Meski sibuk menjalin hubungan dengan para revolusioner kiri,
dia sempat menulis buku tentang Republik Indonesia.
------------------------
IBRAHIM Datuk Tan Malaka menjejak Tiongkok pada musim dingin
1923. Kala itu Dinasti Qing sudah lama terkubur. Kerajaan masih berdiri. Namun
Puyi, The Last Emperor, praktis hanya ”boneka”. Negeri itu larut dalam
tarik-menarik antara kekuatan Asing—terutama Inggris, Amerika, serta Jepang—dan
para nasionalis yang menginginkan berdirinya Republik Cina merdeka.
Bujangan 26 tahun utusan Komintern di Moskow itu tinggal di
Kanton, kini Guangzhou—kota di selatan Cina yang padat. Penduduknya dua juta.
Toh, bagi Tan, Kanton tak pantas disebut kota besar. Cuma ada tiga jalan utama,
satu kantor pos, perusahaan listrik, dan sebuah pabrik semen yang cerobongnya
menjadi satu-satunya bangunan tinggi di sana. Namun Kanton istimewa karena
menjadi pusat gerakan revolusi Cina. Sun Yat-sen atau Sun Man, pemimpin
Kuomintang yang pada 1912 mendeklarasikan Republik Cina, tinggal di kota ini.
Tak lama setelah menetap, Tan mengunjungi dokter Sun,
diantar ketua partai komunis setempat, Tang Ping-shan. Presiden Republik Cina
Selatan itu tinggal di tepian Sungai Pearl yang membelah Kanton jadi dua. Di
sana, Tan juga bertemu dengan anaknya, dokter Sun Po, dan rekan
seperjuangannya, Wang Chin Way.
”Berjumpa orang revolusioner di Rusia adalah perkara biasa
saja,” tulis Tan dalam memoarnya, Dari Penjara ke Penjara, mengenang pertemuan
itu. ”Tapi berjumpakan revolusioner besar di Asia adalah perkara istimewa.” Dia
begitu girang.
Mereka membicarakan banyak hal. Sun Man, misalnya,
menyarankan agar Indonesia bekerja sama dengan Jepang melawan Belanda. Tapi Tan
tak yakin pejuang Indonesia bisa bekerja sama dengan imperialis Jepang.
Demikianlah, setiap hari dia bepergian untuk membina
hubungan dengan para tokoh Kuomintang dan orang-orang komunis di Kanton. Hingga
pada Juni 1924 Tan mendapat perintah dari Moskow untuk hadir pada konferensi
Serikat Buruh Merah Internasional di kota itu.
Dari Indonesia datang Alimin dan Budisutjitro. Konferensi
enam hari ini hendak menggalang ”gerakan” para pelaut dan buruh pelabuhan di
kawasan Pasifik. Tan memimpin rapat pada hari kedua. Seharusnya Sun Man
memberikan pidato pembukaan, tapi batal.
Pada hari terakhir, Tan didaulat menjadi Ketua Organisasi
Buruh Lalu Lintas Biro Kanton yang baru didirikan. Tugas pertamanya menerbitkan
majalah ”merah” bagi para pelaut. Ini membuatnya pusing. Di samping sulit
mencari percetakan yang memiliki koleksi lengkap huruf latin, Tan masih harus
belajar bahasa Inggris.
Alhasil, The Dawn baru terbit beberapa bulan kemudian.
Cetakannya sangat jelek. Karena kekurangan huruf, huruf kapital bisa muncul di
mana saja. Kata ”Pacific”, misalnya, tercetak sebagai ”PacifiC”. Menyusul
penerbitan majalah ini, Tan mencetak sebuah buku tipis berjudul Naar de
Republiek Indonesia. Ini buku pertama yang menggagas sebuah negara merdeka
bernama Republik Indonesia.
Kerja berat serta suhu Kanton yang teramat dingin membuat
sakit paru Tan kambuh. Dia mengunjungi dokter Lee. Mengira Tan terkena
tuberkulosis, dokter memberikan ”suntikan emas”— terapi paling modern saat itu.
Tan malah pingsan. Untunglah, setelah diinjeksi penawar racun, ia segera sadar.
”Kami sangka Tuan sudah meninggal,” kata dokter itu.
Tan lalu menemui dokter Rummel, orang Jerman yang telah lama
membuka praktek di Kanton. Kali ini diagnosisnya physical breakdown, kecapaian.
”Sebaiknyalah Tuan pergi tinggal di tropik, di negeri panas, beristirahat,”
katanya.
Mendengar nasihat dokter, pikiran Tan langsung tertuju ke
Jawa. Perasaan rindu Tanah Air pun muncul. Maka, pada 29 Agustus 1924, dia
bersurat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dick Fock, minta izin pulang
ke Jawa. Dia juga berkirim kabar ke Moskow dalam surat tertanggal 24 September.
”Mungkin beberapa hari mendatang saya akan ke berlibur seminggu ke Makau untuk
kesehatan saya,” tulisnya dengan nama samaran Hassan.
Permohonannya ditolak Gubernur Jenderal Fock. Tapi ketika
itu, dengan nama Elias Fuentes, Tan sudah menyusup ke Filipina untuk
mendapatkan hawa yang lebih segar. Tak sampai dua tahun, dia ditangkap polisi
Filipina yang berada di bawah ”genggaman” intel Amerika, Belanda, dan Inggris.
Pada Agustus 1927, Tan kembali ke Tiongkok sebagai orang buangan.
Turun di Amoy, kini Xiemen, Tan berkelana ke tempat-tempat
lain. Ketika angkatan bersenjata Kwangtung, Cap Kau Loo Kun atawa Tentara
Ke-19, bentrok dengan tentara Jepang di Shanghai pada 1932, dia ada di sana.
Sebenarnya pasukan ini datang untuk membebaskan Hu Han Min yang ditangkap
Chiang Kai-shek. Dua orang penting Kuomintang ini bertikai sejak Sun Man
meninggal pada 1925. Namun, ketika Tentara Ke-19 tiba, Hu sudah dibebaskan.
Mereka pun menyerbu markas Jepang di Szu Chuan Road, Yang Tzepoo.
Shanghai kacau-balau. Menggunakan nama Ong Song Lee, Tan
menyingkir ke Hong Kong. Kejadian di Filipina berulang, polisi Hong Kong
menangkapnya. Untunglah Inspektur Murphy, pemimpin polisi Inggris di daerah
koloni itu, tak mau menyerahkan Tan kepada polisi Belanda.
Setelah lebih dari dua bulan menahannya di penjara, Murphy
memutuskan membuang Tan ke Shanghai. Tapi, di Pelabuhan Amoy, Tan berhasil
mengecoh polisi Hong Kong yang diam-diam mengawalnya dan meloloskan diri ke
darat.
Tinggal di kota pulau itu, penyakit Tan kambuh. Sinse Choa,
tabib lokal di Desa Chia-be, memberinya dua jenis ramuan untuk dimasak bersama
bebek dan penyu. Mula-mula Tan harus menghabiskan enam ekor bebek yang digodok
dengan ramuan, seminggu satu. Setelah itu, makan satu-dua ekor penyu, juga digodok
bersama ramuan. Ajaib, sakit yang 10 tahun terakhir merongrongnya
perlahan-lahan hilang. ”Makanan mulai mudah dihancurkan dan tidur mulai
nyenyak! Inilah rasanya pangkal kesehatan,” tulis Tan di buku Dari Penjara ke
Penjara.
Sambil terus bersembunyi, Tan mendirikan Sekolah Bahasa
Asing. Namun dia akhirnya harus meninggalkan Tiongkok untuk selamanya ketika
Jepang menyerang Amoy pada 1937. Menggunakan nama Tan Min Siong, seorang
Tionghoa terpelajar, dia berlayar menuju Rangoon, Burma.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar