Adsense

Pages - Menu

Tampilkan postingan dengan label Kahlil Gibran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kahlil Gibran. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 24 November 2012

Orang tua dan Anak-anaknya

Dan seorang perempuan yang menggendong bayi dalam dekapan dadanya berkata, bicaralah pada kami perihal anak.
Dan dia berkata:
Anakmu bukanlah anakmu
Mereka putra-putri kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri.
Mereka datang melalui engkau tapi bukan dari engkau,
Dan walau mereka bersamamu tapi mereka bukan kepunyaanmu.

Kau dapat memberi mereka cinta-kasihmu tapi tidak pikiranmu,
Sebab mereka memilik pikirannya sendiri,
Kau bisa merumahkan tubuhnya tapi tidak jiwanya,
Sebab jiwa mereka bermukim di rumah masa depan, yang tiada dapat kau sambangi, bahkan tidak dalam impian-impianmu.
Kau boleh berusaha menjadi seumpama mereka, tapi jangan berusaha membuat mereka seperti dirimu.

Sebab kehidupan tiada surut ke belakang, pun tiada tinggal bersama hari kemarin.
Engkaulah busur dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur.
Sang pemanah membidik tanda sasaran di atas jalan nan tiada terhingga, dan Dia menekukkan engkau dengan kekuasaan-Nya agar anak panah-Nya dapat melesat cepat dan jauh.
Meliuklah dengan riang di tangan Sang Pemanah.
Sebab sebagaimana Dia mengasihi anak panah yang melesat, demikian pula Dia mengasihi busur nan mantap.

Itulah kutipan dari karya "Sang Nabi" Kahlil Gibran
Dia menunjukkan betapa sucinya seorang anak yang baru lahir ke kehidupan, dengan tiada yang dapat menentukan akan hidupnya nanti. Memiliki kemerdekaan abadi dari lahir hingga kembali mati melalui jalan yang Dia pilih sendiri, tanpa ada campur tangan dari sang Ibu. Namun Ibu hanya memberikannya air susunya agar kelak sang anak menjadi kuat.

BR, Asrama Kukar Yogyakarta.

Kamis, 12 Juli 2012

Dua Keinginan


Di keheningan malam, Sang Maut turun dari hadirat Tuhan ke sebuah kota yang tertidur serta tempat kediaman di atas menara menjulang. Dia menembus dinding rumah dengan matanya yang bersinar gemilang dan melihat ke dalam jiwa manusia yang melayang di atas sayap-sayap mimpi, dan jasmani yang menyerah kepada sang tidur.
Dan, kala rembulan pundar ketika fajar menyingsing dan kota dibalut oleh kerudung yang mempesona, Sang Maut berjalan dengan langkah tenang di tengah pemukiman mereka sampai dia tiba di rumah mewah si kaya. Dia masuk dan tak seorang pun yang kuasa menghalangi. Dia tegak di sisi ranjang dan menyentuh pelupuk mata orang yang tidur. Orang itu bangun dengan ketakutan. Dan begitu melihat bayangan sang Maut di hadapannya, dia menjerit dengan suara ketakutan dan mengamuk.
“menyingkirlah kau dariku, mimpi yang mengerikan! Pergi, makhluk jahat! Bagaimana mungkin kau masuk, pencuri, dan yang kau inginkan, penjambret? Minggatlah, karena akulah empunya rumah ini. enyahlah kamu, kalau tidak kupanggil para budak dan para pengawal untuk mencincangmu menjadi kepingan!”
Lalu, sang Maut mendekat dan dengan suara menggeledek mengaum, “Akulah kematian; maka sambutlah dan merendah-hatilah.”
Dan si kaya berkuasa itu bertanya, “Apa yang kau inginkan dariku sekarang, dan benda apa yang kau cari? Kenapa kau dating sedang pekerjaanku belum lagi tuntas? Apa kau menginginkan kekuasaanku? Enyahlah kau dalam gelap. Menyingkirlah kau dariku dan jangan kau tunjukkan padaku cakar tajammu serta rambut yang terjela-jela laksana ular yang berbelit. Enyahlah, karena pemandangan yang rusak membangkitkan rasa benci padaku.” Tapi, setelah kebisuan yang gelisah itu dia berbicara lagi dan berkata.
“tidak-tidak, sang Maut nan lembut, jangan pedulikan apa yang telah kuucapkan, karena rasa takut membua diriku mengucapkan kata-kata yang sesungguhnya terlarang. Maka ambillah emasku seperlunya atau nyawa salah seorang budak dan tinggalkanlah diriku…. Aku masih memperhitungkan kehidupan yang masih belum terpenuhi dan kekayaan pada orang-orang yang belum terkuasai. Di atas laut aku memiliki kapal yang belum kembali ke pelabuhan, dan pada hasil bumi yang belum tersimpan. Ambillah olehmu barang yang kau inginkan dan tinggalkanlah daku. Aku punya selir cantik bagai pagi hari, untuk kau pilih, kematian. Dengarkanlah lagi : Aku punya seorang putra tunggal yang kusayangi, dialah biji mataku. Ambillah dia juga, tapi tinggalkanlah diriku sendirian.”
Kemudiaan sang Maut meletakkan tangan pada mulut budak kehidupan duniawi itu dan mencabut nyawanya dan menyerahkannya ke atas, ke udara.
Sang Maut meneruskan perjalanannya menuju tempat tinggal si miskin hingga dia mencapai gubuk reyot. Dia masuk ke sana dan menghampiri sebuah yang di atasnya terbaring seorang pemuda. Setelah memandang air mukannya yang tenang dia menyentuh matanya dan anak muda itu terjaga. Dan, ketika dia melihat Sang Maut berdiri di atas lututnya dan mengulurkan kedua tangannya kea rah dirinya dengan suara yang disentuh oleh kerinduaan jiwa dan cinta kasih,anak muda itu berkata,
“Aku di sini, wahai Sang Maut nan elok. Sambutlah ruhku, impianku yang mengejawantah dan hakikat harapanku. Peluklah diriku, kekasih jiwaku, karena kau sangat penyayang dan takkan meninggalkan diriku di sini. Kaulah utusan Ilahi, kaulah tangan kanan kebenaran. Jangan tinggalkan daku. Betapa lama aku mencarimu tanpa menemukan dan memanggilmu namun kau tak mendengarkan! Tapi, kini kau telah mendengarku, karena itu jangan kecewakan cintaku dengan pengelakan diri. Peluklah ruhku, Sang Maut terkasih.”
Lalu Sang Maut meletakkan jari-jarinya nan lembut pada bibir anak lelaki itu dan mencabut nyawanya dan menaruhnya di bawah sayap-sayapnya.
Dan, ketika Sang Maut melesat ke udara, dia menoleh ke belakang dunia ini, dan ke dalam kekosongan menghembuskan kata-kata ini,
“Dia yang tak berasal dari Zat Yang Maha Agung takkan kembali ke Zat Yang Maha Agung.”

Kahlil Gibran

Sebuah kisah yang menunjukkan bahwa kematian akan datang tanpa memberitahukan kedatangannya, bahkan saat semua terlelap disaat pikiran kosong tiada daya dan upaya menolaknya. Dua Keinginan menjadi pilihan bagi manusia, apa yang hendak dipersiapkan saat Sang Maut menghampiri. Setiap yang hidup akan mati, dan setiap yang diperbuat menberikan hasil yang setara.
BR, Yogyakarta

Chitika