Filipina adalah tanah air Tan yang kedua. Pesakitan di
negeri sendiri, Tan justru dielu-elukan di Manila.
-------------------------
” .... Jadi bukakan pintu dan jendela supaya penganjur masuk
dari luar!” Manuel Quezon berseru-seru.
WAJAH Quezon langsung sumringah bila berbicara tentang Tan
Malaka. Dalam Apa dan Siapa Tan Malaka, Muhammad Yamin mencatat betapa bekas
ketua senat dan presiden Filipina itu tersenyum lebar ketika menyebut Tan,
seorang kawan lama yang memanggil negeri pinoy itu dengan nama intim: Indonesia
Utara.
Tan tak pernah tinggal lama di Filipina. Tapi kehadirannya
membawa angin segar bagi gerakan nasionalis yang makin mekar setelah pahlawan
mereka, Jose Rizal, dieksekusi pada 1896. Saat Tan ke sana, dua dekade sudah
berlalu sejak Spanyol kalah perang. Ratusan ribu hingga satu juta orang
Filipina tewas saat Amerika Serikat masuk. Jadilah negeri ini koloni dengan
julukan berbau rasis, ”saudara kecil kita yang berkulit cokelat”.
Sepanjang 1925-1927, Tan tiga kali mondar-mandir ke Manila. Paspornya
berganti-ganti: Hasan Gozali, Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Howard Law,
atau Cheung Kun Tat. Tan berpindah-pindah tempat, menumpang di teman-teman yang
menghargai perjuangan dia sebagai pejuang antikolonial yang eksil dari Hindia
Belanda.
Tan sendiri awalnya hanya ingin tetirah, istirahat dari
kesibukan mendirikan organisasi Komintern (Komunis Internasional) biro Kanton.
Lagi pula, hawa Kanton yang super dingin tak cocok bagi paru-parunya. Tapi
Filipina selalu istimewa di dalam hatinya. Inilah satu simpul dari pertautan
Aslia, singkatan dari Annam (Vietnam), Siam (Thailand), Burma, Filipina, Malaka
(Malaysia-Singapura), dan Australia Utara. Sudah lama ia percaya negeri-negeri
yang berpaut sejarah sejak 5.000 tahun lalu ini mesti bangkit dari kolonialisme
dan bergabung di bawah Federasi Republik Indonesia. Gagasan itu dituangkan
dalam naskah buku berjudul Aslia, yang ditulis bersamaan dengan Madilog, hampir
dua dekade setelah ia ke Filipina. Sayang, naskahnya tak ditemukan hingga
sekarang.
Dalam biografi Dari Penjara ke Penjara, Tan mengatakan
belajar bahasa Tagalog dari Nona Carmen, putri bekas pemberontak Filipina, yang
bersama ibunya mengelola sebuah asrama Filipina di Kanton. Di asrama ini ia
berkenalan dengan Mariano Santos, dosen Filipina yang bersimpati pada
kemerdekaan Indonesia. Lewat Apolinario, kakak Mariano yang punya posisi tinggi
di Manila University, Tan mendapat tumpangan pertama. Darinya pula Tan mengenal
Francisco Verona, seorang pemimpin serikat buruh, dan mulai menulis teratur di
harian yang dipimpin Verona, El Debate.
Tan kemudian banyak bergaul dengan kalangan serikat buruh,
wartawan, dan kaum nasionalis. Partai Komunis Filipina memang belum terbentuk
hingga 1930, tapi Harry Poeze dalam Pergulatan Menuju Republik: Tan Malaka
1925-1945 mengatakan Tan bergaul akrab dengan mereka yang kemudian terlibat di
dalamnya. Antara lain Crisando Evangelista, pemimpin serikat buruh kiri seperti
Capadcia, Balgos, dan Dominggus Ponce dari gabungan serikat buruh Legianaros
del Trabajo.
Tan senang hidup di Filipina. Teman banyak, dukungan luas,
dan udaranya mirip dengan Tanah Air—meski beberapa kali ia sempat jatuh sakit.
Poeze menduga di sinilah bukunya, Naar de Republiek Indonesia, dicetak kedua
kalinya, meski dalam kata pengantar Tan menyebut ”Kanton dan Tokyo, 1925”.
”Tokyo sebagai tempat penerbitan dimaksudkan untuk menipu polisi,” Poeze
menulis.
Gerak-gerik klandestin khas Tan berakhir ketika seorang
pemburu hadiah menjebaknya di kantor El Debate suatu malam. Rupanya,
korespondensi antara polisi rahasia Amerika, Inggris, dan Belanda sudah
demikian giat mencari jejaknya enam bulan terakhir. Sehari setelah ia
ditangkap, 13 Agustus 1927, Tan mengisi halaman muka The Philippine Herald
dengan huruf besar-besar: ”Seorang Jawa yang diduga agen Bolsyewik yang selama
beberapa waktu diamat-amati polisi sehubungan dengan tersebarnya propaganda
Bolsyewik di Filipina tertangkap malam lalu oleh polisi dan dinas rahasia.”
Ramailah surat kabar Filipina, yang di bawah koloni Amerika
tergolong lumayan bebas, oleh berita tentang Tan. La Vangardia mengemukakan
alasan Tan ditangkap: permohonan dari pemerintah Hindia Belanda. The Manila
Daily Bulletin mengungkapkan hal serupa. La Vangardia dan La Opinion
mengungkapkan simpati terhadap perjuangan Tan. Bahkan harian Taliba menyatakan
malu Tan terancam diusir. Mereka ingin Tan diberi suaka di Filipina.
Lihatlah sebuah kartun di harian El Debate yang
menggambarkan guardia civil, polisi koloni yang represif, yang berusaha
menangkap Tan. Sedangkan Tan berada dalam bayang-bayang dua ikon revolusi
Filipina: Jose Rizal dan Plaridel, julukan bagi Marcelo del Pillar, pahlawan
kemerdekaan yang tewas dalam pembuangan di Barcelona, 1896. ”No Le Toqueis!”
katanya. Artinya, ”Jangan Tangkap!”
Tan bebas setelah pendukungnya membayar 6.000 peso sebagai
jaminan. Tapi kasusnya batal ke pengadilan karena pemerintah kolonial Amerika
keburu mengusirnya dengan tuduhan paspor palsu. Bukan cuma itu, sahabat-sahabat
Tan yang terpandang bisa ikut terseret.
Tan pun pergi, meski berat hati. ”Karena membawa-bawa
orang-orang yang memberi pertolongan dengan ikhlas dan maksud baik, saya
mengalah,” katanya. Tak kurang dari Emilio Aguinaldo, pemimpin pemberontakan
1898 yang kemudian didaulat menjadi Presiden Filipina pertama, ikut menyatakan Tan
sebagai ”seorang patriot, pemimpin besar revolusioner, yang layak mendapat
suaka”.
Seperti diungkapkan Quezon kepada Yamin, para pendukung Tan
ini kemudian memberinya sangu 3.000 dolar untuk menempuh perjalanan menuju Amoy
(Xiemen). Quezon mengatakan rakyat Filipina sangat hormat terhadapnya.
”Waktu dia akan ke pelabuhan, dia melewati patung Jose
Rizal. Hati sangat terharu melihat dua orang pahlawan: yang satu patung telah
menjadi batu, yang lain masih hidup berjiwa. Dua orang pahlawan kemerdekaan;
pahlawan tuan-tuan dan pahlawan kami. Sungguhlah tuan kaya! Jadi bukakan pintu
dan jendela supaya penganjur masuk dari luar!” Manuel Quezon berseru-seru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar