AWAL tahun 1926. Di Tanah Air, revolusi sudah ”hamil tua”.
Dari persembunyiannya di Geylang Serai, Singapura, buru-buru Tan menulis buku
sepanjang 129 halaman agar kelahirannya yang prematur, menurut dia, bisa
dicegah. Sialnya, pesan berjudul Massa Actie in Indonesia itu terlambat keluar
dari percetakan. Pemberontakan Partai Komunis Indonesia 1926 sama sekali gagal
menggoyang kekuasaan Belanda. Banyak pendukung terbunuh, para pemimpin
dipenjarakan dan dibuang.
Targetnya tidak kesampaian, tapi Massa Actie kemudian justru
disambut penuh gairah oleh kalangan nasionalis. Situasi memang sedang panas
saat itu; gerakan antikolonialisme menggeliat di Jakarta, Bandung, dan
Surabaya. Dan seperti api kecil yang bermunculan di sana-sini, Massa Actie
adalah minyak tanah yang membuatnya berkobar dengan pelajaran sejarah ringkas
akan arti sebuah imaji bernama Indonesia.
Di dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang
mendarah daging di bangsa ini, memperkenalkan macam-macam imperialisme,
menunjukkan apa arti revolusi, dan menunjukkan bagaimana kekuatan rakyat bisa
dimanfaatkan. Inilah semacam cetak biru bagi revolusi massa; desakan kuat dari
bawah untuk mendorong perubahan. ”Massa aksi terjadi dari orang banyak yang
bergerak,” katanya.
Tan memperkenalkan pula kepada sesama rakyat di negeri
terjajah akan pentingnya persatuan di bawah bendera Federasi Republik Indonesia;
gabungan Indonesia Selatan, tempat bercokolnya Hindia Belanda, dan Indonesia
Utara, alias Filipina, yang dijajah Amerika. Termasuk Semenanjung Malaka, yang
ada di bawah kuasa Inggris. ”Mari kita satukan 100.000.000 yang tertindas dan
mendiami pusat strategi dan lalu lintas seluruh benua Asia dan samuderanya,”
Tan menulis.
Dan Massa Actie pun memberikan pedoman aksi bagi
kemerdekaan. Satu yang hangat diingat Hadidjojo Nitimihardjo. Ia putra Maruto
Nitimihardjo, Ketua Indonesische Studieclub yang bersama kelompoknya mengadakan
Kongres Pemuda Indonesia pada 26-28 Oktober 1928. Menurut Hadidjojo kepada
Tempo, saat itu Maruto dan aktivis lain, Sugondo Djojopuspito, menggandeng
seorang pemuda bertubuh ceking berwajah tirus. Dialah Wage Rudolf Supratman.
”W.R. Supratman sudah membaca seluruh buku Massa Actie itu,”
kata Hadidjojo. Muhammad Yaminlah yang memaksa Sugondo memberikan waktu bagi
Supratman memainkan lagu ciptaannya di situ. Lalu bergemalah lagu Indonesia
Raya, lagu yang terinspirasi dari bagian akhir Massa Actie: ”Lindungi bendera
itu dengan bangkaimu, nyawamu, dan tulangmu. Itulah tempat yang selayaknya
bagimu, seorang putra tanah Indonesia tempat darahmu tertumpah.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar