Kesekian kalinya soal Indonesia Belanda di perundingkan,
sekarang di Kaliurang. Disini delegasi Indonesia berhadapan muka dengan
Delegasi Belanda, ialah Kadir dan Husein, yang dimandori oleh Dr. Van
Vresdenburgh.
Soal yang akan dipapar diperundingan, kita sekalian dari
sudut-mata borjuis-kecil buat kapitalis imperialis Belanda.
Dan buat orang di pihak ketiga, lebih dari pada setahun
lampau soal itu sebenarnya sudah selesai.
Lupakah kita kepada perkataan “WASIT” Sir Archibald Clark
Karr, yang berpisah dengan soal Indonesia-Belanda dengan perkataan: It is not a
difficult one but a slow one”! (Tidak sukar, tetapi lambat)!?? Bahwa
sesunggunya, maka dengan maklumat Wakil Presiden pada tanggal 1 November 1945,
yang berjanji akan mengembalikan HAK-MILIK-ASING (Musuh atau sahabat, ceroboh
atau pendamai) dan membayar “HUTANG-HINDIA-BELANDA”, maka soal
Indonesia-Belanda dalam pokok besarnya sudah beres.
Perjanjian Linggarjati sudah memastikan pengembalian
HAK-MILIK-ASING dan pembayaran HUTANG “HINDIA BELANDA” itu, hitam di atas
putih, menurut fasal 14, “Renville Principles” pun tidak lagi akan merundingkan
pokok dasar pengembalian dan pembayaran itu. Paling banyaknya cuma buat
menentukan garis kecil yang mengenai pelaksanaan pencarian hidup Belanda atas
pengakuan Hak-Milik dan Perusahaannya itu. Dengan perkataan lain, dengan kebun,
pabrik tambang, pengangkutan, toko, bank-asuransi dan gedung yang dikembalikan
kepadanya itu, bagaimana menjamin supaya Belanda terus mendapatkan tanah, air
dan tenaga buruh serta kuli dengan tak ada kesukaran. Bagaimana undang-undang
negara dapat menjamin supaya orang Belanda jangan mendapat gangguan dari pihak
“KAUM EXTREMIS”, kalau dia keluar masuk pabrik, kebun dan tambangnya, kalau dia
dengan nyonya dan nonanya pulang pergi dari desa ke kota, masuk bioskop
restoran dan kamar dansa?
Jangan hendaknya tidurnya diganggu oleh letusan granat atau
oleh Momok Bambu Runcingnya kaum extrimis.
“Rechts-en bedrijfs-zakerheid”, Kepastian Hukum dan
Pencarian, itulah yang masih diperundingkan setelah HAK MILIKNYA Belanda
dikembalikan dan hutang “Hindia Belanda” dijanjikan oleh Moh. Hatta dan para
Delegasi akan dibayar oleh Rakyat Indonesia.
Syahdan dipandang dari sudut mata Borjuis-Kecil Indonesia,
maka soal pengembalian HAK MILIK dan pembayaran Hutang itu, adalah soal yang
semestinya jadinya perkara kecil saja, itulah menurut filsafat “hutang dibayar
dan piutang diterima”.
Tetapi soal “menduduki kursi” dalam pemerintahan Indonesia
dimana borjuis kecil di Indonesia akan “kerja sama” dengan pemeras Belanda,
yang dengan Bangsa Asing lainnya memiliki 99,9 % sumber perekonomian modern,
adalah perkara yang paling penting buat borjuis kecil kita.
Dalam hati kecilnya maka borjuis kecil juga insyaf, bahwa
tak semua kursi (dalam BIS-pun) boleh didudukinya, dia mengakui HAK-MILIK-ASING
yang menguasai 99,9 % dari sumber perekonomian modern itu. Tetapi “voor dan
schijn” pada lahirnya, berhubung dengan Proklamasi 17 Agustus dan pengorbanan
Rakyat/pemuda, maka mereka terhadap Rakyat/pemuda mau memperhatikan, bahwa
bangsa Indonesialah yang memegang kunci-pemerintahan BIS itu.
Biarlah 99,9 % sumber perekonomian modern itu dimiliki dan
dikuasai oleh orang asing, asal saja mereka yang duduk dalam pemerintahan itu
adalah semua orang yang berkulit coklat. Kalau belum semua kursi itu boleh
diduduki oleh warna coklat, baiklah sebagian besar saja dahulu.
Soal “Berapa orang” berkulit coklat kelak diizinkan oleh
Kapitalist, Imperialist Belanda menduduki NIS, itulah yang dipapar
diperundingan oleh kedua Delegasi selama lebih kurang dua tahun berdiplomasi
ini. Buat borjuis kecil Indonesia, soal ini, walaupun buat “schijn” saja,
adalah soal yang paling penting.
Tetapi buat Belanda soal demikian adalah soal remeh, bukan
soal HAK-MILIK dan HUTANG-PIUTANG. Tetapi penting pula buat Belanda soal
KEAMANAN dalam pencahariannya. Berhubung dengan itu, maka soal PERBANDINGAN
BANYAK, antara yang berkulit coklat dengan yang berkulit-putih, yang patut
menduduki kursi dalam pemerintahan NIS adalah soal yang tak boleh diabaikannya
saja. Banyak sentimen borjuis kecil yang harus dilintasi atau ditutupi lebih
dahulu.
Memangnya kalau Rakyat/pemuda Indonesia mau menerima saja
pemerintahan Indonesia di “QUISLING-KAN”, di "Henry-puji"kan atau di
“Wang-Chi-Wei”kan, Belanda tak akan menghadapi soal yang ruwet. Tetapi
rakyat/pemuda Indonesia sudah 3 ½ tahun mengalami sendiri pembonekaan Jepang.
Sesungguhnya dengan hitung-menghitung-jari menurut filsafat
kruidenier saja, Belanda dengan “nuchter realiteitnya” sudah lebih dahulu dapat
menentukan “PERBANDINGAN BANYAK” yang akan menduduki kursi-pemerintahan itu.
Karena 99,9 % sumber pencaharian modern berada di tangan asing, maka menurut
filsafat dengan ahli warung, 99,9 % pulalah bangsa asing harus mengendali
politik pemerintahan Indonesia. Tetapi memang sentiment “kebangsaan” dan
"question of face" (soal muka) adalah penting buat Asia umumnya dan
bangsa Indonesia khususnya. Perundingan Indonesia-Belanda kesekian kali ini
ialah mencari satu “face saving method”, satu cara buat menutup “muka malu”
para pemimpin Indonesia.
Janganlah hendaknya para pemimpin Indonesia malu kelak
menghadapi kaum oposisi yang akan menteriakkan “kalah bertekuk lutut” kalau
terlampau banyak kursi diserahkan kepada Belanda. Pun Belanda sendiri tahu,
walaupun semangatnya adalah semangat kruindenier, bahwa satu “stable
doverment”, een “ordelyke regering” yang sangat di butuhkan itu tak akan
diperoleh, kalau di mata rakyat Indonesia, para pemimpinnya menduduki
“terlampau sedikit kursi” atau cuma memegang kekuasaan yang tiada penting saja.
“Face-saving methode” ini (sebenarnya perkara remeh saja) belum juga didapatkan
sampai dua tahun lebih ini. Dulu dengan Linggarjati soal “menutup muka” itu
hampir tercapai. Dalam lima perkara yang dikemukakan dalam perundingan maka
borjuis kecil Indonesia sehabisnya perang lidah dan perang pena yang hebat
dahsyat, sudah menerima 4 perkara. Kandas pada “gendarmeris-bersama”.
Seandainya kruidenier dari Roterdam dan makelar dari
Amsterdam bours, sedikit berpandangan jauh dan berhati lapang dan undurkan saja
buat sementara waktu “gendarmerie-bersama” itu dan buat menutup malu “para
pemimpin dan diplomat” Indonesia, biarkan saja Republik menjaga keamanan, maka
linggarjati sudah dapat dilaksanakan. Belanda akan dapat pinjaman uang dari Wall
Street New York; pabrik, toko dan pelabuhan dapat dibuka dengan lebih leluasa;
Belanda akan dapat kesempatan memperbaiki perekonomian sendiri.
Dengan begitu, maka pemeras-penindas Belanda mendapat
kesempatan yang lebih luas buat meninabobokan semangat BAMBU RUNCING dengan
kemerdekaan dan kemakmuran palsu.
Kalau dalam hal itu BAMBU RUNCING TOH MELAYANG maka Belanda
bisa berteriak-teriak. Dalam hal itu Wall Street tentu akan datang membantu dan
menggerakkan UNO dan “public-opinion” di dunia buat membusukkan ketentraman di
dalam Republik. Ikut serta dengan Belanda menteriakkan keempat penjuru alam,
bahwa Republik tak bisa memegang “stable government”.
Dalam keadaan demikian, tentulah borjuis kecil Indonesia
akan “kehilangan muka”, karena pemerintahannya “tidak stable”. Memang tidak ada
yang lebih ditakuti oleh borjuis kecil dari pada “kritik”
internasionaaaaaaaaaaaaaaaaaal ! ! !
Tetapi Belanda sebagai ahli warung pegang teguh
kecurigaannya, dengan kecurigaan tukang warung, dia terus mendesak mengadakan
“gendarmerie bersama”, walaupun dengan pengakuan “MAHKOTA BELANDA” itu
dalam hakekatnya urusan ketentraman dalam Republik itu sudah di bawah
pengawasan (supervision) pemerintah Agung di negeri BELANDA.
Rupanya Belanda sudah merasa dekat yang disetujuinya ialah :
Semua Hak-Milik akan kembali dan hutang-piutang “Hindia Belanda akan dibayar
oleh NIS.”
Di “Batavia” akan berada pusat pemerintahan-boneka (NIS) yang pegang rol
penting dalam sandiwaranya enam atau tujuh Negara Boneka kecil-kecil yang satu
sama lainnya boleh diadu dombakan dan di Nederland akan duduklah Raja Belanda
dengan para menterinya (UNI) yang mengendalikan para Boneka di Indonesia ini.
Sekurangnya Urusan Luar Negeri, kemiliteran dan keuangan supaya diserahkan
kepada UNI-Nederland-Indonesia, ialah kepada kapitalis-imperialis-Belanda,
dengan segelintir atau dua gelintir inlanders-Alat.
Semua tuntutan ini sebenarnya sudah terdapat pada
Linggarjati. Dengan kosongnya “kantong” di Jawa dan Sumatra dan dengan
“perjanjian” plebisit, yang boleh diinjak-injak, diputar-balikkan atau
dibatalkan sama sekali; dengan pertolongan KTN ialah para Tengkulaknya
Marshall-Plan, maka rupanya Belanda sudah percaya bahwa di Kaliurang Kapal
Renville akan membawa Belanda dan Indonesia ke bawah haribaannya kapitalis
Amerika Cs yang sedang menantang Sosialis-Rusia dan negara sahabatnya.
Tetapi para wakil dari “Kroon” dihina, diejek dan diludahi
oleh Rakyat di stasiun Yogya ketika mereka menuju Kaliurang.
Sekali lagi menunjukkan instink (naluri) Rakyat yang tepat
dalam hal diplomasi-pun. Rakyat menunjukkan pelayanan semacam itu bukan kepada
bangsa Asing, walaupun dia insyaf sungguh akan maksudnya semua bangsa asing
itu. Rakyat Murba menunjukkan penghinaan itu kepada bangsanya sendiri, ialah
mereka yang meninggalkan barisan-Rakyat-berjuang membela kemerdekaannya dan
memihak kepada barisan yang memperkosa kemerdekaan itu. Dalam perkataan tegas,
Rakyat melayani bangsanya sendiri yang dengan terang-terangan sudah BERKHIANAT.
Belum tentu bangsa lain yang lebih sadar dan kurang sabar dari pada “het
zachtstevolk der aarde” ini melayani pengkhianatannya seperti Rakyat Indonesia
Yogya. Dan belum tentu pula bangsa Belanda sendiri, teristimewa pula anggota
KTN sendiri memandang Kolonel Abdul Kadir Widjaya Atmadja dan Prof. Hussein
Djajadiningrat lebih tinggi dari pada pandangan Rakyat Indonesia sendiri
terhadap mereka.
Tetapi di samping itu memangnya Belanda tiada pernah banyak
mengacuhkan penghinaan batin itu. Tak perlulah kita kupas sejarahnya pedagang
Belanda di Jepang dan Tiongkok kurang lebih 300 tahun lampau. Masih segar pula
peringatan kita tentang sikap “Tuan & Nyonya Besar” Belanda selama 3 ½
tahun di bawah bendera Jepang. Lebih mementingkan kehormatan diri dari pada
keuntungan dagang adalah bertentangan sangat dengan “kruindeniers-geest”,
semangat tukang warung.
Tetapi pelayanan Abdul Kadir dan Hussein itu memangnya pula
boleh dipakai untuk mendapatkan keuntungan diplomasi. Inilah maka Belanda
berteriak-teriak setinggi langit dan memprotes sekeras-kerasnya terhadap
pelayanan yang di masa Jepang akan di terimanya dengan senyuman seorang “beer,
die kiespijn hooft”.
Hilanglah sebenarnya amarah dan ketakutan Belanda terhadap
Murba di stasiun Tugu itu, karena pelayanan para bonekanya, apabila autonya
Belanda mendengung-dengung melalui desa dan sawah dikiri-kanan, ketika menuju
Kaliurang. Teristimewa apabila dia sampai di salah satu gedung besar yang
bersih dalam suasana yang sejuk segar di Kaliurang seolah-olah di negerinya
sendiri untuk menghentikan lelahnya. Dari Kaliurang di pinggang Gunung Merapi
yang menyanjung ke angkasa dengan segala kemegahannya ketika memandang ke bawah
ke lembah yang luas, subur, digarisi oleh kali yang mengairi sawah dan ladang;
lembah yang ditaburi oleh desa, penuh sesak dengan tenaga murah, patut taat
…..en , c, zoe treus aan hun meesters en hun werk ! ………….hasil dari kebudayaan
feodal yang “cemerlang”, maka timbullah kembali hasratnya: Akh, sekali lagi
kami bangsa Belanda akan menguasai tanah, tenaga dan kekayaan Alam dari swarga
Loka ini.
Bangkitlah dia kembali dan berjalan menuju ke medan
perundingan dengan kartu baru dikantongnya. Memakai peristiwa Stasiun Tugu
sebagai zet buat lebih keras lagi mendesakkan “gendarmerie bersama” untuk
bersama-sama menjaga ketentraman di dalam daerah Republik. Kalau diterima oleh
Delegasi Indonesia maka jatuhlah semua kekuasaan ekonomi, militer, keuangan,
politik dan diplomasi ke tangan Belanda.
Kalau ditolak, maka dapatlah Belanda suatu sebab lagi, buat
mengadakan “aksi polisionil” baru dengan alasan yang mungkin akan diterima oleh
KTN dengan maksud merobohkan lima atau enam daerah-minus yang masih berada di
bawah Republik.
Dengan persitiwa Stasiun Tugu sebagai Kartu Tinggi dengan
Kadir-Hussein, sebagai umpan; dengan KTN sebagai MOMOK internasional, maka
Belanda akan memusatkan pembicaraannya kepada gendarmerie-bersama disamping
pelucutan senjata sebagian besar dari Tentara Republik; penghapusan uang ORI
dan Pembatalan pengakuan Negara Arab atas Republik dan akhirnya menyodorkan
pembentukan NIS dan UNI seperti yang sudah lama disediakan oleh
kepitalis-imperialis Belanda, dimana 99,9 % kekuasaan yang sebenarnya jatuh ke
tangan Kapitalis-Imperialis Asing.
Tawar menawar tentang banyaknya kursi dan besarnya kekuasaan
yang akan terus dipegang oleh Belanda dan tawar menawar tentang banyak dan
sifatnya Kursi yang akan diserahkan kepada borjuis kecil Indonesia di dalam NIS
dan UNI itulah sekarang dilakukan di Kaliurang.
Tetapi yang menjadi sasaran dan taruhan dalam hal
tawar-menawar ini, yang menjadi SAPI-PERAHAN, kelak, kalau KUHANDEL itu
berhasil ialah MURBA, buruh-tani dan Rakyat-Jembel juga.
Sampailah pula perjuangan kemerdekaan Indonesia ini kepada
tingkat, dimana MURBA dengan FILSAFAT, ORGANISASI, TAKTIK-STRATEGI, yang
dilakukan oleh Borjuis Kecil Indonesia dengan Kapitalis-Imperialis Asing, di
atas punggungnya MURBA Indonesia ini, yakni kalau MURBA Indonesia tiada ingin
kembali menjadi SAPI-PERAHAN Kapitalis-imperialis itu. Sebaliknya pula MURBA
harus membatalkan semua akibatnya kegagalan atau pembatalan perundingan
Kaliurang itu dengan segala PERSIAPAN-MURBA yang dijalankan dengan teratur,
ketenangan, kebijaksanaan, serta dengan PERSATUAN ORGANISASI, PERSATUAN MAKSUD
dan PERSATUAN TEKAD MURBA!
16/04/1948.
Sumber : http://www.tanmalaka.estranky.cz/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar