Hari Sabtu pagi terlihat suasana di dalam asrama putra tampak
ramai tidak seperti hari-hari biasanya, yahhhh, hari yang ditunggu-tunggu kami
sebagai siswa-siswi SMA Unggulan Tenggarong, dimana setiap siswanya wajib
tinggal di asrama baik putra dan putri. Ijin Bermalam atau IB singkatannya
itulah yang kami dapatkan setiap akhir pekan. Keluar dari asrama untuk kembali
pulang ke rumah dan menikmati liburan bersama keluarga atau teman-teman di luar
satu sekolah. IB setiap sabtu pagi dan kembali lagi ke asrama minggu sore.
Aku lihat beberapa temanku yang ingin IB sudah sibuk
menyiapkan perlengkapan mereka untuk pulang kerumah, pakaian kotor selama 1
minggu pun akhirnya keluar dari keranjang mereka untuk di bawa pulang dan
dicuci di rumah mereka masing-masing. Mereka yang IB itu para murid-murid yang
berdomilisi di Tenggarong, rumah mereka berada di sekitar Tenggarong yang tidak
jauh dari lokasi sekolahku. Namun ada juga yang tidak IB di karenakan rumah
mereka yang berada di luar kota dari Tenggarong, mereka yang tidak IB biasanya
hanya tetap tinggal di asrama, sesekali keluar asrama untuk pergi jalan-jalan
di kota Tenggarong. Nasib mereka yang ingin bersekolah ke luar kota jauh dari
rumah tempat tinggalnya. Sekalipun mereka harus pulang ke rumah mereka itu
karena uang saku yang sudah hamir habis dan harus kembali pulang agar dapat
uang saku tambahan lagi.
Aku bersyukur rumahku berada di Tenggarong yang berjarak
kurang lebih 5 kilo dari rumah ke sekolah. Namun entah kenapa aku tidak
bersemangat untuk pulang IB ke rumah hari ini, hatiku mengatakan jangan pulang
ke rumah sebaiknya pergi ketempat lain saja. Dalam benakku akhir pekan minggu
yang lalu aku sudah IB dan pulang ke rumah, jadi tidak masalahjika tidak pulang
di minggu ini. Aku pun mengikuti kata
hati ini, namun di sisi lain aku juga tidak menginginkan hanya berada di asrama
selama akhir pekan ini, aku ingin pergi bermain keluar tidak hanya berada di
asrama. Akhirnya aku putuskan untuk ikut ke rumah teman seasramaku yang
kebetulan dia IB untuk pulang kerumahnya di Kota Samarinda, Ibu kota Provinsi
Kaltim.
Tidak terasa asrama putra tampak mulai sepi, satu persatu para
penghuni asrama putra ini berpamitan karena jemputan dari orang tua mereka
sudah tiba di sekolah. Hanya tersisa mereka yang tidak IB, tampak mereka
bersantai-santai di asrama menikmati kondisi dan suasana asrama yang sepi tidak
dipenuhi dengan orang-orang yang lalu lalang, suara-suara teriakan dari ujung
sudut, depan dan belakang sisi asrama seperti hari-hari biasanya ketika tidak
IB. aku pun bersiap-siap untuk meninggalkan asrama sejenak menikmati akhir
pekan minggu ini dengan pergi ke luar kota ikut bersama temanku untuk pulang ke
rumahnya.
Akhirnya aku turut mengikuti kata hatiku dengan tidak pulang
ke rumah, sesampainya di Samarinda aku merasakan sedikit kebebasan untuk
melakukan apapun yang di asrama penuh dengan aturan-aturan yang ketat, mulai
dari piket asrama, piket makan, piket kelas dan aturan-aturan lainnya yang di
buat oleh Pembina kedisiplinan selama berada di asrama. Aku pun mulai
merencanakan mau kemana nanti malam bersama dengan temanku ini. Kami putuskan untuk
berkeliling kota Samarinda sambil menikmati keramaiannya.
Malampun tiba, aku bersama temanku sudah bersiap-siap untuk
pergi jalan menikmati kota Samarinda di malam hari, dan kebetulan ini juga kan
malam minggu pasti ramai sekali Ibu kota Kaltim. Aku yang masih berumur 17
tahun saat itu merupakan waktu beranjak dewasanya seseorang untuk mencari jati
diri, mencoba hal-hal yang belum pernah dilakukan ketika masih kecil.
Yahhhhhh,,, Samarinda dipenuhi dengan aktivitas remaja-remaja SMA yang turut
meramaikan gemerlapnya kota Samarinda di malam hari. Aku lihat banyak para
remaja yang berpasang-pasangan sambil mengendarai motor mereka hanya untuk
sekedar menikmati suasana malam minggu ini. Tidak terkecuali hanya aku dan
temanku yang sejenis yaitu kami para lelaki pemuda harapan bangsa…
“heheheeeeeee, sedikit bercanda”. Aku pun menikmati malam minggu itu dengan
perasaan senang tanpa ada rasa khawatir sedikitpun kenapa hatiku menuntun untuk
tidak pulang ke rumah. Akhirnya malam itu pun ku lewati dengan ramainya suasana
malam di Samarinda.
Esok harinya aku terbangun oleh panggilan suara temanku yang
sengaja membangunkan ku, entah kenapa dia membangunkanku dengan suara yang
halus padahal biasanya saat di asrama cara membangunkan kami yaitu dengan
teriakan-teriakan yang keras bahkan kalo tidak bangun juga di bantu sedikit
dengan cipratan air. Akhhhhhhh, aku pikir ini kan bukan di asrama, namun yang
menjadi pertanyaan kenapa dia membangunkanku sepagi ini, saat jam masih
menunjukkan ke angka 5. aku bangun secara perlahan dan membuka mata serambi
mengumpulkan kembali jiwa yang masih setengah sadar.
Ternyata temanku juga terbangun karena telepon rumahnya yang berdering
berkali-kali, dia mendapatkan panggilan telepon dari tantenya yang berada di
Tenggarong, tantenya memberitahukan kabar agar segera kembali ke Tenggarong
untuk mengantarkanku pulang ke rumah. Kemudian dia memberitahukan ku bahwa
kabar itu untuk aku, dia memberitahukan bahwa kita pulang ke Tenggarong subuh
ini juga. Aku yang belum sepenuhnya sadar masih merasakan kantuk segera
bersiap-siap, tanpa bertanya kenapa kita kembali sepagi ini. Namun akhirnya dia
memberitahukan bahwa terjadi sesuatu di rumahku. Tantenya memberitahukan bahwa
keluarga ku mencari dari kemarin siang akhirnya baru dapat info ternyata aku
pergi ke Samarinda. Dengan suara yang rendah dia mengatakan bahwa “Ayahmu
Meninggal Dunia”. Aku merasakan aliran darahku terhenti setelah mendengar
berita itu, tubuhku serasa tidak berenergi dan kaki ku pun seperti tidak mampu
untuk menopang lagi badanku ini. Sesegera mungkin temanku itu mengendarai
motornya untuk kembali ke Tenggarong dan mengantarkan ku ke rumah.
Setibanya di rumah aku pun segera bergabung dengan ibu dan 2
adekku, para keluarga besar dari ayahku pun sudah berkumpul di rumahku sejak
malam kemarin, dimana aku masih berada di Samarinda waktu itu. Ternyata orang-orang
yang ada di rumahku sebelumnya sudah sibuk mencari aku, mendatangi ke asrama,
bertanya dengan teman-temanku hingga tau aku ternyata pergi ke Samarinda. Tidak
ada pembicaraan sedikitpun yang keluar dari mulutku ataupun dari ibu serta
keluarga besar ayahku terkait meninggalnya ayahku. Saat aku tiba di rumahku,
para saudara-saudara ayahku pun telah sibuk dengan prosesi sebelum pemakaman
untuk orang yang sudah meninggal dunia. Aku pun segera bergabung untuk
membantu, tiada banyak yang bisa ku lakukan waktu itu, hanya turut serta dalam
memandikan, mensholatkan, dan menguburkan jasadNya, Kemudian selesailah seluruh
proses pemakaman itu.
Rasa sedih menyelimutiku saat itu, tiada yang dapat
membendungnya, air mata ini terus mengalir, siapa yang tidak sedih di dunia ini
jika harus di tinggalkan seorang ayah yang sudah merawat dan mendidik anaknya
hingga tumbuh besar. Jangankan seorang ayah, seorang wanita yang menjadi
pacarpun jika dia pergi memutuskan
hubungannya bagi seorang pria pun bisa 7 hari 7 malam berduka cita. Tetapi aku
teringat dengan pelajaran agama islam di sekolah, bahwa setiap yang hidup itu
pasti akan meninggal. Aku pasrah karena itu sudah ketentuan yang Maha Kuasa, namun
rasa kesal pun berkecimuk di hatiku, kenapa aku harus mengikuti kata hatiku
itu, yang melarangku untuk tidak pulang ke rumah secepatnya. Yahhh,,,, bagi
sebagian orang mengikuti kata hati itu adalah petunjuk yang baik. Tapi kenapa
kenyataannya tidak seperti itu, penyesalan pun mulai mengakar di kepalaku, aku
tidak tau harus menyalahkan siapa atas kejadian ini.
aku merasa kehilangan yang berat dalam hidup ini, tapi aku
berpikir bahwa ibuku pun pasti merasakan hal yang lebih hebat lagi dari sedih
yang kurasakan ini. Ibu ku memberitahukan bahwa sebelumnya ayahku sudah masuk
rumah sakit selama 1 minggu, namun pesan dari ayah untuk tidak memberitahukan
berita itu kepadaku. Dia takut mengganggu pelajaran di sekolahku, dia berpesan
kepada ibuku untuk menyampaikan amanah agar aku terus sekolah yang tinggi. Pesen
ayahku itu ternyata aku tafsirkan sebagai isyarat dari hatiku yang melarang aku
untuk tidak pulang ke rumah. Ayahku 1 minggu berada di rumah sakit, dan
kebetulan hari sabtu dia pengen kembali ke rumah. Dia merasa tidak nyaman
berada di rumah sakit terus. Hari sabtu itu juga aku yang harusnya mempunyai
waktu untuk pulang ke rumah namun tidak aku manfaatkan. aku merasa berdosa
sekali saat tau di akhir hayatnya seluruh keluarga besar yang ada di Kalimantan
itu sudah berkumpul dan hadir di saat detik-detik hembusan napas terakhir
ayahku. Kenapa cuma aku yang tidak di perbolehkan hadir? apakah memang sudah
takdirnya agar aku tidak berada di samping ayahku? Apa salahku hingga di
takdirkan seperti ini?.
Sampai detik ini bagiku itu merupakan kesalahan terbesar
semasa hidupku, namun kita harus percaya bahwa di setiap kejadian pasti ada
hikmahnya. Yaaaa… selama ini aku terus hidup dengan hikmah itu, pesan dari
ayahku merupakan cambukkan semangat untuk terus belajar dalam kondisi apapun. Kejadian
itu membuat aku mengerti akan arti dari hidup, tujuan hidup di dunia. Aku merasa
memiliki jalan yang telah di bukakan untuk ku kedepannya mau menjadi seperti
apa. Dia boleh pergi meninggalkan dunia ini, namun dia terus hidup di dalam
hati, dalam semangat, dalam setiap langkah ku untuk terus belajar.
Itulah sedikit kisah menarik
yang tiada mungkin terlupakan olehku selama bersekolah di Sma Negeri 3 Unggulan
Tenggarong. Kisah ini terjadi ketika aku kelas 2 Sma. Pada hari sabtu hingga
minggu. 10-11/12/2005.
Budi Rahman, Yogyakarta
Semangat Bud...Hakikat manusia pada dasarnya hanya berusaha dan berdoa, kita mampu mengusahakan, namun bukan "menentukan". Setiap takdir yang sudah digariskan akan membentuk gambar yg menjadi cerita hidupmu, baik buruknya harus disyukuri.
BalasHapusLihat "ke atas" tempat di mana kamu harus selalu terpacu melihat orang-orang yang lebih hebat. Lihat ke "samping", bersyukur bahwa selalu ada org yg mendukung dan menolong, teman-sahabat-ortu. Terakhir lihat "ke bawah", selalu ada orang yang "lebih" dicoba oleh Allah, selalu bersyukur.
Dari Teman...or Sahabat
Ariewijaya..