Kisah cinta Tan Malaka sama tragis dengan hidupnya yang
klandestin. Mengidamkan sosok Kartini, ditolak dua kali oleh perempuan yang
sama.
----------------------------
RAPAT tetua adat Nagari Pandan Gadang, Lima Puluh Kota,
berlangsung sengit. Ibrahim, yang belum genap 17 tahun, menolak gelar datuk.
Padahal dia anak lelaki tertua keluarga Simabur, yang harus memangku gelar itu
sebelum ayahnya meninggal. ”Ibunya memberi pilihan: menolak gelar atau kawin,”
kata Zulfikar Kamaruddin, 60 tahun, keponakan Ibrahim, kepada Tempo pada Juli
lalu.
Ibrahim menyerah dan menerima gelar tertinggi dalam adat
Minang itu. Maka nama lengkapnya menjadi Ibrahim Datuk Tan Malaka. Sebagai
datuk, ia membawahkan keluarga Simabur, Piliang, dan Chaniago. Pesta
penobatannya, pada 1913, digelar tujuh hari tujuh malam.
Pesta itu sekaligus penyambutan orang rantau yang baru lulus
sekolah raja (Kweekschool) di Bukittinggi dan pesta perpisahan. Sebab, datuk
muda itu akan segera ke Belanda. Ibrahim mendapat beasiswa sekolah guru di
Rijkskweekschool, Haarlem. Hal ini berkat jasa baik guru Belanda yang
mencintainya: Gerardus Hendrikus Horensma, setelah uang saweran orang sekampung
tak cukup untuk ongkos Ibrahim.
Rupanya, penolakan Ibrahim terhadap perjodohan yang diatur
Sinah, ibunya, ada bersebab. Telah ada gadis lain di hatinya: Syarifah Nawawi,
anak keempat Nawawi Sutan Makmur—guru bahasa Melayu di Kweek yang membantu
Charles van Ophuijsen menyusun Kitab Logat Melajoe (dikenal sebagai tata bahasa
Ophuijsen) pada 1901.
Syarifah adalah perempuan Minang pertama yang mengecap
pendidikan ala Eropa. Ada 75 murid di sana. Menurut Gedenkboek Kweekschool
1873-1908, Syarifah dan Ibrahim angkatan 1907. Jumlah murid di kelas mereka 16
orang. Syarifah menjadi kembang karena satu-satunya perempuan di sekolah yang
kini menjelma jadi SMA Negeri 2 Bukittinggi itu. Dan Ibrahim satu dari tiga
siswa yang melanjutkan studi ke Belanda.
Ibra dan Syarifah pun terpisah ribuan mil. Tapi itu bukan
halangan bagi sang Datuk untuk terus menjalin hubungan. Ia rajin mengirim surat
kepada Syarifah, yang melanjutkan studi sekolah guru di Salemba School,
Jakarta. Tapi cinta itu ternyata bertepuk sebelah tangan.
Menurut sejarawan Belanda yang menulis biografi Tan Malaka,
Harry A. Poeze, Syarifah tak pernah sekali pun membalas surat-surat itu. ”Tan
Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh,” begitu katanya kepada Poeze sewaktu
mereka bertemu pada 1980. Syarifah tak menjelaskan di mana keanehan orang yang
menaksirnya itu.
Syarifah kemudian menikah dengan R.A.A. Wiranatakoesoema,
Bupati Cianjur yang sudah punya lima anak dari dua selir, pada 1916. Maka
muncullah anekdot di keluarga dan di kalangan penulis sejarah Tan Malaka: Tan menjadi
Marxis karena kegagalannya dalam cinta pertama. Dia menjadi amat antiborjuis
dan feodal untuk melawan orang yang merebut pujaan hatinya. ”Tapi ini cuma
anekdot,” kata sejarawan Bonnie Triyana.
Tan kemudian mulai membuka hatinya untuk gadis lain: Fenny
Struyvenberg, mahasiswi kedokteran berdarah Belanda. Dia terlihat sering datang
ke pondokan Tan. Dengan Fenny, Tan kabarnya menjalin hubungan cukup serius.
Fenny bahkan sempat ke Indonesia menyusul Tan. Sayang, tak ada banyak catatan
dan keterangan soal hubungan mereka. Fenny keburu meninggal saat akan ditemui
Poeze.
Di Rusia, sewaktu menghadiri sidang Komunis Internasional
dan tinggal tiga tahun, Tan diberitakan sempat berhubungan dengan seorang
perempuan sana. Menurut Poeze, ada satu koran yang menulis hubungan percintaan
Tan dengan perempuan tersebut.
Tan Malaka memang selalu punya hubungan mendalam dengan
perempuan di setiap negara yang ia kunjungi. Di balik cerita heroiknya
berpindah dari satu negara ke negara lain dalam pelarian, selalu muncul sosok
perempuan: yang menolong, yang merawat tubuhnya yang sakit, atau sekadar teman.
Dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, Tan menulis
nama-nama perempuan di sekitar hidupnya. Tapi tak ada penjelasan apakah
hubungan itu juga dilandasi cinta. Di Kanton, misalnya, ia menyebut ”Nona
Carmen”, anak perempuan Rektor Universitas Manila yang memberi petunjuk masuk
Filipina, merawat, dan mengajarinya bahasa Tagalog. Di Cina, pada 1937, ada
gadis 17 tahun yang ia sebut AP sering datang mengadu dan meminta diajari
bahasa Inggris.
Sesudah Proklamasi 1945, Tan yang tak lagi klandestin
tersiar punya hubungan serius dengan Paramita Rahayu Abdurrachman. Perempuan 25
tahun ini keponakan Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo. Dia tinggal di
paviliun rumahnya di Cikini. Tan sering datang ke sana.
Saking lengketnya mereka, teman-teman dekatnya menganggap
Paramita tunangan Tan. Padahal umur mereka terpaut 26 tahun. Kepada Poeze yang
menemui Paramita pada 1980, perempuan yang tak menikah hingga meninggal pada
1986 itu mengaku mencintai Tan. Namun ”pertunangan” itu tak sampai ke jenjang
pernikahan.
Situasi politik membuat Tan kembali harus lari dan
bersembunyi dari kejaran Kempetai Jepang. Hubungan mereka pun retak. Lagi pula,
kata Paramita kepada Poeze, Tan Malaka orang yang hidup tak normal. ”Dia
kelewat besar buat saya,” katanya. ”Dia menginginkan saya seperti sosok Raden
Ajeng Kartini.”
Ironisnya, ibu Paramita tak lain teman karib Syarifah
Nawawi. Minarsih Soedarpo-Wiranatakoesoema, anak bungsu Syarifah, sama-sama
aktif di Palang Merah Indonesia dengan Paramita. ”Ibu saya cuma bilang kenal Tan
sewaktu di Kweekschool,” kata Minarsih, 84 tahun. Paramita, sebetulnya, waktu
itu menaksir pemuda Hatta, yang juga sering berkunjung ke rumah Soebardjo.
Syarifah sudah menjadi janda dengan tiga anak.
Wiranatakoesoema menceraikannya pada 1924 karena menganggap Raden Ayu ini tak
bisa mengikuti tata krama Sunda yang amat feodal. Cinta lama Tan pun bersemi
kembali. Menurut Minarsih, Tan mendatangi ibunya dan meminang, tapi lagi-lagi
ditolak.
Lalu siapa perempuan yang betul-betul dicintai Tan Malaka
seumur hidupnya? Syarifah? Sepertinya bukan.
Syahdan, suatu hari Adam Malik—koleganya di Persatuan
Perjuangan yang menjadi wakil presiden pada zaman Soeharto—bertanya kepada Tan
Malaka, ”Bung, apa Bung pernah jatuh cinta?”
Tan, seperti ditulis Adam dalam Mengabdi Republik, langsung
menjawab, ”Pernah. Tiga kali malahan. Sekali di Belanda, sekali di Filipina,
dan sekali lagi di Indonesia. Tapi, yah, semua itu katakanlah hanya cinta yang
tak sampai, perhatian saya terlalu besar untuk perjuangan.”
S.K. Trimurti, Menteri Perburuhan pada zaman Soekarno,
menyatakan itu jawaban jujur Tan Malaka. Kepada Poeze, Trimurti bercerita, Tan
yang dipanggil ”Macan” sewaktu di Belanda relatif ”bersih” dalam urusan asmara.
”Beliau belum pernah bicara soal perempuan dalam hubungannya dengan tuntutan
seks,” tulisnya dalam Peringatan Sewindu Hilangnya Tan Malaka (1957).
Itu pula sebabnya, ketika tetua adat Pandan Gadang
”melelang”-nya dalam upacara perjodohan sewaktu ia pulang dari Belanda pada
1919, Tan menolak banyak pinangan. Setelah tak tahan mengajar di sebuah
perusahaan perkebunan di Deli, si Macan menyiapkan keberangkatannya ke
Semarang. Dia menyongsong hidup dan kematiannya yang—mengutip kalimat
Poeze—”lebih dahsyat ketimbang fiksi”.
Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2008/08/11/LU/mbm.20080811.LU127968.id.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar