir kelas menengah secara ekonomi.
Tan orang udik, Hatta dari Bukittinggi dan Sjahrir dari Padangpanjang dari
keluarga pedagang.
Meski sama-sama dibuang, Hatta-Sjahrir masih menerima
penghasilan. Sedangkan Tan tak punya pendapatan pasti dalam pelarian, hidupnya
susah, dan ia berteman dengan penyakit, bahkan bergaul dengan romusha di Banten
Selatan. Pasase hidup yang membuatnya kian mantap menjadi Marxis dimulai ketika
mengajar di sebuah perusahaan perkebunan Belanda di Deli. Ia melihat langsung
bagaimana orang sebangsanya ditindas menjalani kuli kontrak.
Berbeda dengan Hatta, kendati sering berseberangan, hubungan
pribadi Tan dengan Sjahrir relatif bagus. Menurut Poeze, Sjahrir pernah dua
kali menawari seniornya itu memimpin Partai Sosialis Indonesia. Seperti biasa,
Tan menolak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar